Jelang Pencoblosan, Tri-Bobihoe dalam Bayang-bayang Kekalahan

Pasangan Calon (Paslon) Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto-Harris Bobihoe dalam bayang-bayang kekalahan menjelang hari pencoblosan Pilkada Kota Bekasi 27 November 2024 mendatang.

Hasil survey PolMark menunjukan elektabilitas Tri-Bobihoe kini berada di ranking kedua dari tiga kontestan yang ikut berlaga di Pilkada Kota Bekasi.

Survey PolMark menempatkan Tri-Bobihoe di rangking kedua dengan elektabilitas 30,9 persen. Ia kalah dari pesaing terberatnya Heri Koswara-Sholihin yang memuncaki  elektabilitas sebesar 41,4 persen. Adapun pasangan Uu Saeful Mikdar-Nurul Sumarheni berada di posisi paling bawah dengan elektabilitas 16,4 persen.

Selain kalah dari sisi elektabilitas, hasil survey PolMark juga menggambarkan bahwa ada tren penurunan elektabilitas terhadap pasangan Tri-Bobihoe.

Tri-Bobihoe yang pada saat ditetapkan KPU Kota Bekasi sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bekasi memiliki elektabilitas sebesar 34,5 persen, saat ini elektabilitasnya justru turun sebesar 3,6 persen menjadi 30,9 persen.

Hal ini justru berbanding terbalik dengan rival-rival Tri Bobihoe. Sebutlah Heri-Sholihin, pada saat ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU Kota Bekasi, elektabilitas mereka 30,2 persen. Namun saat ini elektabilitas mereka sudah tembus 41,4 persen mengalami lonjakan sebesar 11,2 persen.

Hal mengejutkan justru ada pada pasangan Uu Saeful Mikdar-Nurul Sumarheni yang mengalami lonjakan elektabilitas paling tinggi dari tiga kontestan Pilkada Kota Bekasi.

Jika pada saat ditetapkan sebagai calon oleh KPU Kota Bekasi elektabilitas Uu Saeful Mikdar-Nurul Sumarheni hanya 4,1 persen, kini elektabilitas mereka tembus 16,4 persen dengan kata lain melonjak 12,3 persen.

Dari data-data tersebut, akan sangat sulit bagi Tri-Bobihoe kemudian mengejar ketertinggalan elektabilitas Heri-Sholihin. Sebab dari pengalaman, hampir tidak pernah ada kandidat yang mengalami penurunan elektabilitas mampu menaikan kembali elektabilitasnya. Justru sebaliknya, ada potensi elektabilitas kandidat tersebut terus melorot.

Faktor lain yang berpotensi membuat Tri-Bobihoe kalah adalah pasangan Uu-Nurul. Jika melihat tren kenaikan elektabilitas pasangan ini, maka pasangan ini merupakan musuh utama Tri-Bobihoe. Karena jelas terlihat, ada penurunan elektabilitas Tri-Bobihoe di tengah naiknya elektabilitas Uu-Nurul dan juga Heri-Sholihin.

Menjelang hari pencoblosan yang tinggal 3 hari lagi, susah nampaknya bagi Tri-Bobihoe bersama timnya untuk merubah keadaan. Apalagi survey juga menunjukan hanya 11,3 persen responden memilih merahasiakan pilihannya, tidak tahu dan tidak menjawab.

Dengan hanya 11,3 persen, sulit rasa-rasanya Tri-Bobihoe mengambil kue tersebut. Sebab sangat tidak mungkin dari 11,3 persen semuanya akan memilih Tri-Bobihoe. Yang ada justru sebaliknya, mereka justru memilih kandidat yang sudah unggul dan berpotensi menang.

Jika Tri-Bobihoe saat ini dibayang-bayangi kekalahan tentu merupakan hal yang sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari.

Itu karena Tri secara personal memang tidak terlalu kuat walaupun seorang petahana. Kita semua tahu, bahwa Tri merupakan produk kecelakaan politik politisi Golkar dan mantan bosnya di Pemkot Bekasi, Rahmat Effendi.

Tri bisa ada sampai saat ini, tidak lebih karena peran Rahmat Effendi. Ialah yang membawa Tri ada di panggung politik dengan menggandengnya maju menjadi Calon Wakil Wali Kota Bekasi mendampingi Rahmat Effendi di Pilkada 2018 silam.

Rahmat mengajak Tri sebagai wakilnya, bukan karena ia sosok yang kuat. Tri ia gandeng hanya karena saat itu, merupakan birokrat yang punya kekuatan finansial mumpuni di antara birokrat lain.

Sebutlah, Penjabat (Pj) Wali Kota Bandung, Koswara Hanafi yang saat itu menjabat Kepala Dinas Tata Kota, yang sama-sama diproyeksikan menjadi pendamping Rahmat Effendi.

Dalam prosesnya Koswara, tidak diambil oleh Rahmat Effendi karena kalah dari sososk Tri Adhianto secara finansial.

Lalu diambilah Tri, yang memang bukan sosok kuat.  Rahmat berfikir, Tri akan mudah dikalahkan pada Pilkada, jika skenario Rahmat memajukan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi, Ade Puspitasari yang merupakan anak kandungnya itu berjalan.

Sayang, skenario rapi Rahmat Effendi dalam sekejap mata musnah. Ia buru-buru harus berurusan dengan lembaga antirasuah. Tri kemudian naik menjadi Wali Kota Bekasi menggantikan posisi Rahmat Effendi.

Berstatus kepala daerah, Tri kemudian menjelma menjadi tokoh politik yang paling berpotensi menang di Pilkada Kota Bekasi. Tapi itu jauh sebelum Pilkada dimulai.

Dan faktanya terlihat menjelang pencoblosan. Tri tidak sekuat yang sebagian orang mempercayainya dan sebagian lagi sengaja mengelu-elukannya.

Selain bukan figur yang kuat secara politik, Tri kabarnya kurang banyak disukai sejumlah kalangan. Ini tidak lepas karena gaya dia dalam berkomunikasi.

Misalnya di ruang lingkup internal partai, ia kurang banyak disukai baik di level akar rumput atau elit.

Di level akar rumput terbukti, sejumlah kader atau simpatisan PDIP, partai tempatnya bernaung justru memilih mendukung calon lain.

Sedangkan di level elit, Tri banyak bersinggungan dengan sejumlah elit di PDIP. Ia dikabarkan memiliki hubungan kurang baik dengan Ketua DPD PDIP Jawa Barat, Ono Surono termasuk dengan sejumlah nama lain.

Bukan saja dengan internal partai, dengan sejumlah tokoh politik di luar PDIP, ia juga kurang bisa diterima dengan baik. Kabarnya banyak orang kecewa dengan Tri, karena yang bersangkutan kurang bisa merawat atau menjaga komitmen. Sedangakan dalam dunia politik, komitmen amat diperlukan untuk membangun kepercayaan. Sekalipun di politik, saling mengingkari komitmen juga bukan hal tabu.

Tidak hanya kurang disukai, bahkan kabarnya Tri juga punya banyak musuh. Mereka adalah kelompok atau orang-orang yang pernah dikecewakan olehnya, entah pada saat menjabat sebagai birokrat atau kepala daerah. Kelompok ini yang konon begitu gencar mengkampanyekan Asal Bukan Tri (ABT) pada Pilkada Kota Bekasi kali ini.

Di samping itu, sosok Harris Bobihoe lemah secara elektoral sehinga dalam sisi elektoral pasangan ini hanya bergantung pada Tri seorang .

Lemahnya Bobihoe terbukti sebelum maju Pilkada Kota Bekasi, ia gagal dalam pencalonan anggota legislatif tahun 2024 silam. Padahal, ia sudah dua periode menjabat sebagai anggota DPRD Jawa Barat. Dari situ, kita bisa menyimpulkan bahwa Harris Bobihoe, bukanlah figur yang bagus dari sisi elektoral.

Jika pada akhirnya Harris dipilih menjadi pendamping Tri, itu karena ada hitung-hitungan di luar elektoral mengapa Harris dipilih. Salah satunya, pemilihan Harris konon dikarenakan ia berasal dari Gerindra yang saat ini memegang kekuasaan republik ini lantaran Ketua Umumnya merupakan Presiden Republik Indonesia.

Dengan hadirnya Harris, Tri kabarnya merasa punya jaminan keamanan untuk tidak diganggu atau tidak diisengi saat maju dalam Pilkada Kota Bekasi. Terutama tidak diganggu dengan hal-hal berbau hukum, terutama tindak korupsi.

Sebab meski Tri, tidak pernah memiliki kasus hukum apalagi korupsi namun dalam momen politik seperti saat ini, kasus hukum bisa saja muncul tiba-tiba menyerangnya. Apalagi kita tau, sudah banyak pihak yang melaporkan Tri ke sejumlah aparat penegak hukum dari mulai Kejaksaan, Kepolisian maupun KPK.

Tri-Bobihoe juga salah dalam memilih ketua tim pemenangan. Keberadaan Sudjadtmiko sebagai ketua tim pemenangan kurang mampu memberi dampak pada pemenangan pasangan Tri-Bobihoe. Ia yang diharapkan banyak bergerak, gosipnya justru tidak banyak bergerak.

Padahal, awal mula Sudjatmiko dipilih karena yang bersangkutan adalah Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kota Bekasi-Kota Depok. Tahun 2024 lalu, ia berhasil meraup suara signifikan di Kota Bekasi pada saat Pemilu Legislatif (Pileg). Sehingga dengan rekam jejak itu, Sudjatmiko diharapkan mampu menghantarkan Tri-Bobihoe menang Pilkada.

Partai koalisi pendukung Tri-Bobihoe, kabarnya tidak bergerak maksimal selama Pilkada. Selain faktor kelelahan usai Pileg, partai koalisi yang terdiri dari PDIP, Gerindra, PKB, Demokrat, Gelora, Partai Umat, Partai Buruh, PBB, Perindo dan PKN tidak didukung logistik yang mumpuni. Ibarat mobil tanpa bensin, partai koalisi tidak banyak bergerak.

Kini dengan sisa waktu tiga hari sebelum pencoblosan, bayang-bayang kekalahan Tri-Bobihoe semakin jelas terlihat dan bukan tidak mungkin berpotensi menjadi kenyataan.


Tulisan ini adalah opini yang ditulis Redaksi www.klikbekasi.co

Tinggalkan komentar