Setiap pengembang perumahan di Kota Bekasi wajib menyisihkan sebagian lahannya untuk Fasos Fasum (Fasilitas sosial dan Fasilitas umum).
Fasos Fasum juga seringkali disebut sebagai Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Meski berbeda istilah, fungsinya tetap sama: untuk menunjang aktivitas masyarakat setempat.
Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 71 Tahun 2013 menyebutkan, persentase Fasos Fasum dari total luas lahan perumahan sangat ditentukan seberapa besar Koefisien Dasar Bangunan (KDB).
KDB perumahan di Kota Bekasi berkisar antara 40 persen sampai 70 persen, tergantung kepadatan penduduknya. Semakin padat penduduk, maka KDB perumahan tersebut semakin tinggi.
Semisal pengembang perumahan memiliki tanah seluas 250 hektar atau 2,5 juta meter persegi. Jika KDB 60 persen, maka pengembang hanya bisa membangun 150 hektar atau 1,5 juta meter persegi (60 persen).
Bagaimana dengan sisanya yang 100 hektar atau 1 juta meter persegi? Inilah yang dimanfaatkan untuk Fasos Fasum, termasuk ruang terbuka hijau di dalamnya.
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 16 Tahun 2011 bahkan mengatur, pertamanan harus mendapatkan porsi minimal 20 persen dari total Fasos Fasum yang disetujui. Indah, bukan?
Sayangnya, tanah untuk Fasos Fasum tersebut banyak yang hilang secara misterius. Ada yang berubah fungsi untuk kawasan komersil, ada juga yang sama sekali tidak diketahui rimbanya.
Kejanggalan data
Laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2014, yang dikeluarkan pada pertengahan tahun 2015, mengungkapkan temuan mengejutkan.
“Aset tetap tanah untuk Fasos Fasum belum didukung berita acara penyerahan yang sah, sehingga tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp 137.505.515.000 dan di antaranya tidak diketahui keberadaannya sebesar Rp 8.521.200.000.”
BPK menyebutkan, kejanggalan tersebut sebenarnya sudah ditemukan sejak pemeriksaan tahun 2013, yang hasil laporannya dikeluarkan pada 26 Mei 2014.
Atas temuan tahun 2013, BPK kemudian memerintahkan Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, dalam hal ini Koswara Hanafi, untuk memvalidasi data Fasos Fasum perumahan yang ada.
BPK juga memerintahkan Koswara berkoordinasi dengan Kepala Bidang Aset pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) untuk mengecek ulang berita acara serah terima (BAST) Fasos Fasum.
Selain itu, BPK memerintahkan Koswara mengumumkan di media massa tentang kewajiban pengembang menyerahkan Fasos Fasum kepada pemerintah–bagi pengembang yang belum menyerahkan.
Perintah BPK dilaksanakan dan membuahkan hasil. Empat pengembang besar menyerahkan BAST administrasi Fasos Fasum kepada Pemkot Bekasi.
Mereka ialah PT Bangun Tjipta Pratama (Kemang Pratama), PT Yanandito Santosa (Villa Indah Permai), PT Sinar Bahana Mulya (Citra Grand) dan PT Ristia Bintang Mahkota (Bintang Metropol).
Begitu dicek BPK, data luas tanah Fasos Fasum empat perumahan tersebut rupanya tidak sama antara yang tercatat di BAST, Kartu Inventaris Barang (catatan aset) dan hasil verifikasi Dinas Tata Kota.
“Sehingga berita acara serah terima tersebut tidak dapat diakui sebagai berita acara yang sah, atas Fasos Fasum yang telah tercatat di Kartu Inventaris Barang,” sebut BPK dalam audit tahun 2014.
Untuk perumahan yang sudah ditinggalkan pengembangnya, Pemkot Bekasi menindaklanjuti dengan membuat Surat Pernyataan Penguasaan Aset seperti diatur dalam Perwal Nomor 71 Tahun 2013.
Selama tahun 2014, Pemkot Bekasi melakukan penguasaan aset Fasos Fasum tersebut untuk 16 perumahan. Lagi-lagi, apa yang dilaporkan Dinas Tata Kota dianggap masih janggal oleh BPK.
BPK kemudian memperluas pengecekan ke sejumlah perumahan. Hasilnya, sejumlah tanah Fasos Fasum tersebut tidak diketahui keberadaanya. Sebagian lagi beralih fungsi untuk kawasan komersil.
Tanah Fasos Fasum seluas 4.576 meter persegi di Perumahan Harapan Indah adalah contohnya. Rinciannya, 1.380 meter persegi berubah menjadi pertokoan dan 3.196 meter persegi berubah menjadi perumahan.
Atas temuan BPK tersebut, pihak Dinas Tata Kota membantah ada peralihan fungsi. Alasannya, Perumahan Harapan Indah memang telah melakukan perubahan siteplan (rencana tapak) yang disetujui Pemkot Bekasi.
“Namun sampai berakhirnya pemeriksaan, (Dinas Tata Kota) tidak dapat menunjukkan adanya dokumen yang mendukung hal (perubahan siteplan) tersebut,” balas BPK di laporannya.
Dalam kesimpulan pemeriksaannya, BPK memerintahkan Pemkot Bekasi mengklasifikasi data Fasos Fasum secara jelas ke dalam tiga kategori. Pertama, kategori Fasos Fasum yang ada dan datanya sama dengan KIB.
Kedua, Fasos Fasum yang sudah berubah atau kondisinya tidak sama dengan KIB. Terakhir, Fasos Fasum yang tidak bisa ditemukan keberadaannya.
Rawan dimanipulasi
Bukan rahasia umum lagi jika tanah Fasos Fasum merupakan ladang subur bagi pejabat-pejabat nakal yang ingin cepat kaya.
Apalagi, Kota Bekasi merupakan daerah yang ditetapkan secara nasional sebagai kawasan permukiman, karena letaknya yang dekat dengan ibu kota.
Pada Mei 2015, misalnya, Kejaksaan Negeri Kota Bekasi menetapkan tiga pejabat sebagai tersangka kasus penjualan aset tanah pemerintah berupa tempat pemakaman umum.
Tanah seluas 1,1 hektar tersebut dijual kepada pengembang Perumahan Bekasi Timur Regency pada tahun 2012 dengan harga cukup murah, yaitu Rp 500 per meter persegi. Negara dirugikan Rp 1,2 miliar.
Ketika dibangun, rumah-rumah di kawasan bermasalah tersebut terbukti laris-manis. Kini, penghuninya resah. Sedangkan pengembangnya santai saja karena merasa membeli tanah secara sah kepada pemerintah.
Kasus serupa terjadi di Kota Tangerang–kota yang juga pesat pertumbuhan propertinya. Sejumlah pejabat di lingkaran utama kekuasaan diperiksa penegak hukum karena menjual Fasos Fasum kepada pengembang.
Fenomena korupsi Fasos Fasum sebenarnya sudah disorot Komisi Pemberantasan Korupsi sejak tahun 2009. Untuk mengentas permasalahan tersebut, KPK mengambil studi kasus Kota Surabaya.
Hasilnya, KPK menemukan banyak perumahan yang mengubah Fasos Fasum menjadi kawasan komersil. Beruntung, Kota Surabaya segera menjalankan saran-saran KPK dengan memperbaiki pengelolaan aset Fasos Fasum.
Gubernur DKI Jakarta, Ahok, di hadapan para pengusaha properti yang tergabung dalam Realestat Indonesia (REI), pernah berseloroh mampu mengumpulkan uang hingga Rp 1 triliun dalam waktu cepat.
Sebagai Gubernur, kata Ahok, ia bisa menggunakan posisinya untuk “bermain mata” dengan pengembang. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengakali Fasos Fasum.
“Sebagai Gubernur, saya kalau mau cari duit Rp 1 triliun gampang. Sambil merem saja bisa dapat itu duit Rp 1 triliun. Bagaimana caranya, temenan saja sama bapak-ibu pengembang,” kata Ahok, belum lama ini.
Sumber kami di Pemkot Bekasi mengungkapkan, ‘sula-menyulap’ Fasos Fasum menjadi kawasan komersil sudah biasa dilakukan pejabat dari rezim ke rezim. Para ‘pemainnya’ saling tahu sama tahu.
“Sederhananya, kalau sandal jepit kita dicuri orang, kita heboh. Bagaimana mungkin tanah bernilai miliaran rupiah hilang pemerintah santai-santai saja?”