Bundelan kertas setebal 27 halaman itu tertanggal 04 November 2016. Dikirim dari Bandung oleh Gubernur Jawa Barat, berkas bersifat penting tersebut tertuju kepada wali kota Bekasi.
Judulnya: penyampaian keputusan gubernur Jawa Barat tentang hasil evaluasi Raperda Kota Bekasi tentang perubahan APBD tahun anggaran 2016.
“Wali kota Bekasi bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari sejak diterima keputusan,” demikian penutup pengantar berkas yang kami dapatkan itu.
Dalam berkas dijelaskan, jika evaluasi tidak ditindaklanjuti, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat akan membatalkan materi APBD Perubahan Kota Bekasi.
Seorang anggota dewan bercerita, begitu gubernur selesai mengevaluasi, ketua partainya di Kota Bekasi langsung menginstruksikan membuat sebuah gerakan agar APBD Perubahan lekas dibahas.
“Ketua DPRD susah diajak bicara. Makanya kami harus membuat wacana di media massa. Ini instruksi ketua partai. Targetnya APBD Perubahan disahkan,” ungkapnya.
Menurutnya, Pemkot Bekasi sudah mengirimkan surat kepada DPRD sejak Senin, 7 November. Namun, Ketua DPRD, Tumai, justru memberi sinyal agar APBD Perubahan ditolak.
Merujuk keputusan gubernur–jika menghitung hari kerja–pembahasan APBD Perubahan semestinya rampung pada Senin, 14 November. Namun hari itu tak ada tanda-tanda rapat di gedung DPRD.
Versi Pemkot Bekasi, limit waktu penyempurnaan APBD Perubahan adalah Selasa, 15 November 2016. Atau terhitung sejak dikirimnya surat ke DPRD.
Keesokan harinya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi angkat bicara. Ia berencana mengeluarkan Peraturan Wali Kota sebagai legal pencairan dana APBD Perubahan tanpa pembahasan di DPRD.
“Kalau sampai pukul 00.00 WIB tidak ada pembahasan, maka kita akan mengeluarkan Perwal agar anggaran bisa digunakan,” kata Rahmat Effendi kepada awak media.
Gertakan Rahmat Effendi nampaknya ampuh. Tak butuh waktu lama, sore harinya, Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Bekasi bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) langsung menggelar rapat untuk membahas penyempurnaan APBD Perubahan.
Rapat terasa tegang. Tumai, yang juga ketua Banggar, bersama para anggotanya dari Fraksi PDI Perjuangan memilih walk out atau tidak mengikuti rapat.
Tidak hanya itu, anggota Banggar dari Fraksi PPP, Solihin, juga cabut dari rapat–mengikuti PDI Perjuangan. Mereka tidak mau menyepakati APBD Perubahan.
Menurut Tumai, sikap penolakan itu bukan tanpa dasar. Ia menilai ada keganjilan dalam APBD Perubahan. Bahkan ia menyebut banyak anggaran ‘siluman’.
“Hasil evaluasi Gubernur Jawa Barat penuh dengan catatan. Ini menjadi bukti bahwa ada yang tidak beres. Maka saya memilih menolak,” katanya.
Solihin pun mengatakan demikian. Ia menyakini bahwa APBD Perubahan kelak menjadi masalah besar–dan tidak menutup kemungkinan bisa berdampak hukum.
“Saya tegas menolak. Terserah teman-teman yang menyetujui. Intinya, saya tidak mau terkena masalah di kemudian hari,” kata dia.
Thamrin Usman, anggota Banggar dari Hanura tidak mempersoalkan penolakan dari segelintir rekannya. Toh, kata dia, APBD Perubahan tetap sah.
“Lembaga ini kolektif kolegial, jadi tidak ada masalah jika ada penolakan. Yang terpenting, rapat tadi sudah kuorum dan ada para pimpinan dewan, minus ketua dewan,” kata dia.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi, Jumhana Lutfi, mengklaim tidak ada persoalan dengan APBD Perubahan.
“Tidak ada masalah. Sudah selesai. Hal-hal yang jadi pertanyaan sudah dijawab. Dan teman-teman dewan menyepakati APBD Perubahan,” kata Lutfi.
Berkas evaluasi gubernur menunjukkan, anggaran belanja daerah pada APBD Perubahan mengalami kenaikan signifikan dari Rp 4,6 triliun di APBD murni menjadi Rp 5 triliun. Bertambah Rp 347 miliar atau naik 7,45 persen.
Rinciannya, alokasi untuk belanja tidak langsung yang semula Rp 1,6 triliun menjadi Rp 1,7 triliun. Bertambah Rp 48 miliar atau naik 2,89 persen.
Sedangkan alokasi untuk belanja langsung, yang semula Rp 2,9 triliun menjadi Rp 3,2 triliun. Bertambah Rp 299 miliar atau naik 10,1 persen.
Pesta pora orang wali kota
Bau tak sedap menyeruak di tengah ketegangan antara Pemkot Bekasi dan DPRD. APBD Perubahan disebut-sebut menjadi bancakan alias ajang pesta pora orang-orang di sekitar wali kota.
Sumber kami mengungkap versi lain mengapa wali kota Bekasi begitu ngotot–dan juga galau–ketika DPRD membuat gerakan penolakan APBD Perubahan secara masif.
APBD Perubahan sengaja didesain oleh Pemkot Bekasi untuk mengakomodir kepentingan dari sejumlah kelompok. Dari mulai pengusaha sampai organisasi kemasyarakatan lintas bidang.
“Di kalangan pengusaha, ada istilah ijon. Pengusaha bayar uang dulu ke pejabat, lalu memborong proyek. Kalau APBD Perubahan gagal, itu akan kacau,” kata sumber.
Dalam APBD Perubahan, belanja barang dan jasa memang mengalami kenaikan yang fantastis pada pos anggaran belanja langsung. Semula Rp 928 miliar menjadi Rp 1 triliun. Bertambah Rp 78 miliar atau naik 8,14 miliar.
Gubernur dalam evaluasinya bahkan melarang Pemkot Bekasi mengeluarkan anggaran pengadaan barang dan jasa yang–dari aspek waktu dan tahapan pelaksanaan–tidak mungkin rampung tahun ini.
Begitu pun untuk belanja modal, yang semula Rp 1,6 triliun menjadi Rp 1,7 triliun. Bertambah 156 miliar atau naik 9,66 persen.
Dalam evaluasi ditemukan banyak belanja modal yang tidak relevan, seperti membeli kendaraan motor sampai Rp 17 miliar, membeli eskavator Rp 19 miliar, mengadakan tanah untuk membangun jalan Rp 35 miliar.
Anggaran belanja pegawai, yang selalu menjadi alasan Pemkot Bekasi untuk menggaji tenaga kerja kontrak, nyatanya lebih kecil: hanya naik Rp 64 miliar, dari anggaran awal Rp 510 miliar.
Anggaran belanja hibah malah mengejutkan, dari semula Rp 57 miliar menjadi 83 miliar. Bertambah Rp 25 miliar atau naik 44,09 persen. Gubernur pun mengevaluasi ini dengan menekankan agar penganggaran berpegang pada Permendagri nomor 14 tahun 2016.
Sejumlah organisasi yang sebelumnya tidak menerima anggaran, di APBD Perubahan, mendapat kucuran. Sebagai contoh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Rp 400 juta dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Rp 4,3 miliar.
Anggaran untuk Bantuan Operasioanl Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD), yang semula tidak ada, juga muncul angka Rp 22 miliar di APBD Perubahan.
“Wali kota sudah ancang-ancang Pilkada 2018. Dia mengakomodir banyak kelompok. Kalau APBD Perubahan, ini khusus untuk yang baru merapat ke wali kota. Ormas, LSM, yayasan, komite, atau apalah namanya,” ungkap sumber.
Sumber kami dari internal Pemkot Bekasi menceritakan, organisasi yang mendapatkan bantuan keuangan sebagian besar terafiliasi dengan orang politik. Baik itu melalui wali kota, wakil wali kota, anggota dewan, atau pengurus partai.
Penerima bantuan, cerita sumber, seringkali bermasalah soal laporan pertanggung jawaban dana. Sampai-sampai ada partai politik yang khusus mendidik kadernya untuk membuat proposal bantuan hibah secara rapi.
Organisasi tanpa sekretariat atau kantor juga sering ditemukan. “Bahkan ada yang kantornya di warung soto,” kata sumber, yang lama berkecimpung mengurus soal ini. (Ical)