“Selamatan untuk Kali Candrabhaga dan Gomati dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan oleh raja.”
Itulah–kurang lebih– kalimat penutup Prasasti Tugu. Prasasti itu ditemukan di Kampung Tugu, Cilincing, pada tahun 1878. Kala itu, Kampung Tugu masih menjadi bagian Bekasi.Pada tahun 1911, Prasasti Tugu dipindahkan ke Museum Nasional agar aman.
Menurut Arkeolog Universitas Indonesia, Djulianto Susantio, Prasasti Tugu pertama kali dibaca dan diterjemahkan oleh peneliti dari Belanda, H. Kern. Prasasti terbuat dari batu monolit besar dan berbentuk bulat lonjong seperti telur, dipastikan berasal dari Kerajaan Tarumanagara.
Aksara yang digunakan adalah Pallawa, disusun dalam bentuk seloka berbahasa Sansekerta. Berdasarkan analisis gaya dan bentuk aksara, prasasti itu diduga berasal dari pertengahan abad ke-5.
Kurang lebih, isi prasasti itu sebagai berikut: Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh Yang Mulia Raja dan yang memilki lengan kencang serta kuat. Ialah Purnawarman. Itu untuk mengalirkan air ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur.
Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman, yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya, serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih. Kali Gomati namanya. Kali tersebut telah mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Nenek Raja).
Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan oleh raja”
Candrabhaga dan Gomati
Dari keseluruhan isi prasasti Tugu, ada hal paling menarik untuk diselidiki. Adalah mengenai dibuatnya sungai Candrabhaga dalam waktu 21, disamping dibuatnya Kali Gomati. Sungai apakah itu, di manakah lokasinya, dan untuk apa dibuat oleh Raja?
Poerbatjaraka, ahli bahasa Jawa kuno dan Sansekerta, menafsirkan bahwa Kali Candrabhaga adalah Kali Bekasi sekarang. Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan.
Pelafalannya kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie. Di Stasiun Kereta Api Lemahabang, misalnya, pernah ditemukan plang nama Bacassie. Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
Sungai Candrabhaga mengalir melalui kraton sebelum mengalir ke laut. Sementara sungai Gomati melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda atau nenek sang raja. J. Ph. Vogel, sejarawan Belanda, pernah menyebut, kata Gomati berarti banyak atau kaya akan sapi. Belum diketahui pasti di mana lokasi Kali Gomati.
Mengatasi banjir
Penggalian Kali Bekasi dan Gomati tersebut diduga merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Selain itu, Kali Bekasi juga dimanfaatkan untuk jalur kapal.
Kali Bekasi dulu dan kini tentu saja lain. Kali Bekasi penuh sampah. Itu bisa terlihat ketika musim kering tiba. Warga Bekasi di bantarannya, kerap membuang sampah sembarangan ke kali. Maka, bukannya mengatasi banjir, Kali Bekasi jutsru menjadi penyebab banjir.
Pantauan BekasiRaya, Kali Bekasi tidak lagi jernih. Bahkan warna airnya kerap kehitam-hitaman akibat pembuangan limbah gila-gilaan. Selain itu, tidak ada pepohonan di pinggir-pinggirnya sehingga menimbulkan longsor. Pada banjir besar 2007, beberapa rumah di bantaran Kali Bekasi ambruk.
Pemerintah Kota Bekasi selalu mewacanakan agar Kali Bekasi dijadikan semacam kawasan cagar budaya. Salah satunya adalah mengajak masyarakat menggalakkan penanaman pohon di bantaran Kali Bekasi dan melarang warga membuang sampah di sungai.Namun, wacana itu tinggal sekadar wacana. (Res/Net)