Bulan September 2014 menandai sepuluh tahun kematian aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib.
Meski sudah satu dekade berlalu, kasus kematian Munir masih menyisakan tanda tanya dan banyak pihak menganggap kasus ini belum selesai, terutama istrinya Suciwati.
“Kalau hanya pelaku lapangannya saja sih, itu mah gampang saya pikir. Tapi dalangnya? Sampai sekarang masih bebas. Dan kita bisa lihat itu. Selama kasusnya tidak terselesaikan, yah kita (Suciwati dan aktivis pegiat hak asasi manusia) akan tetap minta, pemenuhan keadilannya,” kata Suciwati di Jakarta.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi bulan Maret 2014, kasus Munir masih bisa dibuka melalui mekanisme pengajuan kembali seperti yang diungkap Mahmud Mulyadi, pakar hukum pidana dari Universitas Sumatra Utara.
“Kalau seandainya ada bukti-bukti yang baru, yang selama ini belum disodorkan alat-alat buktinya, maka menurut saya, kasus Munir itu masih bisa diangkat untuk PK,” jelas Mahmud.
Ujian bagi sejarah
Munir meninggal dunia 7 september 2004 di pesawat Garuda Indonesia, dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda.
Racun arsenik ditemukan di tubuh Munir yang membuat banyak pihak yakin Munir tidak mati secara alamiah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian membentuk tim investigasi independen atas Klik kasus Munir dan menyebutnya sebagai ujian bagi sejarah.
Namun, hasil penyelidikan tim investigasi independen belum pernah diterbitkan ke publik.
Dalam kasus ini, mantan pilot Garuda, Klik Klik Pollycarpus Budihari Priyanto, didakwa sebagai pembunuh aktivis HAM tersebut.
Mayjen (purn) Muchdi PR juga ditahan dengan dugaan sebagai otak pembunuhan Munir, tapi Muchdi akhirnya divonis bebas.(bbc)