Korupsi dan Kepala Kejaksaan yang Lemah

Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi pengganti Didik Istiyanta, Didi Suhardi, yang belum lama ini menjabat, harus bisa memberi bukti kepada publik bahwa ia tak sama dengan para pendahulunya.

Tak terbantahkan lagi, Didik sangat lemah dalam menangani kasus korupsi. Para pendahulu Didik pun sama. Sehingga ada kesan kejaksaan gemar bermain-main dengan kasus korupsi, selingkuh dengan eksekutif, dan sederet penyebutan kasar lainnya.

Kejaksaan nyaris tak pernah menyentuh persoalan korupsi ‘kelas kakap’ yang menyeret tersangka, paling tidak, sekelas kepala dinas–setidaknya semenjak Rahmat Effendi dan Ahmad Syaikhu memimpin pada 10 Maret 2013.

Irnensif, yang sempat menjabat Kepala Kejaksaan di awal-awal kekuasaan Rahmat Effendi dan Ahmad Syaikhu, hanya menangani korupsi kelas teri yang tak menyentuh pejabat penting di Kota Bekasi.

Selama kepemimpinan Irnesif, sebagai contoh, kejaksaan menangani kasus korupsi pembuatan jalan di TPA Bantar Gebang tahun 2002. Itu pun merupakan perakara lama yang sudah putus di Mahkamah Agung dan pelakunya cuma pejabat sekelas kepala bidang.

Perkara lain yang ia tangani yaitu korupsi pengadaan lahan TPA Sumurbatu. Lagi-lagi hanya pejabat rendah yang dihukum, yakni Kepala Bidang Pertanahan pada waktu itu: Masnah Suryana.

Padahal, dalam kasus Masnah, Sekretaris Daerah Kota Bekasi Rayendra Sukarmadji dikabarkan ikut terlibat dan sempat dipanggil kejaksaan untuk dimintai keterangan.

Ada juga kasus pengadaan alat kesehatan di RSUD Kota Bekasi yang pada perjalanannya mandek–meski salah satu pegawai RSUD berinisial TR sempat ditetapkan sebagai tersangka.

Irnesif juga tercatat menangani Kasus dugaan gratifikasi izin batching plant di Jatiasih yang melibatkan salah seorang kepala bidang di Dinas Tata Kota bernama Gatot.

Enen Saribanon, pewaris Irnensif, tak mampu berbuat banyak selama memimpin Kejaksaan Negeri Bekasi. Sama dengan pendahulunya, kasus yang ditanganinya tak sampai menyentuh pejabat di lingkaran wali kota.

Perkara yang ditangani Enen antara lain pungutan liar pada Pusat Promosi Ikan Hias. Dalam kasus ini, kejaksaan menjebloskan Sunandar yang jabatannya cuma manajer operasional pada Pusat Promosi Ikan Hias.

Kejaksaan di era Enen juga tercatat pernah mengusut korupsi penyimpangan kesejateraan guru di Dinas Pendidikan Kota Bekasi yang pelakunya PNS berstatus staf.

Lalu ada kasus korupsi pengadaan perangkat lunak di Sekretariat Daerah Kota Bekasi yang hanya melibatkan Kepala Bagian Telematika, Sri Sunarwati.

Ada juga kasus penjualan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sumurbatu. Lagi-lagi tidak ada petinggi yang terseret kasus ini. Penanganan kasus hanya berhenti pada camat dan lurah, serta mantan staf.

Kasus diklat prajabatan yang menyeret Roro Yoewati, sebagai salah seorang Kepala Bidang di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bekasi, merupakan kasus yang juga Enen tangani dan kemudian diteruskan Didik Istiyanta.

Enen memang sempat menelusuri kasus bagus, yaitu dugaan pungli di PDAM Tirta Bhagasasi, dugaan korupsi izin reklame, dan perjalanan fiktif anggota dewan. Namun, sayang, sampai masa jabatannya berakhir kasus tersebut menguap tanpa kejelasan.

Chatarina Muliana Girsang, pengganti Enen, bahkan tak ambil bagian satu pun. Orang yang diturunkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi ini hanya menjabat sebulan di Kota Bekasi.

Korupsi infrasturktur tak tersentuh

Korupsi di Dinas Binamarga dan Tata Air (Disbimarta) dan Dinas Bangunan dan Permukiman (Disbangkim) benar-benar tak tersentuh–bahkan tercium pun tidak. Seolah-olah kondisinya baik-baik saja di mata kejaksaan.

Dua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) itu, yang dipimpin Tri Adhianto di Disbimarta dan Dadang Ginanjar di Disbangkim, adalah pemegang anggaran terbesar dibanding lainnya.

Dalam APBD Kota Bekasi 2016, dua SKPD tersebut mendapatkan anggaran untuk infrastruktur sampai Rp 1 triliun lebih. Masing-masing sekitar Rp 677 juta di Disbimarta dan Rp 611 di Disbangkim.

Jika akal sehat yang dikedepankan, maka potensi korupsi terbesar seharusnya terjadi pada SKPD yang memiliki anggaran atau kuasa besar. Dengan begitu, SKPD tersebut akan menjadi sorotan prioritas, bukan?

Mungkin saja sumber daya di kejaksaan tidak mumpuni. Tapi, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikeluarkan setiap tahun rasanya cukup membantu untuk menindak kasus korupsi.

Salah satu temuan BPK yang gamblang mengandung unsur tindak pidana korupsi adalah proyek penanggulangan banjir di Perumnas 3, Kelurahan Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, pada tahun 2014 silam.

BPK melampirkan data-data mencengangkan–yang bisa menjadi alat bukti kejahatan jika masuk ke meja hijau. (Baca: Daftar Pejabat Kaya Kota Bekasi)

Data tersebut menekankan dua poin: pertama, lelang proyek senilai Rp 4,6 miliar itu dimanipulasi untuk memenangkan perusahaan tertentu. Kedua, ketika proyek berlangsung, ada praktik pemahalan harga sehingga keuangan negara dirugikan sampai Rp 1,6 miliar.

Menjadi ganjil, memang, ketika para pendahulu Suhardi tak pernah sekalipun mengutak-atik korupsi di bidang infrasturktur.

Banyak kalangan pesimis bahwa Suhardi, yang jauh-jauh datang dari Kalimantan Selatan sebagai Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejati itu, bisa mengungkap kasus korupsi yang besar di Kota Bekasi.

Sebesar apa? Tentu saja, mengungkap kasus korupsi yang sistemis, yang mampu merepresentasikan bobroknya tata kelola pemerintahan. Itulah mengapa kejaksaan kita perlukan.

Redaksi

Tinggalkan komentar