Berita  

Parkir Meter Kota Bekasi Proyek Siapa?

Avatar photo

Proyek parkir meter menjadi salah satu program andalan Pemkot Bekasi. Berlindung di balik ‘smart city’, parkir meter berjalan tanpa aral melintang.

Sejak Agustus 2015 hingga sekarang, proyek parkir meter masuk tahap uji coba. Pihak ketiga, PT Pan Satria Sakti dan PT Jaya Sakti Sekurindo, mengambil ‘start’ lebih awal.

Dengan klaim investasi Rp 3 miliar, dua perusahaan yang melebur dengan nama Integrated Technology Services (ITS) itu telah memboyong 20 mesin parkir meter ke Kota Bekasi.

Mesin itu ditancapkan di tiga daerah, antara lain di sekitar Jalan Juanda 3 unit, di sekitar Alun Alun Bekasi 8 unit dan di sekitar kawasan pertokoan Perumahan Grand Galaxy City 9 unit.

ITS menggunakan mesin parkir bermerek Global Parking Solutions yang didistribusikan perusahaan bernama Integrated Technology Solutions Ltd, berbasis di Selandia Baru dan Australia.

Tidak diketahui secara pasti harga per unit mesinnya. Namun, di Jakarta, contohnya, mesin parkir meter buatan Swedia harganya berkisar Rp 90 jutaan. Bandung juga membeli dari Swedia.

Jualan kecap

Seperti pameo lama, semua kecap memang nomor satu. Begitu pun ‘jualan’ ITS dan Pemkot Bekasi kepada masyarakat.

Dengan klaim bisa mendongkrak pendapatan daerah berkali-kali lipat, Pemkot Bekasi gencar menyosialisasikannya.

Pemkot Bekasi bahkan berencana ‘memparkir meterkan’ ratusan titik parkir tepi jalan yang berada di wilayahnya. Titik tersebut akan mengalami kenaikan dari yang tadinya sekitar 98 titik menjadi 300 titik.

Saat ini, pendapatan Pemkot Bekasi dari retribusi parkir hanya sekitar 1 miliar per tahun. Dengan 300 titik itu, Pemkot percaya pendapatan bisa terkerek sampai Rp 30 miliar per tahun. Kecap yang begitu manis, bukan?

Dengan alasan itulah, Pemkot Bekasi secara terang-terangan akan menyerahkan pengelolaan parkir meter kepada pihak swasta. ITS digadang-gadang menjadi pemegang proyek itu, karena telah mendapatkan poin plus.

Bagi hasilnya, sebut Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, 70 persen pendapatan parkir mengalir ke ITS. Sedangkan pemerintah mendapatkan bagi hasil 30 persen.

ITS juga berharap demikian. Bagi pengusaha, pembagian persentase sebesar itu tentu sangat menggiurkan. Namun, bagi masyarakat umum, ini sangat menggelikan.

Pemkot Bekasi tidak bisa semudah itu mengkapling-kapling kekayaan daerah. Bagaimana pun, lahan parkir tepi jalan adalah hak publik. Sekalipun ITS nantinya menyewa, aturannya tetap harus jelas.

Seandainya dalam praktiknya pengelolaan parkir tersebut berbentuk kerja sama investasi, uang yang diserahkan ITS kepada Pemkot Bekasi bukanlah retribusi parkir, melainkan pajak parkir.

Retribusi dan pajak tentu berbeda. Peraturan yang mengaturnya pun berbeda. Dan, prinsip penetapan tarif parkirnya pun berbeda. Pangkal perbedaanya, perlu kita garis tebalkan, terletak pada kepemilikan lahannya.

Merujuk Perda Kota Bekasi Nomor 05 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan dan retribusi parkir, Pemkot Bekasi mematok tarif parkir di tepi jalan umum murah meriah: Rp 1.000 untuk motor, Rp 1.500 untuk mobil.

Dalam uji cobanya, ITS tidak berbeda dengan parkir ala ‘preman’ yang mematok tarif Rp 3.000. Artinya, dari tarif saja, ia sudah mengambil untung dua sampai tiga kali lipat.

Berbeda dengan retribusi, pajak parkir besarannya adalah 25 persen dari total omset yang didapatkan perusahaan pengelola, di tempat parkir yang bukan milik pemerintah.

Bayangkan, jika pemilik lahan saja menyetor 25 persen, apakah tidak terlalu kecil 30 persen bagi pengelola yang tidak memiliki lahan sama sekali? Belum lagi jika kita menghitung risiko ‘kebocoran’ setorannya.

Investasi mesin parkir meter, apabila disediakan oleh ITS, tidak bisa menjadi alasan Pemkot Bekasi untuk membagi hasil secara berlebihan. Lagi pula, harga mesinnya tidak mahal-mahal amat.

Pemkot Bekasi bisa saja membuka tender untuk pengadaan mesin parkir meter, tetapi bukan pengelolaanya. Kalau memang kekurangan anggaran, Pemkot bisa melakukan pembelian secara bertahap. Tidak perlu tergesa-gesa.

Pemkot Bekasi tidak usah khawatir akan gagap memanfaatkan mesin parkir meter itu. Sebab, pada dasarnya, setiap teknologi digunakan untuk mempermudah aktivitas kita–bukan mempersulit.

Soal konflik lapak parkir yang sudah dikuasai ‘orang lama’, Pemkot Bekasi sebenarnya tidak teramat sulit untuk menyelesaikannya. Berdayakan juru parkir setempat. Berikan upah yang pantas untuk mereka. Kelar.

Proyek siapa?

Ada paradoks dalam persoalan parkir meter. Di satu sisi, Pemkot Bekasi sebenarnya berpeluang besar untuk mengelola secara mandiri titik parkir yang ada di wilayahnya. Di sisi lain, Pemkot Bekasi nampak bergantung pada swasta.

Pemkot Bekasi agaknya gagal paham soal penerapan parkir meter. Pemkot terkesan ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat yang memarkir kendaraan di tepi jalan.

Jika komersialisasi yang terjadi, tentu keliru.

Pasal 28 Perda Kota Bekasi Nomor 05 Tahun 2011 menekankan, prinsip penetapan tarif retribusi harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas.

Menilik perkembangan sejarahnya, tujuan mesin parkir meter diciptakan agar pengelolaan kota menjadi efektif. Letak mesin sekaligus menjadi semacam rambu bahwa tempat tersebut adalah tempat yang legal untuk memarkir.

Dengan demikian, pengguna kendaraan tidak memarkir sembarangan di tepi jalan yang berakibat pada gangguan lalu lintas. Pemerintah berperan memfasilitasi.

Jika pemerintah memberikan pelayanan yang baik, tanpa perlu dikejar-kejar pun, masyarakat dengan sendirinya akan menikmati fasilitas mesin parkir meter–bahkan ketika operator tidak dibutuhkan lagi menjaga mesin itu.

Melihat sikap Pemkot Bekasi yang ‘ngebet banget’ menggandeng swasta, kita patut skeptis: apakah ada kolusi di dalam proyek parkir meter?

Keraguan itu sebenarnya muncul sejak Pemkot Bekasi mendadak getol menggaungkan ‘smart city’–yang sebenarnya tidak lebih dari bisnis aplikasi, bila kita berkaca pada Jakarta yang lebih dulu mewujudkannya.

(Baca: Smart City Jakarta Versus Kota Bekasi, Ini Bedanya)

Dengan penekanan kata ‘smart’, istilah itu kini membius banyak orang. Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi agaknya juga terlihat begitu ambisius. Ia bahkan membentuk tim khusus untuk mengurusi smart city.

Ditunjuklah Koswara Hanafi, Kepala Dinas Tata Kota, sebagai direktur smart city. Sejumlah proyek pun bermunculan, dari yang awang-awang sampai yang jelas-jelas ‘beruang’.

Yang sudah direalisasikan, selain parkir meter, ialah ruang kontrol untuk pengelolaan bermacam piranti teknologi informasi yang menunjang smart city. Namanya Patriot Operation Center.

Geng konsultan di bawah brand Smart City Indonesia atau SmartCityID melenggang mulus menguasai proyek POC. Penyokongnya sejumlah perusahaan telekomunikasi swasta. Pemkot Bekasi duduk manis. Tidak keluar duit.

Selama ini, Koswara memang dikenal dekat dengan para konsultan dan pengusaha. Wajar pula, jika ia bisa dengan mudah menggandeng perusahaan telekomunikasi.

Akhirnya, tim khusus smart city menjadi semacam solusi untuk memutus rantai birokrasi yang cenderung dicitrakan tidak ramah investasi. Dalam proyek parkir meter, peran Dinas Perhubungan seperti ‘dikebiri’.

Dinas Tata Kota justru yang memegang kendali. Terlihat jelas dari regulasi untuk uji coba parkir meter: Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 650/Kep.306-Distako/VI/2015 tanggal 29 Juni 2015.

Tentu bukan kebetulan ITC bisa masuk ke ‘smart city’. ITC merupakan anak perusahaan PT TRG Investama, perusahaan yang cukup diperhitungkan dalam dunia bisnis telekomunikasi.

Jadi, parkir meter proyek siapa?

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *