Site logo

Main Kartu Rahmat Effendi

Pemerintah Kota Bekasi menggelontorkan anggaran fantastis Rp75 miliar untuk program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), berbentuk Kartu Sehat versi baru berbasis Nomor Induk Kependudukan. Jadi ‘kartu sakti’ petahana jelang Pilkada 2018.

Kartu Sehat merupakan bagian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bekasi lima tahunan yang disusun Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan wakilnya, Ahmad Syaikhu, sejak terpilih pada 2012.

Artinya, Kartu Sehat hanya berlaku sementara sampai masa jabatan Rahmat Effendi dan Ahmad Syaikhu habis di tahun 2018–kecuali jika ia terpilih kembali menjadi wali kota, atau wali kota baru melanjutkan program tersebut.

Kartu Sehat versi baru ini dikeluarkan pada awal 2017. Perbedaannya terletak pada nomor kartu dan penggunanya. Yang lama, setiap kartu menggunakan basis nomor kartu. Sekarang, setiap kartu hanya berbasis NIK kepala keluarga dan lampiran anggota keluarganya.

“Ini program penyempurnaan dari program sebelumnya. Dulu satu kartu cuma bisa digunakan untuk satu orang, kalau sekarang satu kartu bisa digunakan untuk satu keluarga,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi Kusnanto Saidi kepada Klik Bekasi, belum lama ini.

Terhitung sampai Juli, program yang dibiayai APBD 2017 itu sudah menyedot anggaran Rp27 miliar. Uang itu terus terkuras seiring bertambahnya jumlah peserta Kartu Sehat.

Untuk mengantisipasi pembengkakan, Pemkot Bekasi bahkan mengajukan penambahan anggaran Kartu Sehat Rp20 miliar pada APBD Perubahan 2017–yang sekarang masih dibahas di DPRD.

Pemkot Bekasi menargetkan pembagian 300 ribu Kartu Sehat kepada warganya. Jika anggaran memadai, target bisa ditingkatkan sampai 600 kartu.

Tidak ada kriteria untuk kepesertaan Kartu Sehat. Kaya atau miskin bisa menggunakan layanan tersebut asalkan ia warga Kota Bekasi.

“Meskipun kami memprioritaskan masyarakat kurang mampu, namun Kartu Sehat ini bisa dimiliki siapa pun. Tidak ada perbedaan,” kata Kusnanto.

Ada 39 rumah sakit di Kota Bekasi–termasuk RSUD–yang menjadi mitra program Katu Sehat. Di luar Kota Bekasi ada 19 rumah sakit, seperti RSCM Jakarta, RS Polri dan RS Haji Jakarta.

Menurut Kusnanto, Pemkot Bekasi tidak terlalu memikirkan apakah program itu menguntungkan swasta atau tidak. Yang menjadi fokus adalah peserta Kartu Sehat.

“Kami hanya mengupayakan pelayanan kesehatan untuk masyarakat Kota Bekasi. Tidak ada arah menuju ke situ (menguntungkan swasta),” katanya.

Sejumlah peserta Kartu Sehat yang kami wawancarai menyebut program itu mampu menanggung semua biaya pengobatan pasien, apa pun penyakitnya. Tidak ada limit.

Kusnanto mengakui itu. Kondisi-kondisi darurat yang memakan biaya besar sekalipun, seperti operasi pasien, tetap menjadi tanggungan Kartu Sehat.

“Sampai kondisi darurat yang memang membutuhkan pertolongan segera, operasi misalnya, kami tetap tanggung penuh,” kata dia.

Mekanisme pencairan klaim dari rumah sakit, kata Kusnanto, menggunakan standar tarif INA-CBG’s (Indonesia case base Groups) seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

“Prinsipnya hampir sama dengan layanan kartu-kartu sehat lain. Bedanya, peserta tidak perlu membayar premi dan tidak terbatas pada kalangan kurang mampu,” jelas Kusnanto.

Rancu dengan JKN dan KIS

Di saat pemerintah pusat gencar melakukan integrasi Jamkesda dengan JKN dan KIS, Pemkot Bekasi justru terus mengampanyekan Kartu Sehat. Apakah tidak rancu?

Kartu Sehat di Kota Bekasi malah tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Peraturan Daerah pun tak ada, hanya berdasarkan Peraturan Wali Kota.

“Saya tidak hafal Perwal nomor berapa,” kata Kusnanto.

Kepala Cabang BPJS Kesehatan Bekasi, Siti Farida Hanoum, menyebut Kartu Sehat ala Kota Bekasi memang bisa berpotensi rancu dengan JKN dan KIS.

“Kemungkinan itu (rancu) bisa terjadi,” kata Siti kepada Klik Bekasi.

Siti menyarankan Pemkot Bekasi mengintegrasikan Kartu Sehat dengan JKN dan KIS yang diselenggarakan BPJS Kesehatan berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Model integrasi antara pemerintah daerah dan BPJS Kesehatan bisa dilihat di daerah-daerah lain seperti di Jakarta dan Tangerang. Tujuannya, selain tidak rancu, juga menguatkan dari segi hukum.

“Di Jakarta ada Kartu Jakarta Sehat yang sudah dintegrasikan dengan JKN dan KIS, begitu juga di Tangerang. Karenanya, kami berharap di Kota Bekasi juga demikian,” kata dia.

Informasi yang kami himpun dari BPJS Kesehatan pusat, sampai awal Januari 2017, dari 514 kota atau kabupaten di Indonesia, ada 491 daerah sudah memiliki program Jamkesda dan 23 daerah belum.

Sebanyak 453 dari 491 daerah itu sudah mengintegrasikan Jamkesda dengan JKN dan KIS. Total peserta yang terintegrasi mencapai hampir 17 juta. Kota Bekasi tidak termasuk.

“Sejak JKN bergulir, Jamkesda tidak bisa lagi dikelola langsung oleh daerah, karena dialihkan ke BPJS Kesehatan,” kata Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi dalam siaran persnya di Jakarta, belum lama ini.

Pada 19 Oktober 2016, Menteri Dalam Negeri juga menerbitkan surat edaran No.440/3890/SJ untuk menginstruksikan kepala daerah agar segera mengintegrasikan Jamkesda dengan JKN dan KIS.

“Sanksinya jelas dan tegas. Kalau program strategis nasional, maka mau tak mau daerah harus laksanakan,” kata Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Rizari, di Jakarta.

Pasal Pasal 67 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebut kepala daerah wajib melaksanakan program strategis nasional. Jika tidak, pasal 68 menegaskan, kepala daerah bisa dikenakan sanksi: dari teguran tertulis sampai pemberhentian jabatan.

BPJS Watch, yang fokus mengadvokasi seputar jaminan kesehatan sejak 2011, menyebut pemerintah daerah yang tidak mau mengintegrasikan Jamkesda dengan JKN dan KIS biasanya rentan melakukan korupsi.

“Upaya melakukan korupsi anggaran Jamkesda ditengarai menjadi alasan kenapa program tersebut ingin dikelola sendiri oleh daerah,” kata Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kepada wartawan di Jakarta.

Menurut Timboel, korupsi biasanya terjadi pada saat pemerintah daerah, melalui dinas kesehatan, melakukan pembayaran ke rumah sakit–baik rumah sakit daerah maupun swasta.

“Dengan pengelolaan Jamkesda secara langsung oleh daerah maka peluang terjadinya korupsi anggaran relatif terbuka,” tegasnya.

Faktanya, sejumlah daerah yang membiayai Jamkesda dengan APBD pada akhirnya memang terlilit kasus korupsi. Sebutlah Kabupaten Parepare dan Luwu di Sulawesi Selatan, Seram Bagian Timur di Maluku, Halmahera Timur di Maluku Utara, dan Binjai di Sumatera Utara.

Modusnya hampir sama: mengutak-atik uang pembayaran klaim rumah sakit. Layanan kesehatan milik pemerintah, dalam hal ini RSUD dan Puskesmas, paling sering menjadi tempat korupsi Jamkesda.

“Perlu ada proses audit yang ketat dari lembaga resmi negara, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan,” kata pengamat anggaran, Uchok Sky Khadafi, saat kami mintai komentar mengenai Kartu Sehat Kota Bekasi.

Menurut Uchok, Jamkesda jelas rentan dikorupsi karena berkaitan dengan anggaran yang besar. Di sisi lain, karena dikelola sendiri oleh daerah, kontrol atas anggaran tersebut sangat lemah.

Pemerintah Kota Bekasi (1)

Alat kampanye politik

Selain rentan dikorupsi, Kartu Sehat versi baru ala Kota Bekasi–yang berwarna kuning itu–disinyalir menjadi alat kampanye politik terselubung bagi petahana untuk Pilkada 2018.

Apa yang dilakukan Rahmat Effendi hari ini nampaknya merupakan pola lama. Pada 2012, saat ia menjabat wali kota pengganti Mochtar Mohamad, juga memainkan kartu serupa. Bedanya, mitra program tersebut hanya RSUD dan satu rumah sakit swasta.

Program itu dikeluarkan tepat sebelum Pilkada dengan target distribusi kartu sebanyak 100 ribu. Efeknya terasa: warga antusias untuk mendapatkan kartu tersebut.

“Sepertinya hampir semua petahana di banyak daerah melakukan pola yang sama. Mereka memunculkan program populis menjelang Pilkada. Biasanya berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” kata Uchok.

Sejumlah politikus di Kota Bekasi yang kami wawancarai mudah saja menebak arah Kartu Sehat. Targetnya, petahana menuai simpati dari warga dalam waktu singkat dan cenderung mendapatkan data calon pemilih yang akurat.

“Kalau program berhubungan dengan KTP, itu sudah pasti arahnya ke pemenangan Pilkada. Dulu Rahmat Effendi menang dengan 43 persen atau 300 ribuan suara, sekarang target Kartu Sehat 600 ribu penerima. Itu saja sudah jadi semacam tiket untuk menang Pilkada,” kata seorang politikus.

Terlepas pro dan kontra, kenyataannya, Rahmat Effendi menuai banyak simpati masyarakat atas program tersebut. Mayoritas warga Kota Bekasi yang kami wawancarai menyebut program ini luar biasa, karena cara membuatnya cukup gampang dan manfaatnya terasa.

Rahmat Effendi tentu menyadari betul efek positif dari pembagian Kartu Sehat bagi karir politiknya. Ia sangat gencar membagikan kartu secara langsung kepada masyarakat–tak terhitung banyaknya.

Sejumlah relawan politik pendukung Rahmat Effendi bahkan begitu aktif terlibat dalam program ini. Mereka ikut turun ke bawah mencari penerima kartu dan membantu proses pembuatannya secara cuma-cuma.

Selain membantu pembuatan kartu, relawan ikut mengurusi pasien: menjemput pasien dari rumah hinga memastikan pasien terlayani dengan baik di rumah sakit. Hal tersebut juga dilakukan beberapa pengurus Golkar Kota Bekasi, partai Rahmat Effendi.

Kusnanto, kepala Dinas Kesehatan, tak mau komentar banyak mengenai keterlibatan jejaring politik Rahmat Effendi dalam program Kartu Sehat.

“Sebagai aparatur tugas kami mensukseskan program kepala daerah. Kami tidak masuk dalam wilayah politik, kami hanya berusaha memberikan pelayanan,” kata Kusnanto.

Menurut Kusnanto, di internal Pemkot Bekasi, program Kartu Sehat melibatkan langsung tiga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta Dinas Sosial.

“Dinkes mengurus pelayanan kesehatan, seperti membuat perjanjian dengan rumah sakit swasta. Dinsos mendata warga, kemudian Disdukcapil mencetak dan mendistribusikan kartu,” kata Kusnanto.

Kartu Sehat juga terus dikampanyekan melalui media iklan layanan masyarakat. Hampir di setiap sudut kota iklan Kartu Sehat beredar. Uniknya, dalam materi iklan tersebut, tidak nampak gambar Ahmad Syaikhu–wakilnya yang digadang bisa menjadi lawannya di Pilkada 2018.

Salah satu yang paling kentara adalah iklan di Jalan Ahmad Yani Bekasi, tepatnya di depan RS Mitra Keluarga Bekasi Barat. Dalam iklan berukuran jumbo itu hanya ada gambar Rahmat Effendi.

Ahmad Syaikhu menyadari betul wajahnya hilang dari iklan layanan masyarakat yang sedang naik daun itu. Dengan halus, Syaikhu seperti menyindir hilangnya wajah dia pada reklame di Jalan Ahmad Yani.

Sembari naik sepeda, dan menunjukkan Kartu Sehat, Syaikhu berpose dengan latar belakang reklame Katu Sehat. Pose itu kemudian diunggah di media sosial.

PKS, partai Ahmad Syaikhu, mengkritik lebih keras secara terbuka. Salah satu anggota Fraksi PKS DPRD Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata, misalnya, menyebut ada pelanggaran aturan resmi mengenai pemasangan reklame bagi wali kota dan wakil wali kota.

“Saya mempertanyakan kenapa bisa begitu. Itu kan program Pemkot Bekasi, bukan program partai atau perorangan. Seharusnya foto wakil wali kota ikut terpampang,” kata Ariyanto.

Bagi PKS, setiap program yang diluncurkan Pemkot Bekasi tidak bisa diklaim Rahmat Effendi seorang, karena ada peran Ahmad Syaikhu pula. Keduanya satu paket yang dipilih masyarakat melalui Pilkada.

Rahmat Effendi sendiri, ketika dikonfirmasi, sekan tidak mau ambil pusing jika ada pihak yang mempersoalkan Kartu Sehat.

“Yang penting dilihat dari sisi manfaatnya. Selama itu bermanfaat bagi warga tidak perlu ada yang dimasalahkan,” kata Rahmat Effendi. (TIM)

Comments

  • No comments yet.
  • Add a comment
    Home
    News
    Blog