Ketua DPRD Kota Bekasi, Tumai, diduga kuat menjadi biang keladi kisruh tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang. Dia punya peranan penting dalam menciptakan konfrontasi DPRD kepada Pemrov DKI Jakarta.
Kekisruhan berkepanjangan ini sepertinya sengaja dibuat sebagai bentuk perlawanan sekaligus pengamanan agar Pemrov DKI Jakarta mengurungkan rencana memutus kontrak PT Godang Tua Jaya selaku pengelola TPST Bantar Gebang.
Berikut beberapa fakta dan argumentasi kami yang menguatkan dugaan Tumai ada di balik kisruh Bantar Gebang:
Melakukan Pembiaran
Jabatan Tumai sebagai Ketua DPRD adalah fakta yang tidak bisa dikesampingkan dalam kasus ini. Segala bentuk produk maupun kebijakan di DPRD Kota Bekasi harus melalui meja ketua seperti diatur dalam tata tertib.
Aksi Komisi A DRPD Kota Bekasi menyetop truk sampah DKI Jakarta, hingga melayangkan panggilan kepada Ahok, tentu saja harus disetujui ketua. Tanpa restu sang ketua, Komisi A tidak bisa berbuat terlalu jauh apalagi sampai mengancam menutup TPST Bantar Gebang segala.
Bahkan, untuk urusan personal saja, misalkan meminta izin cuti, anggota dewan mesti minta persetujuan ketua. Singkat kata, segala urusan di DPRD Kota Bekasi di dalamnya ada peran ketua.
Andai saja Tumai segera bertindak mengambil langkah, kisruh Bantar Gebang dipastikan tidak akan berlarut-larut. Artinya, Tumai sengaja membiarkan. (Baca: 5 Aksi Konyol DPRD Bekasi Soal TPST Bantar Gebang)
DPRD boleh saja berdalih melakukan fungsi pengawasan. Namun, pertanyaan Gubernur Ahok sangat menohok: mengapa mereka baru bergerak setelah Pemrov DKI Jakarta melayangkan surat peringatan pertama atau SP 1 kepada PT Godang Tua Jaya?
Punya Andil Besar
Kerja sama DKI Jakarta dengan Kota Bekasi soal pengelolaan sampah dimulai sejak tahun 2009. Sebagai landasan penguat, DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi membuat perjanjian kerja sama. Belakangan, perjanjian ini dijadikan senjata DPRD untuk menyerang DKI Jakarta.
Dalam perjanjian tersebut, Tumai memiliki andil besar. Berdasarkan informasi yang dihimpun klikbekasi.co, dia merupakan Ketua Panitia Khusus (Pansus) perjanjian kerja sama DKI Jakarta dan Kota Bekasi. Saat itu, Tumai menjabat anggota Komisi B.
Berawal dari situlah Tumai membangun relasi dengan PT Godang Tua Jaya. Sumber kami menyebutkan Tumai kerap bertamu ke Pangkalan 10, Cileungsi, perbatasan Bekasi-Bogor, tempat PT Godang Tua Jaya menyimpan peralatan kerjanya.
Tumai juga biasa ke rumah Rekson Sitorus, pemegang saham terbesar PT Godang Tua Jaya, di daerah Cawang, Jakarta Timur, dekat bandara Halim Perdana Kusumah.
Sangat Dekat dengan Rekson
Kedekatan Tumai dengan Rekson Sitorus bukan hisapan jempol semata. Ini bisa dibuktikan pada saat Pemilu Legislatif 2014 silam. Tumai mengawal betul pencalonan Tumpak Sidabutar, komisaris PT Godang Tua Jaya sekaligus menantu Rekson.
Saat itu, Rekson meminta langsung kepada Tumai agar memasukkan nama Tumpak di daerah pemilihan Rawalumbu, Mustikajaya, Bantar Gebang. Padahal partai memproyeksi Tumpak untuk maju lewat daerah pemilihan Bekasi Selatan dan Jatiasih.
Kepada sejumlah orang, Tumai mengaku agak keberatan karena khawatir tersaingi Tumpak. Namun, apa daya, ‘perkoncoan’ dengan Rekson membuat Tumai selaku petinggi PDI Perjuangan Kota Bekasi menganggukkan kepala.
Berangkat dari paparan tersebut, kisruh Bantar Gebang bisa dipastikan tidak muncul tiba-tiba, melainkan telah direncanakan sedemikian rupa. Ada aktor intelektual di balik semua kegaduhan: penyetopan truk, ancaman penutupan TPST, demonstrasi ormas, gugat-menggugat.
Namun, yang menjadi pertanyaan penting, mengapa Tumai mau mengorbankan institusi untuk membela kepentingan pengusaha. Ujungnya paling-paling urusan rezeki. Agaknya terlalu naif jika Tumai tidak mengakuinya.
(Baca: Bos PT Godang Tua Jaya Dipenjara, Siapa Bakal Susul)
Kalaupun kesimpulan itu salah, sebagai Ketua DPRD, Tumai tetap menjadi orang yang paling bertanggung jawab. Ia perlu mengklarifikasi kepada publik atas segala kecurigaan yang selama ini dialamatkan kepada DPRD.
Berani Tumai?
Redaksi