Rahmat Effendi turun gelanggang dalam Pilkada Kota Bekasi 2018–seperti sudah terprediksi sebelumnya. Menggandeng birokrat, Tri Adhianto Tjahyono, kandidat petahana ini didukung nyaris semua partai politik.
Koalisi gendut petahana terdiri dari Golkar, PAN, PPP, Hanura, PKB, dan Demokrat. Partai di luar legislatif, Nasdem dan PKPI, juga bergabung.
Hanya PKS dan Gerindra yang berani menghadapi petahana. Mereka bergabung mengusung Nur Supriyanto, Anggota DPRD Jawa Barat, didampingi Adhy Firdaus, tokoh masyarakat yang maju melalui Gerindra.
Bagaimana dengan PDI Perjuangan? Partai yang memiliki kursi terbanyak–12 kursi–di DPRD Kota Bekasi ini justru mengeluarkan keputusan mengejutkan. Pada hari akhir pendaftaran di KPU, Rabu (10/1/2018), PDI Perjuangan memilih mendukung petahana.
Ketua KPUD Kota Bekasi, Ucu Asmara Sandi mengatakan, PDI Perjuangan tidak termasuk partai pengusung petahana. Partai yang semestinya memiliki tiket langsung untuk mengusung calon sendiri itu pada akhirnya sekadar menjadi relawan.
“Secara aturan, KPU hanya mengakui surat dukungan terhadap Rahmat Effendi-Tri Adhiyanto dari enam parpol. Nasdem dan PKPI juga tidak termasuk karena tidak memiliki perwakilan di legislatif,” kata Ketua KPUD Kota Bekasi, Ucu Asmara Sandi.
Melihat komposisi koalisi, posisi petahana saat ini memang berada di atas angin. Merujuk hasil laporan sejumlah lembaga survey, tingkat popularitas dan elektabilitas petahana jauh lebih unggul dibandingkan lawannya.
Sedari awal, lawan terberat Rahmat Effendi sebenarnya Ahmad Syaikhu dan Mochtar Mohamad. Syaikhu, mantan wakil Rahmat Effendi pada periode 2013-2018, justru ditarik PKS untuk menjadi calon wakil gubernur Jawa Barat.
Sedangkan Mochtar Mohamad, mantan wali kota Bekasi (periode 2008-2013) yang pernah didampingi Rahmat Effendi, pada kenyataannya tidak mendapatkan rekomendasi dari PDI Perjuangan–kendati sudah mempersiapkan diri maju di Pilkada.
“Kemenangan adalah takdir. Saya minta restu,” kata Rahmat Effendi percaya diri, saat mendaftar ke KPU Kota Bekasi pada Rabu malam sekitar pukul 22.00.
Nur Supriyanto, yang datang ke KPU di jam akhir pendaftaran, mengatakan tidak khawatir menghadapi koalisi gendut petahana. Berbekal kemenangan koalisi PKS dan Gerindra di DKI Jakarta melawan petahana, ia optimis bisa menggeser Rahmat Effendi dari kursi wali kota.
“Di Jakarta kami menang. Di Kota Bekasi juga akan menang,” katanya.
Kilas balik
Cerita munculnya dua pasang kandidat pada Pilkada Kota Bekasi sesungguhnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada sejumlah drama yang terjadi, meski akhir ceritanya tetap bisa diprediksi. (Baca: Tiga Poros Utama di Pilkada Kota Bekasi)
Merujuk dua kali penyelenggaraan Pilkada langsung di Kota Bekasi, Pilkada Kota Bekasi tidak lepas dari tiga poros kekuatan politik: Golkar, PKS dan PDI Perjuangan.
Pada Pilkada 2008, PDI Perjuangan dan Golkar berkolaborasi mengusung Mochtar Mohamad dan Rahmat Effendi melawan PKS yang mengusung Ahmad Syaikhu dan Kamaludin. Hasilnya, kolaborasi banteng-beringin berhasil membuat PKS keok.
Lima tahun berselang, tiga poros tersebut masih menjadi pemain utama. Tapi kali ini komposisi berubah. Golkar dan PKS, yang tadinya berseberangan, bergabung mengusung Rahmat Effendi dan Ahmad Syaikhu. Sementara PDI Perjuangan mengusung kader sendiri, Sumiyati dan Anim Imamuddin, namun kalah.
Di Pilkada tahun ini, tiga poros utama masih memainkan peran seperti biasa. Golkar dengan kandidat petahananya memegang kendali permainan. PDI Perjuangan dan PKS bahkan berebut untuk bisa bergabung dengan Golkar.
Sebelum memutuskan mengusung Nur Supriyanto dan Adhy Firdaus, PKS intens menjalin komunikasi dengan Golkar dengan tujuan tetap mempertahankan koalisi. Angin segar sempat mengarah ke PKS, ketika muncul wacana duet Rahmat Effendi dan Sutriyono, anggota DPR RI dari PKS.
Ditariknya Ahmad Syaikhu ke provinsi sedikit-banyak juga memengaruhi konstelasi politik di Kota Bekasi. Apalagi, pelaksanaan pilkada Kota Bekasi berbarengan dengan tingkat provinsi. Komposisi koalisi PKS di provinsi–bersama Gerindra–tidak memungkinkan berbeda di Kota Bekasi. Sebaliknya Golkar.
Setali tiga uang, PDI Perjuangan dari awal sudah minder dan galau. Meski di internal Anim Imamuddin menjabat sebagai ketua partai, dan di legislatif menjadi ketua fraksi, popularitas dan elektabilitasnya sangat rendah dalam survey jika disandingkan dengan petahana. Apalagi, pada Pilkada sebelumnya, ia pernah kalah.
Sampai detik terakhir, PDI Perjuangan terus melobi petahana dengan tawaran Tri Adhianto dijadikan kader. Sayangnya, petahana menolak. Banteng kemudian memberikan rekomendasi Sumiyati dan Lilik Haryoso, tapi keduanya menolak maju karena merasa tidak siap–ada juga yang menyebut Sumiyati dan lilik tidak mau dikorbankan. Mochtar Mohamad sendiri tetap tidak diizinkan maju dengan alasan memiliki rekam jejak miring sebagai terpidana kasus korupsi.
Keputusan yang diambil PDI Perjuangan memicu polemik di internal. Sejumlah kader loyalis Mochtar Mohamad merasa kecewa, bahkan mereka memilih mundur dari kepengurusan. Mereka menuding elite PDI Perjuangan ada ‘main mata’ dengan petahana untuk menggembosi Mochtar Mohamad.
Kubu Mochtar Mohamad menyebut ‘sejumlah elite partai menerima uang dari petahana, sebagai kompensasi tidak mengikuti pertarungan pada Pilkada Kota Bekasi 2018’.
Pada akhirnya, partai tengahlah yang mendapatkan keuntungan. Mereka sudah merapat sejak awal ke petahana dan berlomba menyorongkan kader untuk menjadi wakil. Ketika Rahmat Effendi memberikan sinyal memilih Tri Adhianto, PAN bergerak paling cepat.
PAN langsung membuatkan Tri Adhianto kartu anggota partai. Memiliki Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara di pusat, PAN mengawal proses pengunduran Tri Adhianto sebagai birokrat–sehingga pencalonan Tri Adhianto sebagai wakil wali kota berjalan lancar.
Meski begitu, sampai saat ini, partai lain yang tergabung dalam koalisi petahana tidak mau menganggap Tri Adhianto sebagai kader PAN. Dan, belum jelas pula, apakah nantinya Tri Adhianto benar-benar memilih PAN sebagai kendaraan politiknya atau tidak.
Sekilas kandidat
Sebelum menjadi pendamping Mochtar Mohamad di tahun 2008, dan akhirnya terpilih menjadi wali kota Bekasi bersama Ahmad Syaikhu pada 2013, Rahmat Effendi meniti karir politiknya dari legislatif. Ia menjadi anggota DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 dan menjabat sebagai ketua Komisi C.
Tahun 2004, Rahmat kembali terpilih menjadi wakil rakyat. Kali ini, melalui persaingan yang ketat, ia berhasil menduduki jabatan sebagai ketua DPRD Kota Bekasi. Sementara, di internal Golkar Kota Bekasi, karirnya pun melejit: menjadi ketua partai selama tiga periode berturut-turut, dari 2006 sampai 2021 nanti. (Baca: Dinasti Politik Rahmat Effendi)
Sejak Rahmat Effendi menjadi wali kota, Tri Adhianto adalah salah satu pejabat yang menjadi ‘anak emas‘, selain Koswara Hanafi–kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Genap lima tahun, Tri Adhianto tidak pernah digeser dari jabatannya sebagai kepala dinas.
Di kancah politik lokal, nama Tri Adhianto juga kesohor. Jabatanya sebagai pimpinan ‘instansi basah’ membuat Tri banyak bersinggungan dengan anggota dewan. Urusannya tidak jauh-jauh, seputar atur mengatur proyek insfrastruktur yang menjadi tanggung jawabnya. (Baca: Kantong Tebal Pembantu Wali Kota)
Pilkada lantas datang, Tri Adhianto, yang memang punya ambisi terjun di politik, mencoba mencari peruntungan. Melalui jejaring yang ia punya, ia mencoba melakukan lobi-lobi politik kepada sejumlah partai. Di awal, usahanya tidak berjalan mulus. Banyak partai yang menolak Tri. Namun, di hari-hari akhir pendafran, kondisinya berbalik: ia menjadi rebutan partai-partai politik.
Nur Supriyanto juga bukan orang baru di politik. Di era reformasi, ia tampil menjadi anggota DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 dari Partai Keadilan (PK)–yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bahkan, tidak hanya menjadi anggota dewan, ia juga merupakan ketua Partai Keadilan di Kota Bekasi.
Ketika PK berubah menjadi PKS, Nur Supriyanto maju sebagai anggota DPRD Jawa Barat pada tahun 2004 dari PKS. Nasibnya mujur, ia terpilih. Dan, sampai 2018–tiga periode pemilihan legislatif–ia masih menjabat di provinsi.
Belum lama ini, Nur Supriyanto diangkat menjadi ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Jawa Barat menggantikan posisi Ahmad Syaikhu yang maju menjadi calon wakil gubernur Jawa Barat.
Nur Supriyanto sebenarnya bukan satu-satunya kader PKS yang diproyeksikan menjadi calon wali kota. Selain Sutriyono–yang hendak disandingkan petahana menggantikan Ahmad Syaikhu–ada nama Heri Koswara, wakil ketua DPRD Kota Bekasi sekaligus ketua DPD PKS Kota Bekasi.
Ketika mengatahui bahwa petahana memilih Tri, PKS ancang-ancang merapat ke Mochtar Mohamad. Harapannya, Heri Koswara mendampingi Mochtar. Skenario itu rupanya tidak terwujud. Di detik-detik terakhir, PKS kemudian memutuskan mencalonkan Nur Supriyanto, didampingi Adhy Firdaus.
Bukan kali ini saja nama Adhy Firdaus muncul dalam kontestasi politik. Ketua Dewan Pendidikan Kota Bekasi ini pernah muncul dalam Pilkada Kabupaten Bekasi tahun 2007. Ia maju mendampingi Munawar Fuad, namun kalah.
Lima tahun berikutnya, di Kota Bekasi, Adhy Firdaus mencoba peruntungan di Pilkada Kota Bekasi dengan mengikuti penjaringan via PAN dan Gerindra. Rekomendasi pencalonan sempat didapat dari Gerindra, namun entah mengapa justru berpindah tangan ke calon lain. Harapannya untuk maju kandas.
Di tahun 2018, pemilik kampus STIE Adhy Niaga itu kembali mengikuti penjaringan di Gerindra dan Demokrat. Berbekal koalisi PKS dan Gerindra di level nasional, ia akhirnya mendapatkan tiket untuk mengikuti Pilkada Kota Bekasi.
Pilkada Kota Bekasi 2018 adalah pemilihan langsung yang ketiga kalinya, terhitung sejak 2008. Di periode inilah, untuk pertama kalinya, terjadi pertarungan satu lawan satu. Pilihannya hanya dua: Rahmat Effendi atau Nur Supriyanto, koalisi gendut atau koalisi kerempeng, yang lama atau yang baru. (Tim)