Partai pendukung pilkada tidak langsung yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menyatakan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi disebabkan pilkada secara langsung.
Mereka menganggap model pilkada langsung menyebabkan masalah dalam anggaran negara karena menelan biaya tinggi untuk penyelenggaraan dan proses pemilihan termasuk terjadi politik uang serta melahirkan konflik masyarakat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun, belum lama ini, mengatakan kasus korupsi yang menjerat kepala daerah bukan disebabkan karena pemilihan secara langsung.
Menurut Tama, korupsi yang melibatkan kepala daerah lebih disebabkan karena pola rekrutmen yang tidak baik oleh partai politik.
Tama mengatakan pemilihan kepala daerah melalui Dewan perwakilan Rakyat Daerah justru bisa memicu peningkatan kasus korupsi karena mekanisme DPRD ini bisa melahirkan pola korupsi baru.
Dia menyatakan penyelenggaraan dan proses pilkada secara langsung memang memakan biaya lebih mahal akan tetapi dengan pilkada oleh DPRD justru melahirkan dampak yang lebih besar. Kepala daerah lanjutnya bisa saja melakukan persekongkolan dengan anggota DPRD terkait pemilihan kepala daerah.
Data Indonesia Corruption Watch menyatakan modus korupsi yang digunakan kepala daerah sebagian besar adalah soal penggelapan dan penggelembungan dana.
Tama S. Langkun mengatakan, “Memindahkan proses seleksi, pemilihan dari tangan rakyat kemudian diberikan kepada DPRD ini bukan jawaban karena persentase yang melakukan korupsi justru DPRD banyak yang melakukan korupsi jadi apa jadinya hak rakyat diambil dipindahkan kepada orang yang juga merupakan bagian dari korupsi.”
Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto. Dia mengatakan pilkada melalui DPRD akan meningkatkan terjadi politik uang.
Saat ini lanjutnya memang ada 290 kepala daerah yang terlibat korupsi tetapi mereka tidak terkait pilkada melainkan kasus penyalahgunaan wewenang. Sementara kata Bambang hingga sekarang ini ada hampir 3000 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR maupun DPRD.
Bambang mengatakan, “Dari 81 persen itu apakah itu berkaitan dengan pemilihan langsung ternyata itu karena itu berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan saja. Data ini dibandingkan dengan data di DPRD, di DPRD itu kasusnya ternyata jauh lebih banyak.”
Bupati Kutai Timur, Isran Noor mengatakan berdasarkan pengalaman yang ada, pemilihan kepala daerah melalui DPRD instabilitas di pemerintaha daerah itu terjadi.
Banyak sekali bupati dan walikota lanjutnya yang diganggu kinerjanya oleh DPRD jika kepala daerah tersebut tidak sesuai dengan keinginan DPRD.
“Sebelum dibacakan pertanggungjawaban sudah ditolak seminggu sebelumnya belum dia tahu isinya. Jadi pengalaman seperti ini kami tidak menginginkan bahwa kami datang kesini mewakili para bupati dan walikota sekaligus seluruh rakyat Indonesia untuk tetap bahwa pemilihan kepala daerah, bupati, walikota tetap langsung tidak melalui DPRD.
sumber: Voa Indonesia