Pelaksanaan uji coba parkir meter di Kota Bekasi kini belum juga rampung. Sudah setahun, miliaran rupiah uang penghuni kota mengalir ke operator tanpa ada landasan aturan yang kuat.
Proyek yang digawangi Dinas Tata Kota itu–dibantu Dinas Perhubungan sebagai pelaksana teknis–sesungguhnya rawan tergelincir dalam pusaran tindak pidana korupsi.
Mengacu pada undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, ada dua hal pokok yang mengkhawatirkan: praktik memperkaya korporasi dan penyalahgunaan wewenang.
PT Pan Satria Sakti dan PT Jaya Sakti Sekurindo–yang melebur menjadi Integrated Technology Services (ITS)–adalah korporasi yang diuntungkan dalam uji coba parkir meter.
Rencana awal, uji coba hanya berlangsung 90 hari dari Agustus 2015 sampai 31 Oktober 2015. Dalam perjalanannya, Pemerintah Kota Bekasi memperpanjang sampai akhir 2015.
Sekarang, 2016 hampir habis, uji coba nyatanya tak kunjung usai.
Ada banyak spekulasi yang berkembang. Kabarnya, penentuan siapa pemenang tender belum rampung. Ada pejabat yang ngotot memenangkan ITS, ada pula yang berusaha memasukkan perusahaan lain.
Kepala Dinas Tata Kota, Koswara, disebut-sebut membeking ITS. Melalui program Smart City–di mana Koswara menjadi komandannya–perusahaan itu melenggang dengan mudah.
ITS merupakan anak perusahaan PT Teknologi Riset Global Investama (TRG Investama): perusahaan yang cukup diperhitungkan dalam dunia bisnis telekomunikasi.
Pemilik TRG adalah Sakti Wahyu Trenggono. Koswara dan Sakti konon menjalin kedekatan yang kental. (Baca juga: Parkir Meter Kota Bekasi Proyek Siapa?)
Terlepas siapa operatornya, yang jelas, bagi hasil dalam proyek tersebut sangat menggiurkan swasta. Pemkot Bekasi rela memberikan 70 persen keuntungan untuk operator–yang tak memiliki lahan.
Dalam uji coba, Pemkot Bekasi bahkan tidak mempersoalkan ITS mematok tarif Rp 3.000. Padahal, sesuai Perda Nomor 05 Tahun 2011, parkir di tepi jalan umum murah meriah: Rp 1.000 untuk motor, Rp 1.500 untuk mobil.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, yang menjamin uji coba parkir meter melalui surat keputusan, bisa tertuduh menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya korporasi.
Pemkot Bekasi tentu tidak bisa semudah itu mengkapling-kapling kekayaan daerah. Bagaimana pun, lahan parkir tepi jalan adalah hak publik. Sekalipun ITS nantinya menyewa lahan, aturannya tetap harus jelas.
Seandainya dalam praktiknya pengelolaan parkir tersebut berbentuk kerja sama investasi, uang yang diserahkan ITS kepada Pemkot Bekasi bukanlah retribusi parkir, melainkan pajak parkir.
Retribusi dan pajak jelas berbeda. Peraturan yang mengaturnya pun berbeda. Dan, prinsip penetapan tarif parkirnya pun berbeda. Pangkal perbedaanya, perlu kita garis tebalkan, terletak pada kepemilikan lahannya.
Melihat persoalan parkir meter yang berkelindan itu, sudah bukan waktunya kepolisian maupun kejaksaan berbasa-basi. Penegak hukum harus memastikan kepentingan publik mendapatkan tempat yang semestinya.
Redaksi