Para Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Bekasi jangan bermain-main dalam urusan netralitas menjelang pencoblosan 27 November 2024. Apalagi sampai harus mengkorupsi anggaran daerah untuk menyokong calon atau kandidat yang mereka dukung. Bisa-bisa perbuatan tersebut justru mengantar mereka berurusan dengan penegak hukum seperti yang terjadi di Provinsi Bengkulu.
Seperti diketahui, KPK baru-baru ini melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Gubernur Provinsi Bengkulu, Rohidin Mersyah. Calon Gubernur Provinsi Bengkulu, tersebut diduga melakukan pemerasan terhadap para kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Provinsi Bengkulu.
Para kepala OPD dimintai sejumlah uang melalui Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri dan Evriansyah selaku ajudan Gubernur. Uang tersebut rencananya akan digunakan Rohidin Mersyah untuk keperluan pemenangan Pilkada yang sedang ia ikuti selaku kandidat petahana.
Berkaca dari kasus Rohidin, hal yang sama bisa juga terjadi di Kota Bekasi. Sebab di Kota Bekasi, saat ini juga terdapat kontestan yang berstatus petahana dalam hal ini Tri Adhianto Tjahyono.
Dengan statusnya sebagai petahana, bisa saja para ASN yang notabene bekas anak buahnya, membantu atau menyokong Tri Adhianto di Pilkada kali ini. Atau sebaliknya, Tri meminta dukungan atau sokongan mantan anak buahnya.
Kemungkinan seperti itu amat terbuka, toh sudah jadi hal lumrah dalam setiap kontestasi Pilkada, ASN terjebak dalam aksi dukung-mendukung terutama bila kandidat yang bertarung berstatus petahana. Pun sebalinya, kandidat petahana meminta dukungan dari para ASN.
Soal korupsi, Kota Bekasi punya pengalaman pahit perihal itu. Tidak tanggung-tanggung dua kepala daerah di Kota Bekas harus berurusan dengan KPK. Pertama Mochtar Mohamad dan Rahmat Effendi.
Meski kasus keduanya tidak ada urusannya dengan Pilkada. Namun, kasus yang menimpa dua kepala daerah tersebut mirip dengan yang menimpa Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah.
Kasus yang menjerat Mochtar misalnya soal APBD, yang mana saat itu seluruh kepala OPD dimintai sejumlah uang oleh politisi PDIP tersebut dengan alasan untuk memperlancar pembahasan APBD.
Tak jauh dari Mochtar, kasus yang menimpa Rahmat Effendi juga mirip-mirip. Politisi Golkar tersebut, terbukti mengutip uang kepada kepala OPD dengan modus mengajak kerjasama bisnis.
Mengambil pelajaran kasus yang pernah menimpa dua mantan Wali Kota Bekasi serta Gubernur Bengkulu, sudah sepatutnya ASN di Kota Bekasi untuk tidak nekat. ASN alangkah baiknya tetap menjaga netralitasnya sebagai pelayan publik.
Jangan sampai karena gelap mata, ingin menunjukan loyalitas terhadap eks pimpinannya, para ASN nekat menghalalkan segala cara.
Sebab KPK saat ini sedang dalam mode siaga, artinya mereka benar-benar memantau penuh seluruh aktivitas Pilkada di seluruh daerah di Indonesia termasuk Kota Bekasi. Jadi alangkah baiknya para ASN tetap menahan diri, untuk tidak coba-coba mengambil risiko jika tidak ingin bernasib naas.
Tulisan ini merupakan opini yang ditulis Redaksi www.klikbekasi.co
*Foto: Ilustrasi/Internet