Berita  

Keliru Wali Kota di Kasus Joaninha

Avatar photo

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi terbukti keliru dalam kasus Joaninha De Jesus Carvalho (54), pegawai negeri sipil yang dipecat karena dituduh bukan warga negara Indonesia, melainkan warga negara Timor Leste.

Surat pemecatan Nina–sapaan Joaninha–yang ditandatangani wali kota pada pertengahan Juni 2016 lalu mentah di persidangan. Nina tidak terbukti bersalah.

Selasa, 15 November 2016, Pengadilan Tata Usana Negeri (PTUN) Bandung memutuskan agar Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai tergugat I dan wali kota Bekasi sebagai tergugat II mencabut semua materi surat keputusan pemecatan Nina.

Kuasa Hukum Nina dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Putih Indonesia, Rambe Manalu menjelaskan, sidang juga memutuskan bahwa Majelis Hakim PTUN Bandung tidak menerima seluruh eksepsi atau keberatan dari tergugat.

Pengadilan mewajibkan tergugat memulihkan harkat dan martabat Nina, terutama di lingkungan Pemerintahan Kota Bekasi–tempat di mana Nina bekerja sebagai staf.

“Semua informasi yang diterima tergugat sebagai dasar pemecatan tidak terbukti sama sekali. Nina adalah warga negara Indonesia yang sah secara hukum,” kata Rambe, belum lama ini.

Informasi yang dimaksud Rambe adalah dokumen sumir dari seorang pegawai PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen).

Kepada Pemkot Bekasi, PT Taspen menunjukkan dokumen pernyataan yang ‘ditandatangani’ Nina. Isinya, Nina telah memilih menjadi warga negara Timor Leste–dulu Provinsi Timor Timur–pascareferendum atau jajak pendapat pada tahun 1999.

PT Taspen juga menyebut Nina–yang saat itu masih bertugas di Timor Timur–sudah tidak menjadi PNS terhitung sejak Agustus 1999 ketika referendum memenangkan suara pro pembentukan negara.

Dokumen itu juga menyebut hak Nina sebagai pegawai negeri sipil diambil, termasuk tabungan asuransi pensiunnya.

Wali kota ketika itu bahkan menyebut pemecatan Nina sudah melalui proses yang teliti dengan mengklarifikasi BKN. Di sana, nama Nina tidak ada dalam data pegawai.

Atas dasar itulah, Rahmat Effendi memecat Nina. Nyatanya, di persidangan, PT Taspen mengakui tidak pernah membuat pernyataan seperti yang dituduhkan kepada Nina.

Sekretaris Daerah Kota Bekasi Rayendra Sukarmadji berjanji segera melaksanakan putusan persidangan dan berkomunikasi dengan BKN.

“Pasti kami kembalikan harkat martabat dan hak-haknya, karena menurut hukum Nina tidak bersalah,” kata Rayendra, yang pernah menjadi atasan Nina di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bekasi.

Sejak kasus Nina bergulir, Rayendra memang sudah menceritakan bahwa Nina adalah seorang PNS yang rajin dan tidak pernah bermasalah dalam pekerjaannya.

“Dia pernah bekerja sebagai staf saya selama delapan bulan. Kinerjanya sangat bagus dan tidak pernah ada masalah,” kenang Rayendra.

joaninha-de-jesus-carvalho

Imbas referendum Timor Leste

Nina tak bisa berbuat banyak ketika wali kota memecatnya secara tidak hormat. Ia cuma merasa terpukul karena sepanjang karirnya tak pernah mendapatkan teguran.

“Saya diberhentikan pada 15 Juni 2016 setelah menerima surat. Saya juga tidak pernah membuat surat pernyataan apa pun,” kata Nina kepada Klik Bekasi, sebelum putusan.

Hidup terlunta-lunta sebatang kara, Nina akhirnya mengadu ke LBH Putih. Dibantu para praktisi hukum, Nina pun memilih memperjuangkan haknya.

Ketua LBH Putih Rury Arief Rianto menceritakan, Nina menjadi PNS di Timor Timur sejak 1985. Pascareferendum, Nina–yang memilih menjadi warga negara Indonesia–dipindahtugaskan ke Jakarta di Kementerian Dalam Negeri.

Hasil referendum membuktikan: dari sekitar 450.000 pemilih, 78,5 persen (344.580) warga Timor Timur menolak otonomi atau memilih merdeka dan sekitar 20 persen (94.388) memilih otonomi, sedangkan sekitar 1,5 persen (7.985 suara) dinyatakan tidak sah.

Mereka yang memilih menjadi Indonesia akhirnya harus eksodus–termasuk Nina. Tahun 2002, Nina mulai bertugas di Kota Bekasi sampai akhirnya dipecat. (Baca juga: Joaninha, Timor Leste dan Hal-hal yang Belum Selesai di Bekasi)

Secara administrasi kependudukan, kata Rury, ke-Indonesiaan Nina tidak terbantahkan. Ia pernah memeroleh penghargaan Satya Lencana pada 2011 dari Presiden Republik Indonesia atas jasanya mengabdi pada negara lebih dari 20 tahun.

Nina memiliki Kartu Keluarga (KK) Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik yang diterbitkan Pemkot Bekasi. Ia juga memiliki paspor resmi Indonesia. Semua dokumen tersebut tak pernah bermasalah.

“Seorang ibu yang jelas-jelas memiliki dokumen resmi Indonesia, hidup di Indonesia, bekerja kepada negara, diberi penghargaan presiden, justru diperlakukan seperti ini hanya karena lahir dan besar di daerah konflik. Kekeliruan ini harus diluruskan,” kata Rury saat itu.

LBH Putih sedari awal sudah menduga bahwa Nina merupakan korban manipulasi dokumen oleh oknum tertentu–dengan memanfaatkan celah tempat kelahiran Nina yang kini menjadi sebuah negara sendiri.

(Res/Mya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *