Tidak Banyak orang tahu jika di Bekasi ada tradisi monolog dengan mengangkat dongeng negeri satu malam. Tradisi itu kini sudah sangat jarang dijumpai. Para pelakunya juga bisa dihitung dengan jari. Orang Bekasi mengenalnya sebagai Shohibul Hikayat.
Shohibul Hikayat adalah tradisi monolog yang dilakukan oleh satu orang pencerita dibantu dengan satu orang yang bertugas untuk menimpali atau disebut sampiran. Biasanya dipentaskan pada acara-acara hajatan baik khitanan maupun kawinan.
Cerita yang diangkat berasal dari dongeng seribu satu malam, yang dimodifikasi dengan memasukkan nilai-nilai lokal Kebekasian. Dongeng dibawakan dengan bahasa Bekasi berdurasi dua jam.
Pencerita bisa melakukan dialog interaktif langsung dengan penonton. Gaya penyampaiannya yang lucu, setiap tokoh memiliki karakter suara yang berbeda, sesekali diselingi dengan humor dewasa, membuat pertunjukan shohibul hikayat menjadi meriah.
Namun kini, tradisi itu kian redup ditelan gegap gempitanya zaman.
“Padahal dulu, setiap hajatan orang Bekasi pasti menghadirkan shohibul hikayat. Biasanya dipentaskan pada malam sebelum hajatan. Kalau dulu malah pementasannya sampai pagi,” kata Abdul Khoir, budayawan Bekasi dan akademisi.
Menurut Khoir, Shohibul Hikayat ini bukan hanya hiburan semata. Namun di dalamnya banyak pesan-pesan moral yang disampaikan, termasuk menyindir fenomena sosial politik yang sedang terjadi. Gaya peyampaiannya yang lugas membuatnya bisa dinikmati oleh semua kalangan.
“Ada nilai-nilai yang ditanamkan dalam tradisi shohibul hikayat, para pemangku hajat bisa memesan cerita sesuai dengan keinginannya. Namun, ceritanya memang masih kental dengan dongeng negeri satu malam, tapi sudah mengalami percampuran dengan unsur lokal,” kata Khoir yang juga Sekjen Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB).
Salah satu pencerita yang masih setia menggeluti tradisi ini adalah Guntur El Mogas. Seniman asli Bekasi ini mengaku sangat senang mendapat tawaran untuk pementasan. Pasalnya, sudah sangat lama sekali dia tidak pernah pentas. Bahkan tadinya Guntur beranggapan bahwa Shohibul Hikayat sudah dilupakan orang.
“Jika ada permintaan untuk tampil rasanya senang sekali. Sebab sudah lama tidak tampil, bahkan saya berpikir tradisi ini sudah dilupakan orang,” kata Guntur yang juga dikenal sebagai seniman puisi patun (Situn) asli Bekasi.
Di temui di sebuah acara pementasan Shohibul Hiyakat beberapa waktu silam, Guntur rupanya masih piawai, dengan membawakan lakok “Tukang Kacang Jadi Raja”. Para penonton dibuat tertawa terpingkal-pingkal. Dalam ceritanya, Guntur menyinggung tentang budaya pergaulan anak muda saat ini yang sudah mulai kebablasan.
Sesekali Guntur menyelipkan ayat-ayat Quran dan puisi pantunnya. Menurut Guntur, kelebihan Shohibul Hajat adalah mengandung nilai kearifan lokal dan spiritual.
“Berada di atas panggung di hadapan puluhan penonton saya merasa merinding. Sebab saya harus menceritakan sebuah nilai-nilai yang saya sadar saat ini sedang dihadapkan dengan gempuran budaya barat,” kata Guntur yang sudah menciptakan ribuan puisi berpantun itu.
Memainkan shohibul hikayat tidaklah mudah. Pemainnya harus punya pengetahuan yang luas tentang cerita dongeng, sejarah dan pengetahuan agama. Selain itu juga dituntut untuk bisa meniru banyak karakter suara. Juga bisa menciptakan suasana agar segar dan tidak membosankan. Sedangkan untuk bahan ceritanya, biasanya diambil dari yang sudah ada.
“Yang susah adalah menciptakan banyak suara, mirip dalang dalam pertunjukan wayanglah,” kata Guntur.
Guntur berharap agar tradisi monolog asli Bekasi ini bisa dilestarikan, terutama dikenalkan kepada kalangan generasi muda. Shohibul Hajat, kata Guntur, bukan sekedar pertunjukan hiburan namun upaya untuk membentengi masyarakat agar tidak tercerabut dari akar tradisinya. (Brat)