SEKILAS tidak ada yang istimewa dari Masjid Mujahidin yang berada di tepi Jalan Raya Cibarusah itu. Bentuk bangunannya biasa saja, terkesan lapuk dimakan usia. Satu hal yang menarik, di atas pintu masuk tertulis 1937.
Di setiap sisinya terdapat jendela besar untuk sirkulasi udara. Sebuah menara menjulang menjadi corong untuk mengabarkan suara adzan dan siar Islam. Di sekeliling masjid terdapat ratusan makam yang diteduhi bunga kamboja. Jika selepas sholat Jumat, para jamaah yang sebagian menyempatkan diri untuk ziarah ke makam keluarganya.
Menurut masyarakat sekitar, tahun 1937 adalah penanda waktu renovasi masjid. Usia sebenarnya diperkirakan jauh lebih tua. Sebuah batu nisan disalah satu makam di samping masjid mencatat 1916.
Penyebaran agama Islam di Cibarusah memang berbeda dengan daerah lain di kabupaten Bekasi. Jika di daerah utara berasal dari gen Pesantren Bahagia. Di Cibarusah berasal dari pesantren Jatinegara. Kaum Islam masuk ke Cibarusah sekitar abar ke 15. Daerah yang sering dilanda kekeringan ini, telah melahirkan tokoh-tokoh ulama dan pemikir besar saat ini, sebut saja misalnya Eep Syaifilloh Fatah (pengamat Politik UI) dan Munawar Fuad (mantan Sekjen DPP KNPI dan pernah menjadi staff khusus Presiden untuk bidang keislaman dan pesantren).
Namun sayangnya, sejarah Cibarusah tidak pernah dikupas secara mendalam, termasuk juga tentang Masjid Mujahidin. Namanya kian dilupakan seiring dengan berjalannya waktu. Kendati demikian, satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah masjid ini memiliki peran yang besar dalam sejarah perjuangan umat Islam pada era kemerdekaan. Literatur sejarah Indonesia, mencatat nama Cibarusah sebagai daerah penggemblengan Laskar Hizhbullah, yang merupakan salah satu cikal bakal berdirinya TNI.
Menurut Munawar Fuad, tokoh nasional asal Cibarusah mengatakan, bahwa dipilihnya Cibarusah sebagai tempat latihan miter Laskar Hizbullah karena dinilai strategis. Masih banyak hutan dan terletak tidak jauh dari pusat kekuasaan Jepang di Jakarta. Hizbullah sendiri, kata Fuad, merupakan tentara yang dibentuk oleh usulan 10 ulama besar di Jawa, untuk mengimbangi PETA, tentara nasionalis bentukan Jepang pada tahun 1942. Meskipun antara PETA dan Hisbullah berbeda, namun kurikulum militer disusun oleh satu orang yang sama, yaitu Kapten Yamazaki.
Dalam pemahaman sederhana Munawar, pusat pelatihan laskar Islam tentu tidak akan jauh dari Masjid. Dimana pada masa itu, Masjid bukan hanya sekedar sebagai tempat ibadah saja, tapi juga pusat komando dalam mengatur strategi. Dan dia yakin, jika masjid Mujahidin merupakan markas pasukan Hizbullah. Keyakinan tersebut juga didapatkan juga dari cerita para orang tua di sekitar masjid.
“Saya sering mendengar kisah tentang masjid Mujahidin dari ayah saya,” kata Munawar yang rumah keluarga besarnya terletak persis di belakang Masjid.
Kebanyakan anggota Laskar Hizbullah pada waktu itu adalah anak muda/santri. Bahkan, panglimanya Zainul Arifin, seorang tokoh muda yang menjabat sebagai ketua PCNU Jakarta ketika itu. Dalam beberapa kesempatan, Zainul mengobarkan semangat anak muda khususnya kaum santri pesantren untuk menjadi garda terdepan perjuangan.
Munawar mengutip penyataan Zainul Arifin pada saat menghadiri rapat Masyumi Banten 15 Januari 1945, yang mengatakan “Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang, keluhuran bangsa dapat tercapai”.
“Masjid Mujahidin merupakan tempat pengemblengan para pemuda yang memiliki andil besar dalam sejarah perjuangan negara ini. Dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan umat Nahdlatul Ulama,” jelas Munawar.
Setelah kemerdekaan, Masjid Mujahidin hanya menjadi tempat penyebaran agama Islam di Cibarusah. Hampir semua masyarakat menjadikan masjid ini sebagai kiblat keagamaan hingga saat ini. Namun sayangnya, masjid ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Pemeliharaan masjid digotong bersama oleh warga. Sejarah perjuangannyapun tidak pernah ditulis dalam literatur sejarah yang di keluaran oleh Pemda. Masyarakat merawat ingatannya hanya dengan cerita turun temurun.
“Buku-buku sejarah Bekasi hanya sedikit sekali mengutip tentang Masjid Mujahidin. Padahal perannya sangat penting dalam sejarah nasional,” pungkas Munawar. (Bratha)