Politisi di Indonesia Belum Sadar Ada Kekuatan Dahsyat Bernama Cyber Democracy

Pengguna media sosial di Indonesia salah satu yang terbesar di dunia. Puluhan juta masyarat aktif di facebook, twitter, hingga path. Bagaimana kekuatan para pengguna media sosial ini di dalam kancah politik?

“Politisi atau partai politik di Indonesia masih banyak yang belum sadar akan cyber democracy,” jelas pengamat politik UGM, Ari Dwipayana, Sabtu (11/10/2014).

Menurut Ari, di media sosial masyarakat lebih rewel. Mereka menyuarakan kemarahan akan ketidakadilan publik. Salah satu contoh kekuatan cyber democracy yakni arab springs di Mesir dan baru-baru ini di Hong Kong lewat umbrella revolution.

Di Mesir mereka menyuarakan kemarahan akan pemerintah melalui media sosial, yang kemudian menyebar. Demikian juga di Hong Kong, dan kemudian kemarahan disuarakan dengan mengkoordinasi massa turun ke jalan menuntut perubahan.

“Jumlah pengguna internet dan HP pintar di Indonesia nomor 3 di dunia. Lewat media sosial kemarahan publik cepat menyebar. Dahulu publik mungkin hanya menerima dari TV, tapi kini informasi bebas diakses di media sosial,” terang dia.

Gerakan cyber democracy dalam skala kecil di Indonesia bisa dilihat dari kasus Prita Mulyasari dengan gerakan pengumpulan koin dan kemudian Cicak Buaya yang membela KPK.

“Saat ini, di media sosial bukan hanya kelas menengah saja. Semua lapisan masyarakat umumnya sudah memiliki HP pintar yang bisa mengakses informasi dari media sosial,” tutur dia.

Mengaitkan gerakan cyber democracy dengan people power dalam konteks di Indonesia, lanjut Ari, akan sangat mungkin. Ketika publik merasa tak diakomodir eksekutif dan legislatif, bola akan menggelinding di media sosial.

“Dan hanya perlu pemimpin populis yang didukung rakyat untuk menggerakkan menjadi people power,” jelas dia.

Soal people power, lanjut Ari, merupakan sebuah gerakan ekstra parlementer, ketika partai politik dan wakil rakyat hanya dipandang sebagai bagian oligarki elite politik yang tak bisa mewakili suara rakyat. Indonesia punya sejarah gerakan people power.

“Pada ’98, ketika ada kemandegan semacam kebuntuan representasi politik melalui demokrasi perwakilan, dan ketika suara rakyat berbeda dengan mereka kalangan elite yang duduk di parlemen lahir gerakan ekstra parlementer,” jelasnya.

Lalu bagaimana people power bisa terjadi? “Yang utama banyak kesamaan isu yang diperjuangkan, secara sporadis terus disuarakan, terjadi konsolidasi, dan kemudian lahir leader yang populis,” jelasnya.

Yang harus benar-benar diperhatikan para politisi baik di legislatif dan eksekutif, masyarakat kini semakin kritis.

“Sekarang gerakan dimulai di dunia maya, istilahnya mematangkan kegelisahan, kemudian konsolidasi dan akhirnya menjadi gerakan ekstra parlementer,” tutupnya.(Res)

sumber: detik

Satu pemikiran pada “Politisi di Indonesia Belum Sadar Ada Kekuatan Dahsyat Bernama Cyber Democracy”

Tinggalkan komentar