Dorongan pembentukan panitia khusus (pansus) kasus penggusuran oleh PDI Perjuangan dan Gerindra telah membuat suhu politik di Kota Bekasi memanas sejak seminggu terakhir. Lobi-lobi gelap tak terhindarkan.
Kekuatan di parlemen Kalimalang itu kini terbelah menjadi dua: pro atau kontra, mendukung atau menolak, oposisi atau koalisi, warga atau pemerintah.
Dari total 50 anggota dewan, kekuatan pro pansus ada sekitar 19 orang. 12 orang di antaranya dari fraksi PDI Perjuangan, lima orang dari Gerindra, dan dua orang dari Demokrat.
Sementara 31 anggota lainnya berada di kubu seberang. Golkar delapan orang, PKS tujuh orang, Demokrat dua orang, PAN empat orang, Hanura empat orang, PPP empat orang, PKB satu orang dan Gerindra satu orang.
Masing-masing kubu melancarkan manuver politik dan perang urat syaraf.
Selasa, 22 November 2016, kubu koalisi memboikot rapat paripurna pembentukan pansus. 30 anggota dewan sengaja tidak masuk ruangan. Rapat pun terpaksa mundur dan dijadwalkan ulang, karena peserta yang hadir tidak memenuhi jumlah minimal atau tidak kuorum.
“Kita bisa melihat siapa yang konsisten membela masyarakat dan tidak. Kami berada di belakang warga korban penggusuran,” kata Ketua DPRD Kota Bekasi, Tumai.
Jumat, 25 November 2016, ternyata tidak ada tanda-tanda rapat. Gedung DPRD sepi. Kali ini, semua anggota dewan–minus PDI Perjuangan–bertolak ke luar kota untuk kunjungan kerja. Paripurna mundur dan diagendakan kembali pada Senin (28/11).
“Kami sudah instruksikan kepada semua anggota agar tetap berada di Kota Bekasi. Jangan keluar kota sebelum persoalan ini selesai,” kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Anim Imamuddin.
Sumber kami dari kubu pemerintah menyebut akan memboikot paripurna pada Senin. Apalagi pada hari itu mereka kembali melakukan kunjungan kerja ke luar kota. Jika demikian yang terjadi, kemungkinan paripurna mundur lagi.
Kubu pemerintah, ungkap sumber, baru akan tampil pada Rabu, 30 November 2016, untuk menguasai gelanggang paripurna. Mereka berencana menggelar rapat tandingan dan memutuskan tidak sepakat ada pansus penggusuran.
“Dengan separuh lebih anggota dewan, maka kuorum. Datang atau tidak datang dari kubu sebelah, rapat tetap sah,” kata sumber kami.
Di tengah panasnya parlemen, para pegawai di lingkungan Pemkot Bekasi ikut bermain peran.
Sebagian besar pegawai yang bekerja di Sekretariat DPRD Kota Bekasi sejak Selasa pergi ke luar kota untuk mengikuti Bimbingan Teknis hingga Jumat.
Pemkot Bekasi juga menggalang sejumlah pegawainya untuk berdemonstrasi di gedung DPRD, pada Jumat. Tidak main-main, instruksi demo bahkan turun langsung dari kepala dinas.
Sebuah pesan berantai yang kami dapatkan menunjukkan, Kepala Dinas Pendidikan, Alexander Zulkarnaen, menyuruh setiap kepala sekolah mengirimkan orang untuk demonstrasi.
Sejumlah demonstran yang kami wawancarai mengakui bahwa mereka ditekan oleh atasannya. Mereka mengaku terpaksa ikut karena takut terjadi apa-apa pada pekerjaannya.
Demonstran tidak saja dari Dinas Pendidikan. Mereka berasal dari hampir semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD), seperti sektretariat DPRD dan Dinas Pendapatan Daerah.
Alexander mengelak mengerahkan massa pegawai. “Tidak. Saya tidak pernah intruksikan demo. Itu pesan dari siapa?” katanya.
Selain pegawai, seminggu terakhir, demonstran datang silih berganti ke pelataran gedung DPRD Kota Bekasi. Mereka mengulang kata kunci yang sama: pansus penggusuran. Pro atau kontra.
Suara asli warga korban penggusuran malah tenggelam di tengah riuhnya kelompok demonstran lain, yang sebenarnya tidak terkena dampak secara langsung dari kebijakan pemerintah.
Wilmi (44) salah satunya. Ia adalah seorang ibu dari tiga anaknya yang masih sekolah. Rumahnya, di RT 02 RW 17 Pekayon Jaya, Bekasi Selatan, sudah rata tanah akibat penggusuran.
Ia menceritakan bagaimana kondisi psikis anak-anaknya pascapenggusuran, beberapa waktu lalu. Ketika pulang sekolah, anak-anaknya kaget, karena rumah mereka sudah rata tanah.
“Saya punya anak yang masih sekolah. Anak saya ada yang PAUD, SMP, dan SMA. Mereka sangat histeris melihat rumahnya hancur, karena waktu berangkat sekolah rumah masih ada,” cerita Wilmi.
Sejak tidak ada rumah, Wilmi harus menghadapi banyak persoalan: menyewa rumah kontrakan, kehilangan perkakas, dan menyiapkan kembali alat sekolah anaknya yang tertimbun reruntuhan bangunan.
Maria, pendiri tempat bimbingan belajar Anak Pra Sejahtera, di Kampung Pangkalan Bambu, Kelurahan Margajaya, Bekasi Selatan, juga khawatir.
Tempat belajar gratis untuk anak-anak itu terancam hilang. Tinggal menghitung hari, alat berat milik Pemkot Bekasi akan menggusur bangunan liar di daerah Margajaya.
Maria ingin tempat belajar tetap ada dan dekat dengan warga. Bagaimana pun, anak-anak yang belajar di sana adalah warga setempat.
Lobi-lobi gelap
Mengapa pansus begitu penting, sehingga muncul pro dan kontra yang berlebihan? Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi kabarnya khawatir jika pansus penggusuran benar-benar ada.
Dalam sejumlah kesempatan, wali kota mengatakan pansus akan melebar kemana-mana. Sebagai politikus yang pernah menjabat Ketua DPRD Kota Bekasi, ia paham betul risikonya.
Pansus bisa menjadi bola panas yang liar. Tidak hanya membahas ganti rugi warga korban penggusuran, tapi pansus juga bisa melebar ke persoalan regulasi, tata ruang, dan akhirnya hukum.
Kekhawatiran wali kota terbukti benar. Ketua DPRD Kota Bekasi, Tumai, sudah melayangkan surat ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) perihal penggusuran.
Tumai menanyakan kepada Kementerian PUPR tentang kejelasan tanah-tanah milik pusat yang ada di Kota Bekasi. Sebab, banyak tanah Kementerian PUPR yang berada di area aset swasta.
Maka dari itulah, dengan berbagai cara, wali kota ingin tidak ada pansus. Demonstrasi menekan DPRD dan manuver-manuver politik pun mengarah ke satu tujuan: gagalkan pansus.
“Semua keputusan harus kami konsultasikan ke wali kota,” kata Ketua PKS Kota Bekasi, Heri Koswara dalam jumpa pers, mewakili kubu pemerintah, belum lama ini.
Di sisi lain, PDI Perjuangan, sebagai inisiator pansus, semakin solid. Mantan wali kota Bekasi Mochtar Mohamad, yang seringkali berseberangan dengan Tumai, ikut turun.
Duet Tumai dan Mochtar konon membuat wali kota berhitung, lantaran ketiganya sama-sama tergolong politikus senior di Kota Bekasi. Mereka pernah duduk bersama di DPRD.
Informasi yang kami himpun, Mochtar sempat melobi hampir semua ketua partai agar mendukung pembentukan pansus. Termasuk melobi PKS, agar abstain.
Dengan modal suara solid dari PDI Perjuangan dan Gerindra, yaitu 17 orang, maka kubu pro pansus membutuhkan setidaknya delapan suara tambahan.
Mochtar mengadakan dua kali pertemuan dengan Demokrat, Hanura, PAN dan PPP. Jika mereka berhasil digaet, suara pro pansus lebih dari cukup.
Ketika waktunya tiba, di rapat paripurna pertama, fakta ternyata berbicara lain. Hanura dan PAN membelot ke kubu pemerintah. Demokrat hanya satu yang pro, PPP hanya dua.
Belakangan, PPP meninggalkan PDI Perjuangan dan merapat ke kubu pemerintah. Sedangkan Demokrat, kemungkinan, menjadi dua orang yang mendukung pansus.
“Soal pansus, kami belum rapat fraksi. Namun secara personal, Arwis Sembiring dan Ronny Hermawan memilih mendukung ada pansus,” kata Sodikin, ketua fraksi Demokrat, belum lama ini.
Gerindra, meski sampai hari ini konsisten mendorong pansus bersama PDI Perjuangan, minus M Dian, sebenarnya memiliki agenda tersendiri.
Salah satu agenda Gerindra adalah terselenggaranya rapat paripurna Pemberhentian Antar Waktu (PAW) Pimpinan Dewan dari M Dian ke Irman Firmansyah. Di tangan Tumai, sang ketua dewan, nasib Irman ditentukan.
Sumber kami mengungkapkan, iming-iming menjadi penentu lobi. Kubu pro pansus keok dalam soal ini.
“Mochtar cuma mengandalkan kedekatan personal. Lebih enak ikut wali kota,” kata sumber, yang merupakan politikus di DPRD.
Lagi pula, sebut sumber, PDI Perjuangan terlalu dominan sehingga mengesankan ada kepentingan terselubung di balik kuatnya dorongan membentuk pansus.
Semua politikus pro pemerintah yang kami wawancarai beralibi bahwa wali kota sudah berniat baik untuk memberikan solusi ganti rugi kepada korban penggusuran.
“Jika Pemkot Bekasi memberikan solusi buat apa lagi dipansuskan. Lebih baik musyawarah. Kalau nanti wali kota ingkar, kami akan tagih janjinya,” kata sekretaris fraksi PPP, Solihin.
Solusi yang dimaksud antara lain memberikan ganti rugi dan menyiapkan rusunawa untuk korban penggusuran. Yang paling memungkinkan dalam waktu dekat adalah ganti rugi.
Sedangkan pembangunan tujuh tower rusunawa di Kelurahan Sumurbatu, Bantargebang, paling cepat membutuhkan waktu satu tahun terhitung sejak anggaran 2017.
Sekadar diketahui, tahun 2016, Pemkot Bekasi menargetkan penggusuran di 51 titik. Sampai sekarang, tinggal beberapa titik saja yang belum dieksekusi.
Hampir semua warga korban penggusuran menuntut Pemkot Bekasi mencarikan solusi. Mereka merasa tidak pernah diajak dialog oleh pemerintah.
Ketika alat berat menghancurkan rumah, warga korban penggusuran tidak bisa berbuat apa-apa. Tentara, polisi, Satpol PP dan ormas ada di belakang pemerintah. (Ical/Mya)
Update:
Pansus penggusuran akhirnya tidak pernah ada. PDI Perjuangan, yang awalnya di depan mengawal pansus, belakangan memilih diam.