Habis Banjir Terbitlah Proyek

Setiap tahun, pemerintah Kota Bekasi menggelontorkan anggaran besar-besaran untuk proyek penanggulangan banjir. Uang hanyut, masalah banjir tak kunjung surut.

Penelusuran Klik Bekasi atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi 2015 sampai 2017, anggaran untuk mengentas banjir mencapai hampir Rp 1 triliun.

Proyek banjir tersebut melingkupi pembangunan saluran drainase, pengendalian banjir, pembangunan sistem database saluran, pembuatan sumur resapan dan lubang biopori, serta pengadaan tanah untuk lokasi polder atau tampungan air.

Anggaran banjir tersebar di sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Lingkungan Hidup, serta Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan.

Tahun 2015, total anggaran mencapai Rp 342 miliar. Rp 111 miliar untuk saluran drainase, Rp 10 miliar untuk database, Rp 210 untuk pengendalian banjir, Rp 1,4 miliar untuk biopori, Rp 1,1 miliar untuk sumur resapan, dan Rp 8,5 miliar untuk pembelian tanah.

Tahun 2016, total anggaran mencapai Rp 256 miliar. Rp 170 miliar untuk saluran drainase, Rp 13 miliar untuk database, Rp 64 miliar untuk pengendalian banjir, Rp 450 juta untuk biopori, Rp 630 juta untuk sumur resapan, dan Rp 7,2 miliar untuk pengadaan tanah.

Tahun 2017, total anggaran mencapai Rp 306 miliar. Rp 95 miliar untuk saluran drainase, Rp 10 miliar untuk database, dan Rp 200 miliar untuk pengendalian banjir.

Meski APBD 2017 sudah disahkan, Pemkot Bekasi bahkan mengajukan proyek tahun jamak atau multiyears senilai Rp 1 triliun–yang saat ini masih dibahas oleh panitia khusus di legislatif.

Dua proyek banjir senilai Rp 94 miliar masuk dalam anggaran tahun jamak 2017-2018. Rp 40 miliar untuk pembangunan tampungan air di perumahan IKIP dan Rp 54,3 miliar untuk tampungan air di Arenjaya.

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi membantah jika program penanggulangan banjir sekadar ajang bagi-bagi proyek kepada pengusaha relasi penguasa. Menurutnya, program tersebut murni untuk kepentingan masyarakat Kota Bekasi.

“Masyarakat bisa menilai sendiri, apakah ini kegiatan luhur atau mercusuar,” kata Rahmat Effendi singkat saat dimintai tanggapan Klik Bekasi.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Bekasi 2013-2018, penanggulangan banjir memang sudah masuk dalam bagian sembilan isu strategis yang dirumuskan Pemkot Bekasi. Isu besarnya adalah perbaikan tata kota dan kualitas permukiman.

Menurut Rahmat, rencana pembangunan tersebut diwujudkan secara bertahap. Dari mulai pemetaan jaringan drainase melalui sistem informasi database, perbaikan saluran tersier dan sekunder, sampai penyediaan polder air dan rumah pompa.

Mengenai banjir yang masih terjadi di lokasi sekitar polder, Rahmat mengatakan bahwa itu karena curah hujan terlalu tinggi. “Namun kami tetap berupaya menambah kapasitas tampung lebih besar lagi,” jelasnya.

Wakil Wali Kota Bekasi, Ahmad Syaikhu, juga menjelaskan hal serupa. “Ini banjir siklus 5 tahunan, karena dulu banjir yang terbesar terjadi tahun 2012, sekarang terjadi kembali di tahun 2017,” kata dia.

HABIS BANJIRTERBITLAH PROYEK

Temuan BPK di Aren Jaya

Dugaan adanya bagi-bagi proyek banjir untuk pengusaha tertentu di Kota Bekasi sebenarnya bukan cuma rumor. Pertengahan tahun 2015, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan sebuah laporan penting mengenai masalah di sejumlah proyek banjir.

Yang paling mencolok–dan menyangkut uang dalam jumlah besar–adalah proyek pengendalian banjir di Perumnas 3, Kelurahan Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, untuk tahun anggaran 2014.

Dengan melampirkan bukti yang rinci, BPK mensinyalir bahwa lelang proyek senilai Rp 4,6 miliar tersebut dimanipulasi secara terstruktur dari awal untuk memenangkan satu perusahaan: PT Bona Jati Mutiara.

BPK menyorongkan dua bukti kuat adanya monopoli lelang itu. (Baca: Monopoli Lelang Proyek Banjir)

Bukti pertama, enam dari tujuh perserta yang memasukkan dokumen penawaran via online atau LPSE terbukti berada dalam satu kendali. Dokumen itu diupload melalui IP client (jaringan internet) atau komputer yang sama dalam rentang waktu yang berdekatan.

Bukti kedua, baik pada lelang pertama maupun lelang lanjutan, dokumen penawaran milik enam perusahaan tersebut formatnya sama: dari mulai susunannya hingga kesalahan ketiknya. Begitu pun dengan nomor SPH-nya (surat penawaran harga).

Enam perusahaan tersebut antara lain PT Bona Jati Mutiara (BJM), PT Bangun Bunga Artindo (BBA), PT Tri Ras Jaya (TRJ), PT Riani Asisi Perdana (RAP), PT Daksina Persada (DP) dan PT Jatisibu Karya Anugerah (JKA). Sedangkan satu peserta lain, yang ip clientnya berbeda, adalah PT Mutiara Indah Purnama (MIP).

Nah, yang tidak kalah menarik, pemilik dua perusahaan jasa kontruksi itu ternyata merupakan orang penting di DKI Jakarta.

Dokumen yang diperoleh klikbekasi.co dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, pemilik PT Bona Jati Mutiara adalah Japinal Sagala yang tercatat merupakan Ketua DPD Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional (Gapeksindo) DKI Jakarta periode 2009-2014.

Sedangkan pemilik PT Daksina Persada adalah Djangga Lubis, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama PD Pasar Jaya DKI Jakarta. Perusahaan ‘duo insinyur’ itu sama-sama tergabung dalam Gapeksindo.

Saat proyek di Aren Jaya dikerjakan, PT Bona Jati Mutiara rupanya membeli keperluan kerjanya dari PT Daksina Persada, yaitu berupa saluran terbuka (biasa untuk irigasi) tipe U-Ditch 1200/1200 sebanyak 708 buah dengan harga satuan Rp 1.422.000 per unit.

BPK mengindikasi ada pemahalan harga atau mark up. Atas temuan tersebut, BPK menyebut negara telah dirugikan hingga Rp 1,6 miliar.

Dugaan korupsi itu pun dipermulus dengan adanya rekayasa laporan harian dan mingguan oleh pejabat di Dinas PUPR–dulu bernama Dinas Bina Marga dan Tata Air.

“Laporan harian dan mingguan tidak berdasarkan kemajuan fisik yang sebenarnya,” sebut BPK.

Penelusuran kami, proyek Aren Jaya rutin mendapatkan angggaran, dari tahun 2014 sampai 2018 dengan total sekitar Rp 66,8 miliar.

Tahun 2014, proyek Aren Jaya mendapatkan kucuran Rp 4,6 miliar. Tahun 2015, Rp 8 miliar. Tahun 2016, Rp 4,5 miliar. Dan tahun 2017-2018 (tahun jamak), Rp 54,3 miliar.

Sistematis

Proyek banjir di Kota Bekasi, seperti halnya proyek infrastruktur lainnya, diduga dikorupsi secara sistematis. Tidak cuma dugaan bagi-bagi proyek, para pelakunya pun seperti dilindungi banyak pihak.

Klikbekasi.co sudah beberapa kali mengonfirmasi Inspektorat dan DPRD Kota Bekasi, sebagai pihak yang berwenang menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan BPK. Sayangnya, Inspektorat dan DPRD hanya menyebut kasus Aren Jaya merupakan kesalahan administrasi.

Kepala Inspektorat Kota Bekasi waktu itu, Cucu Muh Samsudin–sekarang digantikan Widodo–beralasan bahwa Inspektorat hanya betugas untuk mengoordinir internal Pemkot Bekasi.

“Kewenangan Inspektorat hanya mengoordinir untuk menindaklanjuti apa yang tertera dalam rekomendasi BPK,” kata Cucu, beberapa waktu setelah audit BPK turun.

Cucu menjelaskan alasan mengapa Inspektorat tidak melaporkan kasus tersebut kepada penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan atau Kepolisian. Menurut dia, yang berwenang melaporkan indikasi tindak pidana itu ialah BPK sendiri, kemudian Wali Kota Bekasi dan DPRD Kota Bekasi.

“LHP BPK itu diberikan hanya kepada Wali Kota dan DPRD. Yang berwenang melaporkan (indikasi tindak pidana) adalah BPK serta untuk di daerah adalah Wali Kota dan DPRD. Jadi, tidak ada kewenangan Inspektorat untuk melaporkan hal tersebut,” kata Cucu.

Menurut Cucu, argumennya itu didasarkan pada Peraturan Kepala BPK Tahun 2010 dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2006. Di sana dijelaskan bagaimana proses audit itu diserahkan kepada Wali Kota dan DPRD serta bagaimana cara menindaklanjutinya.

“LHP BPK harus ditindaklanjuti paling lama 60 hari dan bilamana melewati itu maka BPK, Wali Kota dan DPRD, memiliki kewenangan untuk melaporkannya ke aparat penegak hukum,” kata Cucu.

“Tolong diluruskan mengenai hal ini. Inspektorat tidak berwenang melaporkan. Jadi perlu saya tegaskan, di daerah, Wali Kota dan DPRD lah yang harusnya melapor ke penegak hukum,” kata Cucu.

Ketua DPRD Kota Bekasi, Tumai, diduga turut menutupi kasus korupsi yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) setempat. (Baca: Orang-orang Penggelap Kasus Korupsi di Kota Bekasi)

Dengan kewenangan yang dimiliknya, Tumai disebut-sebut ‘menghilangkan’ rekomendasi DPRD kepada Pemkot Bekasi atas audit BPK. Sehingga, kasus Aren Jaya seolah-olah tidak menjadi persoalan yang penting untuk ditindaklanjuti.

Audit BPK tersebut turun pada Mei 2015 dan segera dibahas oleh Badan Anggaran DPRD Kota Bekasi untuk merumuskan poin-poin rekomendasi yang wajib dilakukan Pemkot. Pada 8 Juli 2015, Tumai menandatangani 6 poin rekomendasi namun di dalamnya tidak menyebut satu pun kasus Aren Jaya.

“Dalam rapat bersama pimpinan, kasus Aren Jaya menjadi sorotan karena di sana ada indikasi tindak pidana korupsi. Tapi pimpinan meminta agar kasus itu digabungkan dengan kasus lain saja, yaitu dalam poin pengembalian kerugian keuangan daerah,” kata anggota Badan Anggaran DPRD yang tidak mau disebut nama.

Sumber klikbekasi.co itu menyayangkan sikap pimpinan yang keukeuh agar persoalan tersebut cukup diselesaikan ‘secara baik-baik’ di internal Pemkot Bekasi.

“Semestinya temuan yang mengandung unsur pidana korupsi ditindaklanjuti ke penegak hukum tanpa terkecuali. Untuk lebih jelasnya, silahkan tanyakan kepada pimpinan,” katanya.

Para pimpinan di DPRD Kota Bekasi tidak mau memberikan tanggapan. Ketua Komisi B (bidang pembangunan) DPRD Kota Bekasi Thamrin Usman, yang juga anggota Badan Anggaran, juga tidak mau bicara kasus Aren Jaya.

“Kami cuma anggota. Kalau soal rekomendasi DPRD kepada Pemkot Bekasi untuk melaporkan temuan BPK ke penegak hukum, itu menjadi ranah pimpinan. Silahkan tanya ke beliau,” kata Thamrin. (Tim)

Tinggalkan komentar