Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi sudah seharusnya membuka mata tentang adanya dugaan korupsi dalam proyek penanggulangan banjir di wilayahnya yang diselenggarakan Dinas Bina Marga dan Tata Air.
Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) nomor 50.c/LJP/XVIII.BDG/05/2015 yang dikeluarkan pada 5 Mei 2015 menyebut ada dua poin persoalan menyangkut dinas yang dikepalai Tri Adhianto itu.
Poin pertama, ‘terdapat pelaksanaan tujuh paket pekerjaan pada Dinas Bina Marga dan Tata Air yang tidak diselesaikan dan jaminan pelaksanaan tidak dapat dicairkan sebesar Rp 225.671.284.’
Dalam poin ini, Dinas Bimarta jelas-jelas menabrak Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2015 yang di dalamnya menyebut Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memiliki tugas pokok dan kewenangan mengendalikan pelaksanaan proyek.
Pasal 93 ayat 1 huruf b menyatakan PPK dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila kontraktor lalai atau cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya (wanprestasi).
Namun, kenyataannya, Dinas Bimarta membiarkan proyek tersebut terbengkalai begitu saja sampai selesai jangka waktu pengerjaannya dan tanpa memberikan sanksi apa pun kepada kontraktor.
Semestinya, mengacu pasal 93 ayat 2, jika pemutusan kontrak dilakukan, Dinas Bimarta bisa dengan mudah mencairkan jaminan pelaksanaan, menagih denda, sisa uang muka, dan memblacklist kontraktor bersangkutan agar ke depannya mereka tidak bisa lagi mengikuti lelang.
Melihat fakta tersebut, ada indikasi Dinas Bimarta ‘bermain mata’ dengan kontraktor agar mereka tidak membayarkan uang jaminan pelaksanaan. Ada unsur kesengajaan. Nilainya memang tidak fantastis, namun praktik-praktik culas seperti itu tentu tidak bisa dibiarkan.
(Baca: BPK Sorot 7 ‘Proyek Banjir’ Bermasalah di Kota Bekasi)
Poin kedua, ‘Proses lelang pekerjaan penanggulangan banjir Perumnas 3 Kelurahan Aren Jaya tidak sesuai Perpres Nomor 54 tahun 2010 dan perubahannya sehingga terdapat indikasi pemahalan harga sebesar Rp 1.6.05.188.961.’
BPK menyebut Dinas Bimarta memanipulasi laporan harian dan mingguan mengenai pengerjaan proyek tersebut. “Laporan harian dan mingguan tidak berdasarkan kemajuan fisik yang sebenarnya,” sebut BPK.
Yang lebih mengejutkan, lelang proyek senilai Rp 4,6 miliar tersebut nyata-nyata telah dimanipulasi secara terstruktur untuk memenangkan satu perusahaan: PT Bona Jati Mutiara. BPK menyorongkan dua bukti kuat adanya persekongkolan lelang itu.
Bukti pertama, enam dari tujuh perserta yang memasukkan dokumen penawaran via online atau LPSE terbukti berada dalam satu kendali. Dokumen itu diupload melalui IP client (jaringan internet) atau komputer yang sama dalam rentang waktu yang berdekatan.
(Baca: Terungkap, Dinas Bimarta Kota Bekasi Monopoli Lelang Proyek)
Bukti kedua, baik pada lelang pertama maupun lelang lanjutan, dokumen penawaran milik enam perusahaan tersebut formatnya sama: dari mulai susunannya hingga kesalahan ketiknya. Begitu pun dengan nomor SPH-nya (surat penawaran harga).
Jangan lukai masyarakat
Bagaimana pun, uang yang digunakan Dinas Bimarta adalah uang dari masyarakat dan akan digunakan pula untuk kepentingan masyarakat. Pemerintah harus hati-hati dan cermat dalam menggunakan uang tersebut, sesuai ayat-ayat konstitusi.
APBD Kota Bekasi tahun 2015 (sebelum perubahan) mencatat, Dinas Bimarta mendapatkan anggaran untuk belanja langsung urusan sebesar Rp 552,2 miliar. Rp 210,2 miliar di antaranya digunakan untuk program pengendalian banjir yang dibagi ke dalam 40 item.
Jumlah uang sebesar itu tentu sangat fantastis, jika dibandingkan dengan anggaran pelaksanaan program pada dinas-dinas lainnya. Masyarakat tentu berharap dengan uang itu banjir di Kota Bekasi bisa teratasi. Tapi apa lacur, masyarakat dipertontonkan ketamakan pejabat.
Rahmat Effendi tidak boleh menganggap remeh. Jangan sampai berkembang anggapan Tri Adhianto memang dipasang olehnya untuk menjadi semacam ‘kasir’. Perjalanan waktu mencatat, Tri Adhianto adalah kepala dinas yang tidak pernah digeser jabatannya sejak Rahmat Effendi memimpin Kota Bekasi.
Apalagi, dalam persoalan yang tadi dipaparkan, BPK merekomendasikan agar Rahmat Effendi mengingatkan Tri Adhianto untuk meningkatkan kinerjanya yang buruk itu. BPK terang-terang menyebut Tri Adhianto ‘tidak beres’ dalam melaksanakan kewajibannya.
Rencana Pemkot Bekasi menetapkan 2016 sebagai ‘Tahun Infrastruktur dan Utilitas Kota’ tentu akan menjadi pepesan kosong jika bawahannya seburuk Tri Adhianto. Sekali lagi, Rahmat Effendi jangan menutup mata terhadap persoalan ini.
Redaksi