Salah Urus Pasar Tradisional

Keberadaan pasar tradisional di Kota Bekasi sebagai salah satu denyut nadi perekonomian masyarakat kini kian terpinggirkan. Salah urus dalam pengelolaan menjadi penyebab utamanya.

Sebanyak 14 pasar milik Pemerintah Kota Bekasi–baik yang dikelola pemerintah maupun pihak ketiga–kondisinya memprihatinkan: semrawut, kumuh dan jorok.

Ada kesan Pemkot Bekasi tidak serius dalam mengelola pasar tradisional. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari minimnya alokasi anggaran untuk peningkatan pelayanan pasar.

Pada tahun 2014, Pemkot Bekasi hanya mengalokasikan dana sebesar Rp 6.380.068.000. Jumlahnya menyusut pada 2015, menjadi Rp 4.955.200.000. Pada 2016 semakin kecil: Rp 3.753.792.000.

Alokasi anggaran sekecil itu ironis jika dibandingkan, sebutlah, dengan ‘proyek kertas‘ Pemkot Bekasi yang mencapai Rp 50,9 miliar pada 2016.

Salah urus pada akhirnya berpengaruh pada kunjungan masyarakat ke pasar. Pendapatan dari sektor retribusi pelayanan pasar tidak sesuai harapan.

Pemkot Bekasi hanya meraup Rp 4.605.708.000 dari target Rp 4.955.147.900 pada 2014. Tahun berikutnya, Pemkot Bekasi mengantongi Rp 5.760.282.000 dari target Rp 6.131.279.315.

Angka itu kalah jauh jika dibandingkan dengan daerah lain yang daya beli masyarakatnya sebenarnya lebih rendah dari Kota Bekasi.

Di Solo, Jawa Tengah, pendapatan dari sektor pasar nyatanya mampu mencapai angka 18 sampai 20 miliar rupiah. Sementara di Kabupaten Bogor berada di kisaran Rp 10 miliar.

Di tengah buruknya tata kelola, pasar tradisional di Kota Bekasi kian terdesak dengan makin banyaknya mal. Catatan kami, di jantung kota saja, sedikitnya ada 13 mal besar.

Belum lagi puluhan supermarket dan ratusan minimarket yang jumlahnya terus bertambah. (Lihat infografis: Mal Mengepung Kota Bekasi)

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) dalam kajiannya menyebut salah satu penyebab mundurnya pasar tradisional adalah gempuran pasar modern atau mal.

Data IKAPPI menunjukkan, di seluruh Indonesia, pada 2007 jumlah pasar mencapai 13.450. Namun kemudian berkurang drastis menjadi 9.559 pada 2011.

Hasil survei AC Nielsen tahun 2013 menunjukkan kesamaan. Pada 2007 pasar tradisional berjumlah 13.550, 2009 berkurang menjadi 13.450, dan 2011 menjadi 9.950.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan malah pro terhadap pasar modern ketika pasar tradisional melemah. Dalam undang-undang tersebut, posisi pasar tradisional sejajar dengan pasar modern.

infografis-pasar-tradisional-bekasi

Evaluasi mendalam

Salah urus pasar tradisonal menjadi perhatian DPRD Kota Bekasi. Rabu, 7 September 2016, Komsisi C DPRD Kota Bekasi menggelar rapat dengan Dinas Perekonomian Rakyat (Dispera).

Salah satu agenda mereka adalah membahas pasar tradisional di Kota Bekasi. Komisi C DPRD Kota Bekasi mendesak adanya evaluasi terhadap pengelolaannya.

“Kami mengusulkan agar ada evaluasi mendalam terhadap pengelolaan pasar tradisional di Kota Bekasi,” kata Anggota Komisi C DPRD Kota Bekasi, Abdul Muin Hafied.

Komisi C juga mempertanyakan pengelolan pasar tradisional yang diserahkan kepada pihak ketiga. Jumlahnya 6 dari total 14 pasar. Belum lagi pasar lingkungan yang mencapai 40 lebih.

Menurut Muin, di bawah kendali pihak ketiga, pasar tradisional tidak mengalami perbaikan dalam hal pengelolan dan tidak menguntungkan secara finansial.

Alih-alih ingin menjadikan lebih modern, pasar tradisional malah bangkrut. Pasar Proyek adalah contoh pasar tradisional yang ramai. Namun, ketika berubah menjadi Bekasi Junction, ia sepi pembeli.

“Tujuan dikelola pihak ketiga itu agar pasar semakin baik serta menghasilkan keuntungan maksimal. Yang terjadi tidak demikian. Pasar tidak mengalami perubahan, bahkan cenderung bermasalah,” katanya.

Pasar tradisional juga disinyalir menjadi ajang bisnis oknum PNS Kota Bekasi. Sumber internal Pemkot Bekasi menyebutkan, banyak uang dari pasar mengalir ke kantong pribadi pemangku kepentingan.

“Di pasar itu tempatnya duit. Tapi sayang, duit yang dihasilkan itu banyak masuk ke kantong pribadi. Makanya, retribusi selalu anjlok dan targetnya sengaja dipatok minim,” kata sumber.

Kepala Dispera, Abdul Iman, seolah pasrah ketika dikonfirmasi Klik Bekasi mengenai semrawutnya pengelolaan pasar tradisional di Kota Bekasi.

“Anda sajalah yang menilai (kondisinya),” kata Iman singkat. (Ical)

Tinggalkan komentar