Dugaan korupsi di Dinas Bina Marga dan Tata Air Kota Bekasi harus dibongkar oleh penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Bekasi. Jika tidak, itu sama saja korupsi dibiarkan merebak di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi.
Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan tentang adanya monopoli lelang dan kerugian negara Rp 1,6 miliar dalam proyek penanggulanan banjir di Perumnas 3, Kelurahan Aren Jaya, Bekasi Timur, setidaknya bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap skandal yang lebih besar.
(Baca detail: 7 Bukti Persekongkolan Jahat ‘Proyek Banjir’ Kota Bekasi)
Bukti-bukti yang disebutkan BPK tidak terbantahkan lagi mengandung unsur tindak pidana korupsi seperti yang dijelaskan dalam UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tanpa menyebut nama, yang jelas, pihak kontraktor dan PNS di Dinas Bimarta Kota Bekasi bisa dijerat sejumlah pasal. Bisa kepala dinasnya, kepala bidangnya, atau pejabat pembuat komitmennya (PPK).
Pihak PT Bona Jati Mutiara, yang menggarap proyek Rp 4,6 miliar itu, bisa dijerat dengan pasal 2 tentang perbuatan ‘melawan hukum, memperkaya diri orang atau badan lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.’
Sedangkan pihak penyelenggara lelang, dalam hal ini Dinas Bimarta, bisa dijerat dengan pasal 3 mengenai perbuatan ‘menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara (pasal 3).’
Keduanya juga berpotensi melanggar pasal 15 yang menyebut, ‘Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.’
Kepala Dinas Bimarta Kota Bekasi Tri Adhianto saat dikonfirmasi mengatakan, “Kalau itu satu IP (IP Client) benar. Makanya pihak ketiga yang dihukum. Dia harus mengembalikan ke negara yang 1,6 miliar (rupiah) itu. Sudah dikembalikan.”
Perkataan Tri Adhianto sangat bersayap. Di satu sisi, ia mengakui ada monopoli lelang dan tindakan mark up dalam jumlah yang besar. Namun, di sisi lain, ia berusaha mengarahkan kasus ini ke dalam pelanggaran administrasi, sehingga penyelesainnya pun secara administrasi.
Padahal, pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan secara lugas: pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Jika Tri Adhianto mengakui ada mark up sampai Rp 1,6 miliar, ia berarti mengamini audit BPK yang menyebutkan Pejabat Pelaksana Teknis dan Kegiatan telah ‘menyusun laporan harian dan mingguan tidak berdasarkan kemajuan fisik yang sebenarnya.’
Mengapa harus ditindaklanjuti?
Masyarakat sebenarnya sudah kurang percaya dengan kinerja Kejaksaan Negeri Bekasi yang diduga sering ‘masuk angin’ dalam menangani kasus level bawah. Sejumlah elemen masyarakat berulang kali mendesak agar kasus di Dinas Bimarta ditangani secara serius, tapi kejaksaan tidak menunjukkan perkembangan apa pun.
Namun, harus diakui, Kejaksaan Negeri Bekasi menjadi tumpuan satu-satunya dalam penuntasan kasus ini. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang menangani kasus di level dinas, seperti diatur dalam Pasal 11 UU No. 30 Th 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kepala Dinas, apalagi kepala bidang, bukanlah termasuk penyelenggara negara. Satu poin inilah yang mengganjal KPK tidak bisa menangani kasus ini, sehingga yang berhak mengusut adalah penegak hukum wilayah setempat yang muaranya tetap ke kejaksaan.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi saat dikonfirmasi juga mengatakan tugasnya hanyalah menyelesaikan permasalahan secara administrasi melalui inspektorat. Maka, menurutnya, penegak hukumlah yang bisa menuntaskan dugaan tindak pidana korupsi.
Bagaimana DPRD Kota Bekasi? Kita tidak bisa berharap banyak kepada mereka. Sudah bukan rahasia umum lagi jika sejumlah anggota dewan juga ikut menikmati ‘kue proyek’ di Dinas Bimarta. Mereka, meski telah menerima audit BPK, seolah-olah ‘tidak tahu menahu’ bahwa ada persoalan yang amat mengkhawatirkan di kota ini.
Kejahatan di Dinas Bimarta penting untuk dibongkar karena di sinilah uang negara digelontorkan setiap tahun dalam jumlah besar untuk pembangunan infrastruktur. Dibanding dengan dinas lain, Dinas Bimarta mendapatkan porsi anggaran lebih besar untuk belanja langsung urusan, yaitu Rp 552,2 pada APBD 2015.
Rp 200,1 miliar untuk pembangunan jalan dan jembatan (286 item), Rp 111,1 miliar untuk pembangunan drainase (252 item), Rp 220,5 miliar untuk pemeliharaan jalan dan jembatan (283 item), Rp 10,2 miliar untuk perencanaan jalan dan jembatan (37 item), serta Rp 210,2 miliar untuk pengendalian banjir (40 item).
Apakah Pemkot Bekasi dan Kejaksaan Negeri Bekasi akan terus menutup mata atas kasus tersebut? Jika iya, mereka sama saja telah mengkhianati mandat masyarakat.
Redaksi