Site logo

Tik..Tik.. Bunyi Mesin Ketik Itu Masih Nyaring di Bekasi

Bekasi Timur–Alat tulis yang satu ini, dulu pernah menjadi primadona: digunakan di hampir semua instansi pemerintahan di Bekasi.

Meski alat tulis yang lahir sejak abad 17 ini posisinya terpinggirkan oleh kehadiran komputer, notebook, sampai handphone, suara mesin tik ternyata masih terdengar nyaring di Bekasi. Bahkan masih ada pula yang setia menggeluti usaha servis dan jual beli mesin tik.

Bambang Triyono (50), pria asal Tegal, misalnya, sudah sepuluh tahun menggeluti usaha yang tergolong unik ini. Bersama dua orang karyawannya, ia menjual dan mendaur ulang mesin tik bekas di tempat usahanya di Jalan Hasibuan, perempatan Lampu Merah Poncol, Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi.

Bambang bercerita, mesin tik bekas dan rusak didapatkan dari hasil lelang atau penjual barang bekas kiloan. Dalam satu hari, bengkelnya mampu memperbaiki tiga sampai empat mesin ketik. Setiap mesin tik yang ia dapat rata-rata kondisinya sudah rusak parah dan berkarat.

Menggunakan cairan kimia khusus, satu persatu bagian mesin yang berkarat dibersihkan, kemudian dicuci air sabun dan terakhir dibilas air bersih. Setelah mesin sudah nampak kinclong, barulah kekurangan atau kerusakan mesin tik dicek secara teliti.

”Kalau memang ada yang rusak, kami ganti dengan suku cadang mesin tik lain. Sistem kanibal,” jelas Bambang seraya mengatakan suku cadang mesin tik sudah langka.

Harga jual mesin ketik di kios Bambang, bervariasi. Tergantung ukuran. Makin besar ukurannya, makin mahal harganya. Untuk ukuran 8 inci, Bambang membandrol Rp 250.000,00 . Untuk ukuran 13 inci, Rp 450.000,00 sampai 550.000. Paling mahal, kata Bambang, ukuran 18 inci, yakni Rp 950.000.

Harga tersebut bukanlah angka pas karena barang-barang tersebut masih bisa di tawar. Dalam satu bulan, Bambang mampu menjual sedikitnya 10 buah mesin tik. ”Ya lumayanlah bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” tuturnya.

Pelanggan Bambang kebanyakan dari instansi pemerintah. Ada juga dari perorangan. Bahkan, kadang-kadang, ia menerima pesanan. ”Kebanyakan dari instansi, seperti Kepolisian, TNI, Kelurahan, Kejaksaan. Ada beberapa kegiatan tulis menulis yang memang harus dikerjakan dengan mesin ketik,” kata dia.

Salah seorang PNS di Pemkot Bekasi, Ardi mengatakan, di kantornya, masih ada mesin tik yang digunakan untuk membuat surat-surat khusus. Beberapa pegawai senior malah enggan menggunakan komputer karena sudah terbiasa menggunakan mesin tik.

”Meskipun repot, ada beberapa surat yang harus diketik mengunakan mesin tik,” kata Ardi saat menunggu mesin tik diservis.

Hal senada juga dikatakan Nita, mahasiswa di salah satu kampus di Bekasi. Dia mengungkapkan, pilihannya menggunakan mesin ketik dikarenakan tuntutan kebutuhan.

”Banyak tugas kuliah yang harus di kerjakan dengan mesin ketik, soalnya dosen suka tidak percaya kalau tugasnya diketik dengan komputer. Disangkanya kita cuma copy paste,” tuturnya.

Sejak 1714

Mesin Tik diciptakan oleh Christopher L Sholes seorang wartawan dan sastrawan berkebangsaan Inggris pada tahun 1714. Bentuknya yang tadinya sangat sederhana, kemudian terus mengalami evolusi sampai dianggap sempurna untuk dipamerkan dan dipasarkan secara bebas pada tahun 1877.

Tahun 1890, Remington Company, berhasil membuat standar mesin tik yang memenuhi syarat untuk digunakan di kantor-kantor. Sejak itu, mesin tik mulai digunakan di seluruh dunia dengan beragam merek dagang, di antaranya Royal Remington, IBM, Underwood, Olympia, Continental, Oliver, Halda, Erika, dan masih banyak.

Keberadaa mesin tik mulai terusik sejak muculnya komputer di pasar bebas sejak tahun 199an. Ukuran bongsor dan suaranya yang berisik, dinilai sebagia orang tidak bisa memenuhi kebutuhan praktis masyarakat modern yang begerak cepat dan dinamis. Apalagi, sistem kerja mesin tik membutuhkan ketelitian tinggi dan memperbesar biaya saja. Salah ketik, berarti membuang selembar kertas.

Namun, seorang Pramoedya Ananta Toer, penulis novel “Di Tepi Kali Bekasi” yang masyhur itu , pernah mengatakan, “Saya pakai mesin tik, dan kalau menulis sekali jadi, tidak pernah ada penulisan kembali. Begitulah saya berkreasi.”(Bratha)

Comments

  • No comments yet.
  • Add a comment