Saling Kunci Banteng Padi

Riwayat politik Kota Bekasi amatlah dinamis. Golkar, PDI Perjuangan, dan PKS tidak pernah absen dalam perburuan kursi kekuasaan. Saling mengunci cacat masa lalu.

Beringin–sebutan untuk Golkar–mendapatkan mujur sepanjang sejarah Kota Bekasi, bahkan ketika rezim orde baru sudah tumbang. Sedangkan banteng dan padi–julukan untuk PDI Perjuangan dan PKS–selalu saja berhadap-hadapan.

Banteng dan padi ibarat minyak dan air yang tidak bisa disatukan. Kedua poros ini memiliki sejarah panjang dalam hal rivalitas politik di Kota Bekasi.

Tahun 2004 adalah awal mula mereka berkonflik. Saat itu, PKS, sebagai partai pemenang pemilu dengan jumlah kursi terbanyak di legislatif, berharap betul bisa mendudukkan anggota fraksinya sebagai ketua DPRD Kota Bekasi.

Sayang, PKS terpaksa menerima kenyataan pahit: jabatan ketua DPRD justru melayang ke Golkar. Ahmad Syaikhu sebagai calon ketua DPRD dari PKS kalah dalam pemilihan melawan Golkar yang mengusung Rahmat Effendi.

Di balik kekalahan PKS, PDI Perjuangan disebut-sebut memiliki andil besar. Manuver bantenglah yang membuat si padi rontok. Apalagi, ketika itu, banteng dan beringin merupakan mitra koalisi di eksekutif.

Wali kota Bekasi periode 2003-2008 dijabat Ahmad Zurfaih, dari Golkar. Mochtar Mohamad, dari PDI Perjuangan, menjadi wakilnya. Beringin dan banteng konon merasa terusik dengan kehadiran padi yang ‘sudah menguning dan siap panen’ itu.

“Rahmat Effendi jadi ketua dewan itu saya yang jadiin,” kenang Mochtar Mohamad, dalam sebuah kesempatan. Mochtar Mohamad pada saat itu merupakan Ketua PDI Perjuangan Kota Bekasi.

Usai bergesekan di 2004, pada pilkada langsung 2008, banteng dan padi kembali beradu. Banteng lagi-lagi menang atas padi. Mochtar Mohamad menjadi wali kota, didampingi Rahmat Effendi dari Golkar. Ahmad Syaikhu pun harus menanggung kalah untuk yang kedua kalinya.

Kenakalan banteng tak membuat padi layu. Tahun 2009, PKS membikin manuver politik di legislatif dengan membentuk panitia khusus (pansus) mengenai revitalisasi Pasar Baru yang disinyalir ada korupsi. Jika pansus berhasil, jelas, itu bisa berimbas ke Mochtar Mohamad. Lagi-lagi PKS gagal.

Saat Mochtar Mohamad tersangkut kasus hukum pada 2011 dan harus mundur dari jabatannya, PKS tidak menyianyiakan kesempatan itu. Kini giliran banteng dipermainkan padi.

Permainan PKS ditunjukkan dengan tidak mendukung segala agenda politik PDI Perjuangan di parlemen. Ketika banteng sedang mempersiapkan penggunaan hak interpelasi kepada wali kota sementara, Rahmat Effendi, atas kebijakan mutasi pejabat, PKS memilih berpangku tangan. Agenda itu pun buyar.

Pada pilkada 2012, PKS memilih merapat ke Golkar di mana PDI Perjuangan menjadi lawannya. Koalisi beringin dan padi menang. Rahmat Effendi menjadi wali kota, Ahmad Syaikhu wakilnya.

Banteng dan padi kemungkinan besar kembali beradu ketangkasan berpolitik dalam ajang pemilihan wali kota mendatang. (Baca: Tiga Poros Utama Pilkada Kota Bekasi 2018).

SALING KUNCIBANTENG PADI

Saling kunci kasus korupsi

Selalu bertemu dalam arena pertarungan politik, banteng dan padi ternyata bisa juga akur secara diam-diam di momen tidak resmi. Barangkali keadaan itu seperti pameo klise tentang dunia politik: tidak ada kawan dan lawan abadi, karena yang ada hanyalah kepentingan.

Sayang, ‘hubungan gelap’ banteng dan padi pada akhirnya menjadi semacam kutukan menahun. Kedua partai itu mempunyai cacat masa lalu yang serius. Mereka terbukti berkongsi dalam kasus korupsi.

Tahun 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Mochtar Mohamad sebagai tersangka. Mochtar didakwa 4 perkara, salah satunya menyuap anggota DPRD Kota Bekasi Rp 4 miliar untuk memuluskan pengesahan APBD 2010 yang saat itu tak kunjung dibahas.

Dokumen KPK menggambarkan secara detail: Desember 2009, bertempat di sebuah kamar di Villa 200, Bekasi Selatan, Sekretaris Daerah Kota Bekasi Tjandra Utama Effendi menyerahkan koper berisi uang tunai senilai Rp 4 miliar kepada tim penyusun anggaran DPRD. Kasus ini dikenal dengan suap fee 2 persen APBD.

Mereka, yang menerima uang , antara lain: Tumai dan Lilik Haryoso dari PDI Perjuangan, Sutriyono dan Choiruman Juwono Putro dari PKS, dan Muhammad Said dari PPP. Di hari yang sama, APBD Kota Bekasi 2010 akhirnya disahkan oleh DPRD.

Hingga Mochtar Mohamad divonis penjara enam tahun pada 2012, para penerima suap tak juga ditangani oleh KPK–bahkan sampai sekarang, setelah Mochtar bebas. Desas desus pun berkembang: kapan pun KPK menggarap kasus ini, mereka akan mudah masuk penjara.

Nama-nama itu adalah figur penting di masing-masing partai. Tumai dan Lilik Haryoso adalah politikus senior di PDI Perjuangan. Mereka duduk di legislatif sejak 2004 sampai sekarang.

Tumai saat ini adalah Ketua DPRD Kota Bekasi sekaligus sekretaris PDI Perjuangan sejak 2005. Lilik pernah menjadi ketua tim pemenangan Mochtar Mohamad dan Rahmat Effendi pada pilkada 2008.

Di PKS, Sutriyono dan Choiruman juga bukan figur sembarangan. Sutriyono ketika itu menjabat sebagai wakil ketua DPRD Kota Bekasi dan Choiruman sebagai ketua fraksi. Di partai, Sutriyono menjadi sekretaris dan Choiruman ketuanya.

Sekarang, Sutriyono menjadi anggota DPR RI. Sedangkan Choiruman, meski masih di DPRD Kota Bekasi, di partai ia menduduki posisi penting: ketua bidang pemenangan pemilu dan pilkada PKS Jawa Barat, membantu Ahmad Syaikhu yang menjadi ketuanya.

Baik PDI Perjuangan maupun PKS sudah barang tentu tidak akan mengangkat isu korupsi dalam pilkada.

Terbukti, ketika dikonfirmasi mengenai kasus tersebut, Tumai menunjukkan sikap tidak senang. “Kalau tanya itu, saya tidak bisa jawab. Dan (seharusnya) tidak usah ditanya,” kata Tumai, belum lama ini.

Ketua PDI Perjuangan Kota Bekasi, Anim Imamuddin, senada dengan Tumai. “Saya no comment, sudah masa lalu. Dan saya tidak mengerti atau terlalu mengenal kasus fee 2 persen,” kata Anim.

Ketua PKS Kota Bekasi, Heri Koswara, sama saja. Menurutnya, jika isu tersebut sampai muncul secara masif dalam pertarungan pilkada, pasti ada yang menghendaki. (Baca juga: Kurniawan dan Skandal Damayanti yang Belum Selesai)

“Kalau kemudian isu itu muncul saat Pilkada, itu jelas dimainkan oleh kelompok tertentu yang tujuannya untuk menjatuhkan sehingga bisa ambil keutungan,” katanya.

Dalam situasi saling kunci seperti itu, PDI Perjuangan dan PKS tentu harus menimbang kekuatan Golkar secara teliti–jika tidak mau durian runtuh jatuh ke tangan Golkar.

Apalagi, riwayat politik Kota Bekasi membuktikan, sejak 2003 hingga 2012, beringin tak pernah kalah. (Tim)

Tinggalkan komentar