Smart City Jakarta versus Kota Bekasi, Ini Bedanya

Pemerintah Kota Bekasi sedang gencar-gencarnya mengenalkan istilah ‘smart city’ kepada publik. Setahun yang lalu, istilah itu sebenarnya sudah menggema lebih dulu di DKI Jakarta.

Meski memakai istilah yang sama, bukan berarti keduanya tidak memiliki perbedaan. Jadi, apa yang berbeda dari smart city Jakarta versus Kota Bekasi?

Aplikasi versus ‘Gado-gado’

Bagi Jakarta, smart city adalah murni sebuah aplikasi atau situs yang bisa diakses melalui internet dengan alamat smartcity.jakarta.go.id.

Di dalam situs tersebut, pengunjung akan melihat peta digital dan macam-macam satuan aplikasi yang saling terintegrasi.

Di mata Gubernur Jakarta, Ahok, situs smart city sangat membantunya dalam bekerja. Situs itu menyajikan banyak sekali informasi yang berhubungan dengan Jakarta.

Masyarakat pun bisa terlibat aktif. Ketika mengadu, misalnya, masyarakat bisa menggunakan aplikasi jejaring sosial khusus untuk perkotaan bernama Qlue yang tersedia di sana.

Aplikasi Smart City di Jakarta ini terbaik di Indonesia. Nggak ada kepala daerah yang berani buka begitu banyak mengenai data,” kata Ahok.

macet-smart-city-jakarta

Bagi Kota Bekasi, smart city dianggap sebuah konsep yang ‘berat’ tentang pembangunan kota. Maka, wajar, jika slogan yang sering disebut adalah ‘menuju Bekasi Smart City’.

Melalui sebuah tim khusus, program-program smart city pun dirumuskan. Ada program pembuatan aplikasi mirip di Jakarta, ada pula program lain yang tidak ada hubungannya dengan internet.

Program itu seperti penerapan parkir meter, rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah, hingga pembuatan kereta dalam kota yang disebut dengan istilah aeromovel.

Terkesan mirip gado-gado, memang. Campur aduk. Maka tidak mengejutkan jika muncul plesetan nakal: smart city atau smart proyek?

“Sebagai salah satu kota yang sedang mengembangkan konsep smart city, Kota Bekasi perlu menyelaraskan persepsi di dalam SKPD agar proses pembangunannya berjalan efektif.”

“Kuncinya sinergitas antar SKPD. Jika semua satu kata dan pemahaman, maka smart city bukan lagi hal yang sulit direalisasikan,” demikian kata Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi.

Produsen versus Konsumen

Dalam mengembangkan situs smart city, Jakarta berperan sebagai produsen. Pemerintahlah yang mengoordinir dan memfasilitasi para ahli teknologi untuk berkarya.

Untuk itu, Jakarta punya ruang kontrol aplikasi bernama Smart City Lounge yang berada di Balai Kota. Para developer aplikasi bisa menuangkan ide-ide kreatifnya di sana.

“Jadi intinya, developer bisa gabung dan (punya) coordining place, ini yang saya tawarkan. Setiap Sabtu-Minggu bisa Anda pakai,” kata Ahok.

Menurut Ahok, pihaknya membutuhkan berbagai aplikasi untuk membantu meringankan pekerjaan pemerintah dalam memberi pelayanan terbaik bagi warga.

“Mereka bisa datang kumpul-kumpul untuk ngobrol-ngobrol idenya. Mereka datang ke Jakarta punya tempat ngumpul, tempat nongkrong,” katanya.

about-smart-city-jakarta

Berbeda dengan Jakarta, Kota Bekasi malah berperan sebagai konsumen. Ia menyerahkan pekerjaan kepada Smart City Indonesia atau SmartCityID: semacam kelompok konsultan.

(Baca: Bisnis Aplikasi ala Smart City Kota Bekasi)

Dalam situs resminya, SmartCityID menawarkan sejumlah layanan kepada kliennya, antara lain layanan konsultasi, layanan publikasi, layanan edukasi, layanan kolaborasi.

Seperti Jakarta, Bekasi juga membangun ruang kontrol bernama Patriot Operation Center. Sayangnya, SmartCityID lebih berperan dominan di sana. Itu terlihat saat peresmiannya belum lama ini.

Ada kejadian lucu usai acara peresmian. Ceritanya, seorang wartawan ingin memotret Rahmat Effendi dengan latar belakang layar monitor yang terpasang di sana.

layar-smart-bekasi

Karena bosan, Rahmat Effendi pun meminta salah seorang pegawai untuk mengubah gambar di layar monitor. Sayang, permintaan sepele itu tidak bisa terwujud.

“Aduh, maaf Pak, orang-orangnya (SmartCityID) sudah pulang ke Bandung,” kata pegawai itu dengan polosnya.

APBD versus Swasta

Untuk mengembangkan situs smart city, Jakarta menggelontorkan anggaran melalui APBD. Anggaran itu dikawal oleh Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan (Diskominfomas).

Kepala Diskominfomas Jakarta, Ii Karunia mengatakan, pada tahun 2015, pemerintah menggelontorkan anggaran Rp 31 miliar untuk mengembangkan smart city.

Berkebalikannya, Kota Bekasi malah tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Pembangunan ruang kontrol dan sejumlah programnya, misalnya, dibiayai sejumlah perusahaan telekomunikasi swasta.

“Sampai sekarang kita tidak ada biaya, semua pakai CSR,” kata Rahmat Effendi bangga.

Namun, seperti pameo lama, tidak ada makan siang yang gratis. Begitulah kekhawatiran sejumlah pihak terhadap hubungan ‘mesra’ Pemkot Bekasi dengan swasta dalam program smart city yang mirip gado-gado ini.

(Tim)

Tinggalkan komentar