Berita  

Mencari Dalang ‘Mbalelo’ Pegawai

Avatar photo

Sejumlah pejabat di Kota Bekasi diduga ‘mbalelo’ alias susah diatur oleh pejabat sementara wali kota, Ruddy Gandakusumah. Tutupnya kantor-kantor pelayanan publik di Kota Bekasi pada Jumat, 27 Juli 2018, disinyalir merupakan kesengajaan yang sudah direncanakan. Siapakah dalangnya?

Kabar terhentinya pelayanan publik di Kota Bekasi membuat Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya bergerak cepat. Lembaga negara yang memang dibentuk untuk mengawasi pelayanan publik itu bahkan langsung melayangkan surat nomor 0107/PW34-SRT/VIII/2018 tertanggal 6 Agustus 2018 kepada Pemkot Bekasi.

Ruddy Gandakusumah menjalani pemeriksaan pada Rabu, 8 Agustus 2018, untuk menjelaskan secara gamblang apa yang sebenarnya terjadi di Kota Bekasi.

Selain Ruddy, pihak yang dipanggil antara lain eks Sekda Kota Bekasi Rayendra Sukarmadji—yang baru pensiun 1 Agustus 2018. Rayendra ternyata tidak hadir saat dipanggil. Kemudian Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta Kepala Bagian Hubungan Masyarakat.

Ketua Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho kepada wartawan di Bekasi mengatakan, jika memang ada unsur kesengajaan, maka sama saja Pemkot Bekasi telah melakukan maladministrasi secara terbuka. Aksi semacam itu, kata dia, jelas melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

“Kami menerima pengaduan terkait penghentian pelayanan di 12 kecamatan dan 56 kelurahan se-Kota Bekasi, pada Jumat (27/7) secara masif. Penghentian juga berlanjut pada Senin (30/7) di Mal Pelayanan Publik (MPP) Pasar Proyek Trade Center, Bekasi Timur,” jelas Teguh.

Sebelum melakukan pemangggilan, Ombudsman sebenarnya sudah datang langsung ke Kota Bekasi untuk mengonfirmasi pihak-pihak yang bertanggung jawab. Sayangnya, informasi yang didapatkan Ombudsman justru simpang siur—bahkan terkesan tidak masuk akal.

Pihak Pemkot Bekasi, misalnya, mengatakan terjadi gangguan sistem Teknologi Informasi (TI) sehingga pelayanan dihentikan sementara. Ombusdman kemudian mengonfirmasi ke Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian (Diskominfostandi) Kota Bekasi. Ternyata tidak ada sistem offline.

Ombudsman akhirnya mengambil kesimpulan bahwa mogoknya pelayanan publik di Kota Bekasi tidak ada kaitannya dengan gangguan sistem TI. Ombudsman menduga bahwa ketegangan antara Rayendra dan Ruddy menjadi penyebab layanan terhenti.

“Seharusnya dengan alasan apapun tidak boleh ada penghentian layanan publik. Kenapa konflik antara Pj Wali Kota dengan Sekda berimbas pada pelayanan publik? Ini aneh,” pungkasnya.

Konflik Ruddy dan Rayendra memang sudah bukan rahasia. Senin, 30 Juli 2018, Ruddy melaporan Rayendra ke Mabes Polri dengan tuduhan penghasutan yang dijelaskan dalam Pasal 27-28 UU ITE dan Pasal 160 KUHP. Berkas laporan Ruddy diterima Bareskri dan dicatat dengan Nomor STTL/779/VII/2018/Bareskrim.

Salah satu bukti yang dibawa oleh Ruddy adalah screenshot atau tangkapan layar ponsel berisi percakapan Whatsapp Rayendra kepada para pegawai. Isinya: “Para SKPD Anda jangan mau diatur sama orang baru yang mencari popularitas di Bekasi, kita harus punya prinsip dan nyali untuk mengusir Pj dari Bumi Bekasi. Jangan punya nyali kecil jangan mau menghadap kalau dipanggil biarkan saja kita harus kompak.”

Secara kelembagaan, Ruddy juga mengusut aksi mbalelo pegawai ini ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Sebagai (Pj) Wali Kota Bekasi saya nggak mau membiarkan masyarakat sampai kehilangan haknya. Saya harus bertindak demi hukum dan negara,” kata dia.

Nyanyian Ruddy di depan Ombusdman

Ruddy merupakan pejabat terakhir yang menjalani pemeriksaan oleh Ombudsman, susudah sejumlah pejabat diperiksa secara bergilir. Nasib sejumlah pejabat di Kota Bekasi memang bergantung pada nyayian Ruddy. Jika ternyata nyanyian Ruddy sumbang, para pejabat dalam bahaya—dan dalangnya bisa saja ketahuan.

Kepada Klik Bekasi, Ruddy Gandakusumah mengatakan, ia berharap dalang di balik mogoknya pelayanan publik bisa segera terungkap. Ia telah memberikan keterangan secara terang benderang kepada pihak Ombudsman sesuai dengan apa yang ia ketahui.

“Sebagai warga negara yang taat hukum, apalagi sebagai pejabat wali kota yang harus menegakkan hukum saya menghadiri panggilan. Saya memberikan jawaban atas pertanyaan yang saya mengerti, saya lihat, saya dengar dan saya rasakan,” kata dia.

Tak sekadar memberikan keterangan, Ruddy juga siap menjalankan rekomendasi Ombudsman terhadap kasus penghentian layanan publik di Kota Bekasi. Menurutnya, tidak ada alasan baginya untuk tidak menjalankan rekomendasi tersebut.

“Yang jelas kita tidak dalam posisi tidak melaksanakan. Apalagi yang dikeluarkan rekomendasi korektif yang memiliki kekuatan mengikat. Bagi siapapun yang merekomendasikan untuk melaksanakan ya harus dilaksanakan,” tegasnya.

Ruddy sendiri berharap penyeledikan Ombudsman dilakukan secara independen. Siapa pun dalang di balik aksi tersebut, Ruddy tidak peduli. “Saya berharap penyelidikan ini independen. Katakanlah yang benar adalah benar demi kebaikan penyelenggaraan pemerintahan.”

Apakah Rayendra dalangnya? Atau ia hanya wayang: wayang siapa? “Kalau, kalau memang ada indikasi kuat ke arah sana. Harus diselediki siapa yang paling bertanggung jawab,” kata Ruddy.

“Saya pikir jangan main-main dengan pelayanan publik, Aparatur Sipil Negara diangkat oleh negara digaji dengan uang rakyat, dan disumpah untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat.”

Restu dari Pekayon

Aksi mbalelo pegawai disinyalir mendapatkan restu dari Pekayon—merujuk kediaman rumah wali kota Bekasi terpilih, Rahmat Effendi. Ketika dikonfirmasi, Rahmat membantah bahwa ia yang menggerakan aksi tersebut, namun ia juga tidak menyangkal bahwa ada aksi mbalelo di internal Pemkot Bekasi.

“Coba tanyakan kepada ASN satu-satu,” kata Rahmat, belum lama ini.

Lagi pula, jauh sebelum mogok pelayanan, Ruddy juga mendapat tekanan dari luar. Kamis, 26 Juli 2018, sekelompok massa dari gabungan organisasi masyarakat (ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sejumlah tokoh masyarakat dan lintas agama berunjuk rasa di kantor Wali Kota Bekasi menuntut Ruddy mundur.

Ada rupa-rupa alasan yang dikemukakan dalam unjuk rasa tersebut. Namun pada intinya, massa beranggapan Ruddy tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. Terutama dalam mengelola birokrasi dan menjalin komunikasi yang baik dengan kelompok masyarakat.

Seminggu setelah demontrasi di kantor wali kota, massa kembali menggelar aksi: kali ini datang ke kantor gubernur di Kota Bandung. Tidak main-main, gelombang protes kepada Ruddy langsung dipimpin oleh Abdul Mannan—dedengkot Golkar Kota Bekasi sekaligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama.

Hasil reportasi Klik Bekasi, pada Kamis pagi, 9 Agustus 2018, serombongan orang berkumpul di rumah Mannan di bilangan Galaxy, Bekasi Selatan. Mereka bertolak dari rumah Mannan menggunakan sebuah bus. Di sekitaran kantor wali kota, massa di bawah komando Mannan juga berkumpul. Mereka pun berangkat ke Bandung menggunakan beberapa bus.

Setiap gerakan yang dilakukan Abdul Manan tidak bisa dilepaskan dengan Rahmat Effendi. Mannan bahkan dikenal sebagai mentor politik Rahmat Effendi. Maklum, ayah dari Reny Hendrawati—kepala Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bekasi—itu yang membawa masuk Rahmat Effendi ke dunia politik.

Sepintas, Mannan memang terkesan tidak punya kekuatan apa-apa untuk mengendalikan birokrasi. Namun, ternyata, kondisi di lapangan justru sebaliknya: ia bahkan bisa mengintervensi kebijakan pejabat. Kasus beredarnya memo dari Mannan kepada mantan Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Rudi Sabarudin, adalah bukti bahwa ia punya pengaruh.

Rudi Sabarudin, yang saat itu menolak permintaan Mannan untuk memasukkan 9 orang untuk bekerja sebagai tenaga kerja kontrak di Pemkot Bekasi, langsung dipecat oleh Rahmat Effendi. (Baca: Surat Sakti Orang Dekat Wali Kota Bekasi)

Bagaimana dengan Rayendra, apakah ia juga terafiliasi dengan Pekayon?

Di internal Pemkot Bekasi, Rayendra sudah dikenal sebagai loyalis Rahmat Effendi. Bahkan sejak awal Rayendra sudah diplot menjadi pejabat sementara. Rahmat Effendi, yang saat itu masih menjabat wali kota, mengusulkan langsung nama Rayendra ke Kemendagri. Sayang, usulan tersebut terganjal aturan.

Rayendra pun sama sekali tidak membantah bahwa benar dirinya diusulkan menjadi Pejabat Wali Kota Bekasi sebelum nama Ruddy muncul. (Baca: Ramai-ramai Tolak Pejabat Wali Kota Bekasi)

“Diusulkan benar, tapi aturan tidak memungkinkan. Karena harus pejabat eselon II di tingkat Provinsi yang bisa menjadi Pejabat Wali Kota,” kata Rayendra mengakui.

Tak disetujuinya Rayendra menjadi Pejabat Wali Kota Bekasi kabarnya menimbulkan kekecewaan. Rayendra maupun Rahmat kecewa. Selang beberapa waktu Ruddy menjabat, benar saja, kekecewaan Rayendra diumbar kepada para pegawai di grup Whatsapp.

Mengapa Ruddy yang salah?

“Semua kegaduhan ini berasal dari Pekayon. Dari awal mereka tidak menyukai Ruddy menjabat sebagai wali kota sementara karena tidak bisa diatur,” ungkap sumber Klik Bekasi. (Baca: Ruddy ‘Anak Baik’ yang Bikin Resah)

Menurut sumber, sebelum datang ke Bekasi, Ruddy sudah bertemu dengan Rahmat Effendi. Pertemuan itu berlangsung di XXI Lounge Mega Bekasi berkat prakarsa Dirjen Otda, Sony Sumarsono.

Sony sengaja memfasilitasi pertemuan ini sebagai bagian dari ‘cuci tangan’. Awalnya, Sonny dan Rahmat Effendi sudah menyepakati salah satu nama pejabat Kemendagri untuk ditempatkan di Kota Bekasi, setelah Rayendra Sukarmadji tidak bisa dijadikan pejabat sementara akibat terganjal aturan. Sayang, Ahmad Heryawan selaku Gubernur Jawa Barat saat itu lebih memilih menempatkan pejabat Kemendagri di Cirebon.

Dari awal pertemuan itu, kata sumber, terlihat jelas Rahmat Effendi tidak suka dengan Ruddy. “Dari gesturnya sudah kelihatan kalau Rahamat Effendi tidak suka dengan Ruddy,” kata sumber.

Versi lain menyebut Ruddy banyak tahu persoalan di Pemkot Bekasi sehingga Rahmat Effendi tidak ingin Ruddy mengumbar persoalan tersebut ke publik.

Salah satu masalah paling krusial adalah mengenai defisit anggaran pada APBD Kota Bekasi 2018. Kabarnya Rahmat Effendi sangat resah jika isu ini mencuat ke publik. “Masalah-masalah tersebut sangat sensitif bagi Rahmat Effendi, terutama mengenai defisit anggaran,” kata sumber kami di internal Pemkot Bekasi.

Celakanya, yang menjadi biang defisit anggaran Kota Bekasi adalah program-program politis Rahmat Effendi untuk menggenjot suara di Pilkada 2018. Beberapa di antaranya adalah progam Kartu Sehat, tunjangan RT dan RW, gaji Tenaga Kerja Kontrak (TKK). Kemudian sejumlah proyek infrastruktur untuk instansi vertikal seperti Kantor Kepolisian, Lapas, dan Imigrasi.

Saat ditanya soal defisit anggaran, Ruddy urung berkomentar dan memilih menjawab diplomatis.”Nanti pada saatnya saya akan bicara. Semua ada waktunya,” pungkas Ruddy. (Ical)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *