Bisnis Aplikasi ala Smart City Kota Bekasi

Istilah ‘smart city’ kini semacam mantra bagi Pemerintah Kota Bekasi. Sejak beberapa bulan terakhir, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mendadak gencar menggaungkan istilah itu.

Ia bahkan membentuk sebuah tim khusus yang dipimpin Koswara Hanafi, Kepala Dinas Tata Kota. Tim inilah yang bertugas mengurusi tetek-bengek kegiatan yang dianggap ‘smart’.

Jadi, apa sebenarnya smart city yang dimaksud Pemkot Bekasi?

Jangan membayangkan ini sebuah konsep pembangunan kota yang di dalamnya terkandung rumusan strategi untuk mewujudkan kehidupan perkotaan yang lebih baik di masa depan.

Smart city Kota Bekasi hanyalah sebuah produk. Pemkot Bekasi tidak berbeda dengan konsumen yang menggunakan barang atau layanan yang ditawarkan produsen.

Siapa produsennya? Adalah Smart City Indonesia atau SmartCityID, sebuah brand yang digerakkan sejumlah ahli teknologi informasi dan komunikasi.

Inisiator SmarCityID ialah seorang akademisi dari Institut Teknologi Bandung bernama Suhono Harso Supangkat–doktor yang pernah terlilit kasus plagiarisme.

Dalam situs resmi SmartCityID, Suhono mengatakan secara gamblang. Smart city, kata dia, adalah konsep menyajikan informasi keadaan suatu kota secara komprehensif dan realtime.

“Informasi tersebut selanjutnya dapat diakses melalui sebuah controlling room. Tujuannya adalah agar wali kota mendapatkan informasi secara langsung,” tulis Suhono.

Pada prinsipnya, tim Suhono memfasilitasi ‘kliennya’ agar dapat mengetahui keadaan atau sensing. Selanjutnya, klien bisa memahami (understanding) dan mengambil suatu keputusan (acting).

SmartCityID menawarkan empat produk unggulan kepada kliennya, antara lain Kosultasi (semacam jasa konsultan), Publikasi (mempublikasikan kliennya melalui majalah, jurnal, dan lainnya).

Kemudian layanan Edukasi (berbentuk seminar, workshop dan pelatihan). Yang terakhir, adalah Kolaborasi atau kerja sama dalam bentuk program-program.

Pemkot Bekasi, sebagai klien SmarCityID, barangkali sudah menjadi kolaborator. Pemkot Bekasi telah meresmikan ruang kontrol smart city bernama Patriot Operation Center.

Dalam peresmian itu, Suhono turut hadir di sana. Tim Suhono-lah yang mengatur semua kebutuhan ruang kontrol itu. Bahkan pejabat Pemkot Bekasi sendiri nampak terbengong-bengong.

smart-city-id

Rahmat Effendi menyebut pembangunan ruang kontrol–beserta sejumlah programnya–dibiayai sejumlah perusahaan telekomunikasi swasta sebesar Rp 5 miliar.

Sederhananya, produk yang nanti dinikmati Pemkot Bekasi terpusat pada satu aplikasi atau situs bernama Smart City Kota Bekasi. Sebagai contoh situs Smart City Jakarta.

Situs itu terintegrasi dengan peta online. Di dalamnya terdapat sejumlah kanal yang memuat informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kota.

Situs tersebut, misalnya, akan terpasang aplikasi  Qlue (semacam jejaring sosial), yang bisa memfasilitasi masyarakat untuk mengadukan berbagai persoalan.

Ada juga CCTV online, layanan kesehatan online, informasi lalu lintas, informasi bencana, informasi jalan rusak, dan sebagainya.

Jangan Jadi Smart Proyek

Sebagai sebuah produk, apa yang ditawarkan SmartCityID sangatlah menarik. Ini murni teknologi informasi yang membantu Rahmat Effendi untuk mengetahui berbagai persoalan.

Sayangnya, Pemkot Bekasi belum bisa transparan dalam segi anggaran untuk menerapkan produk tersebut. Apakah benar swasta menyumbang Rp 5 miliar secara cuma-cuma, tanpa mempertimbangkan timbal balik?

Padahal, bagi Kota Bekasi, Rp 5 miliar adalah nilai yang kecil. Pemkot Bekasi sebenarnya bisa menganggarkan melalui APBD untuk memiliki produk tersebut, sekaligus anggaran perawatannya.

Pemkot Bekasi hanya perlu membuat sistem kerjanya, menyiapkan orang-orang yang akan mengelolanya, lalu menerapkan teknologinya. Cukup. Maksimalkan sumber daya pegawai yang ada.

Kekhawatiran adanya praktik-praktik kolusi–antara pejabat tertentu dengan ‘geng pengusaha’–muncul ketika Pemkot Bekasi menyelipkan program lain yang disebut sebagai bagian smart city.

Program tersebut antara lain penerapan parkir meter, pembuatan transportasi kereta aeromovel, pemasangan GPS pada truk sampah dan pembuatan pembangkit listrik tenaga sampah.

Program-program selipan itu menjadikan ‘smart city’ semakin absurd. Malah, ada semacam plesetan nakal: smart city atau smart proyek?

Perlu Smart Leader

Jika Rahmat Effendi masih menganggap ‘smart city’ yang kita bicarakan panjang lebar ini sebagai sebuah konsep pembangunan kota (bukan produk aplikasi), sepertinya ia mesti mengkaji ulang.

Rahmat Effendi, di tengah masa jabatannya yang singkat, perlu segera menyadari bahwa permasalahan kota ini harus dientas dengan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Ia tidak usah capek-capek memikirkan konsep atau wacana, seperti belakangan ini sering dikemukakan olehnya di banyak kesempatan. Ribuan ilmuan sudah membicarakannya.

Yang mesti dilakukan Rahmat Effendi sekarang adalah aksi nyata.

rahmat-effendi

Inti dari pembangunan kota berkelanjutan adalah meningkatkan kualitas hidup di kota, termasuk ekologi, budaya, politik, kelembagaan, dan komponen ekonomi tanpa meninggalkan beban pada generasi mendatang.

Mengutip ilmuan bidang perkotaan, Profesor Eko Budiharjo dalam bukunya ‘Reformasi Perkotaan’, ada 10 hal yang harus menjadi pegangan untuk mewujudkan kota berkelanjutan.

Pertama, environtment atau ekologi, yang berarti keseimbangan ekologis dalam kawasan perkotaan harus diprioritaskan.

Kedua, employment atau ekonomi, agar dalam penataaan ruang perkotaan selalu diperhitungkan aspek pertumbuhan ekonomi, khususnya yang menjadi ladang kegiatan warga kota setempat.

Ketiga, empowerment atau pemberdayaan supaya segenap lapisan masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta secara aktif dalam keseluruhan proses pembangunan dan pengelolaan kotanya.

Keempat, engagement atau pelibatan kalangan dunia usaha atau komunitas bisnis dengan prinsip kemitraan–yang menguntungkan kedua belah pihak, bukan dinikmati kelompok tertentu saja.

Kelima, enforcement, dalam arti penegakan hukum agar semua pihak taat pada aturan dan rencana tata ruang kota yang telah disusun, dengan kelengkapan mekanisme reward and punishment atau stick and carrot.

Keenam, enjoyment, agar segenap warga kota merasa nikmat dan nyaman di kediaman maupun tempat kerja masing-masing.

Ketujuh, ethics of development, dalam arti para agen pembangunan harus selalu memegang etika dalam segenap kegiatannya, membangun tanpa merugikan pihak lain.

Kedelapan, equity, agar segenap warga masyarakat memiliki hak dan akses yang setara terhadap semua fasilitas sosial dan pelayanan publik yang tersedia tanpa kecuali, menghindari eksklusivisme.

Kesembilan, energy conservation atau hemat energi, antara lain dengan memanfaatkan potensi alam (angin, cahaya), menggalakkan sistem transportasi umum, dan penerapan kaidah kota tropis serta arsitektur hijau.

Kesepuluh, esthetics, atau keindahan agar wajah kota terlihat kian menawan sebagai suatu karya seni sosial.

Sudahkah Rahmat Effendi berpikir tentang itu? Menjadi smart leader memang pilihan.

Redaksi

Tinggalkan komentar