Kisruh penggusuran bangunan liar di Pekayon Jaya–kelurahan di mana Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi tinggal–pada akhirnya menjadi bola panas yang siap menggelinding.
DPRD Kota Bekasi menyambut keluh kesah warga yang tergusur. PDI Perjuangan, Gerinda dan PPP secara bulat menentang kebijakan Pemerintah Kota Bekasi.
Fraksi PAN, Demokrat dan Hanura juga menolak–meski masih ada segelintir anggotanya yang belum bersikap. Hanya Golkar dan PKS yang dingin, mengingat kedua partai itu adalah bagian dari pengusung Rahmat Effendi dan wakilnya, Ahmad Syaikhu.
Tidak sekadar menolak, enam dari delapan fraksi sudah ancang-ancang untuk membawa masalah penggusuran ke gedung mereka. Salah satu pilihannya adalah membentuk panitia khusus (pansus).
(Baca: Soal Penggusuran, DPRD Sebut Pemkot Bekasi Sewenang-wenang)
Jika melihat data Pemkot Bekasi–yang menunjukkan target penggusuran tahun 2016 untuk 51 titik hampir rampung–DPRD memang seperti pahlawan kesiangan. Namun langkah membentuk pansus bukanlah hal yang salah.
Hanya melalui pansus DPRD bisa mendudukan persoalan secara jernih dan komprehensif. Sejumlah pertanyaan pokok, seperti tepat tidaknya penggusuran dan benar salahnya prosedur, nantinya bisa digali jawabannya oleh pansus.
Dan, ini penting: pansus jangan menghabiskan energi pada satu kasus. Berikan kesempatan warga yang tergusur untuk menempuh gugatan kelompok atau class action. DPRD mengawal.
Pansus harus mengejar sejauh mana kebijakan Pemkot Bekasi mengenai perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang Kota Bekasi. Juga konsistensi Pemkot Bekasi dalam menjalankan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Mengungkap kepentingan taipan
Setelah krisis moneter, Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional tak mampu lagi memasok kebutuhan rumah. Kondisi ini membuka peluang pengusaha properti untuk masuk.
Kota Bekasi adalah yang paling menjanjikan dibandingkan daerah lain di sekitar DKI Jakarta. Akses yang mudah ke berbagai arah tujuan membuat Bekasi menjadi primadona investor.
Ketika ruang semakin terbatas–sementara laju penduduk begitu tinggi–maka pengembangan perumahan pun kini menjadi sulit dan mahal.
Pengusaha properti kelas teri, yang menyasar segmen masyarakat berpenghasilan rendah, bergeser ke Kabupaten Bekasi atau daerah pinggiran.
Hanya para taipan (pengusaha besar) yang bisa bertahan dan semakin kuat di Kota Bekasi. Mereka membangun kota di dalam kota: perumahan elit, mal megah, apartemen mewah dan pusat bisnis.
Di tengah penggusuran yang menimpa masyarakat kecil, desas-desus pun berhembus kencang: ada kepentingan taipan properti di balik kebijakan Pemkot Bekasi.
Terungkapnya kasus korupsi mengenai bisnis properti di Jakarta–dan juga di daerah lain–adalah penguat dugaan bahwa hal itu juga terjadi di Kota Bekasi.
Analisa Klik Bekasi atas data Pemkot Bekasi menunjukkan pola yang mencengangkan: sejumlah titik penggusuran ternyata tidak jauh dari aset para taipan properti. Pemkot Bekasi terkesan membuka akses infrastruktur–juga membersihkan ‘yang kumuh’ dari area bisnis mereka.
(Baca: Penggusuran Pesanan Taipan Properti)
Kebutuhan mencari kebenaran menjadi sangat penting. Untuk itu, pansus yang sedang disiapkan DPRD Kota Bekasi perlu mengarahkan perhatiannya ke sana.
Belajar dari Pansus Angket Pelindo II DPR RI yang mendorong penegak hukum bertindak–dan akhirnya membuahkan hasil dengan menjerat tersangka korupsi–maka sebenarnya tidak sulit bagi DPRD untuk melakukan langkah yang sama dalam menelusuri kasus di Kota Bekasi.
DPRD tentu cukup mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apa yang mesti mereka lakukan.
Namun, yang juga penting, para wakil rakyat yang terhormat itu harus membuktikan kepada publik bahwa mereka tidak sekadar mencari sensasi–apalagi tawar posisi.
Redaksi