Joaninha, Timor Leste, dan Hal yang Belum Selesai di Bekasi

Joaninha De Jesus Carvalho (54) adalah korban perseteruan Indonesia dengan Timor Leste. Puluhan tahun menjadi pegawai negeri sipil di Indonesia, Nina–biasa ia disapa–mendadak dipecat dengan alasan yang sumir.

Rabu, 15 Juni 2016, adalah hari yang menyedihkan bagi ibu yang tinggal sebatang kara di bilangan Bekasi Selatan itu. Ia menerima Surat Keputusan yang ditandatangani Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada 10 Juni 2016.

Melalui surat itu, Pemerintah Kota Bekasi memberhentikan Nina secara tidak hormat dari jabatannya sebagai PNS golongan 3D di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

Kepala Dinas Disdukcapil Kota Bekasi Alexander Zulkarnain mengatakan, pemerintah mengeluarkan keputusan itu karena Nina ‘berstatus’ warga negara asing: Timor Leste.

Informasi status kewarganegaraan Nina, kata Alexander, diterima Pemkot Bekasi pada tahun 2014 silam dari PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen).

Kepada Pemkot Bekasi, PT Taspen menunjukkan dokumen pernyataan yang ‘ditandatangani’ Nina. Isinya, Nina telah memilih menjadi warga negara Timor Leste–dulu Provinsi Timor Timur–pascareferendum atau jajak pendapat pada tahun 1999.

PT Taspen juga menyebut Nina–yang saat itu masih bertugas di Timor Timur–sudah tidak menjadi PNS terhitung sejak Agustus 1999 ketika referendum memenangkan suara pro pembentukan negara.

“Dokumen itu juga menyebut hak dia sebagai pegawai negeri sipil diambil, termasuk tabungan asuransi pensiunnya. Sejak ada laporan, kami langsung tindak lanjuti,” ungkap Alexander.

Wali Kota Rahmat Effendi menyebut, pemecatan Nina sudah melalui proses yang teliti dengan mengklarifikasi Badan Kepegawaian Nasional. Di sana, nama Nina tidak ada dalam data pegawai.

Atas dasar itulah, Rahmat Effendi memecat Nina.

“Seharusnya dia mengembalikan haknya ke negara sejak diberhentikan, tapi pemerintah memberikan kebijakan, dengan alasan sudah bekerja,” kata Rahmat Effendi menyudutkan Nina.

Mencari keadilan

Nina merasa terpukul–dan jelas tersudutkan–atas keluarnya surat pemecatan dari wali kota Bekasi. Selama ini, dia tidak pernah mendapatkan teguran atau pemanggilan dari instansi mana pun.

“Saya diberhentikan pada 15 Juni 2016 setelah menerima surat. Saya juga tidak pernah membuat surat pernyataan apa pun,” kata Nina, belum lama ini.

nina-dokumen

Menurut Nina, pangkal permasalahan ini memang dari petugas PT Taspen. Ia juga membantah tudingan petugas PT Taspen yang menyebutnya telah mencairkan sejumlah uang.

Untuk mencari keadilan, Nina pun melayangkan gugatan kepada pemerintah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung sejak 18 Agustus 2016.

“Saya ingin bekerja kembali dan saya ingin membuktikan bahwa saya tidak salah. Saya adalah warga negara Indonesia,” kata Nina.

Kuasa hukum Nina dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Putih, Rury Arief Rianto mengungkapkan, pemecatan Nina penuh kejanggalan dan ada indikasi manipulasi dokumen.

Diceritakan Rury, Nina menjadi PNS di Timor Timur sejak 1985. Pascareferendum, Nina–yang memilih menjadi warga negara Indonesia–dipindahtugaskan ke Jakarta di Kementerian Dalam Negeri.

Hasil referendum membuktikan: dari sekitar 450.000 pemilih, 78,5 persen (344.580) warga Timor Timur menolak otonomi atau memilih merdeka dan sekitar 20 persen (94.388) memilih otonomi, sedangkan sekitar 1,5 persen (7.985 suara) dinyatakan tidak sah.

Mereka yang memilih menjadi Indonesia akhirnya harus eksodus–termasuk Nina. Tahun 2002, Nina mulai bertugas di Kota Bekasi sampai akhirnya dipecat.

Secara administrasi kependudukan, kata Rury, ke-Indonesiaan Nina tidak terbantahkan. Ia pernah memeroleh penghargaan Satya Lencana pada 2011 dari Presiden Republik Indonesia atas jasanya mengabdi pada negara lebih dari 20 tahun.

Nina memiliki Kartu Keluarga (KK) Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik yang diterbitkan Pemkot Bekasi. Ia juga memiliki paspor resmi Indonesia. Semua dokumen tersebut tak pernah bermasalah.

“Seorang ibu yang jelas-jelas memiliki dokumen resmi Indonesia, hidup di Indonesia, bekerja kepada negara, diberi penghargaan presiden, justru diperlakukan seperti ini hanya karena lahir dan besar di daerah konflik. Kekeliruan ini harus diluruskan,” kata Rury.

Sekretaris Daerah Kota Bekasi Rayendra Sukarmadji, yang pernah menjadi atasan Nina saat menjabat Kepala Disdukcapil, menyebut kinerja Nina sangat bagus sebagai seorang staf.

“Dia pernah bekerja sebagai staf saya selama delapan bulan. Kinerjanya sangat bagus dan tidak pernah ada masalah,” kata Rayendra. (Res)

Tinggalkan komentar