Rahmat Effendi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD Golkar Kota Bekasi periode 2016-2021 dalam Musyawarah Daerah (Musda) IV, Selasa (2/8/2016).
Hasil itu sudah terprediksi jauh sebelum pelaksana Musda. Rumor yang beredar di internal Golkar tidak salah. Musda memang panggung sandiwara belaka. (Baca: Sandiwara Musda Golkar Kota Bekasi)
Dan, tak terbantahkan lagi: Rahmat Effendi, yang kini Wali Kota Bekasi, memiliki kekuatan politik yang begitu absolut di partai berlambang beringin itu. Ia memimpin untuk ketiga kalinya.
Memulai dari bawah
Kekuatan politik Rahmat Effendi di Golkar tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari proses politik yang panjang dan berliku.
Reformasi 1998 adalah awal yang pahit bagi Golkar. Saat itu, Golkar terancam dibubarkan dan ditinggalkan pemilih.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), pascareformasi, sudah tidak boleh lagi berpolitik. Padahal PNS merupakan tulang punggung Golkar–bahkan rata-rata menjadi pengurus.
Sebagai kekuatan politik Orde Baru yang berkuasa hingga 32 tahun, Golkar tentu tidak mau begitu saja hilang dari pusaran politik.
Elit-elit Golkar dari pusat hingga daerah bergerak cepat. Mereka merombak struktur dan mencari orang baru untuk mengisi pos yang ditinggal penghuninya, terutama dari kalangan PNS.
Di Bekasi, Rahmat Effendi adalah salah satu orang yang ditarik Golkar untuk menjadi pengurus. Golkar kemudian mencalonkan Rahmat Effendi sebagai anggota legislatif pada Pemilu 1999. Rahmat Effendi terpilih.
Sejak menjadi anggota DPRD Kota Bekasi, karir politik Rahmat Effendi semakin moncer. Ia bahkan berhasil duduk menjadi Ketua DPRD Kota Bekasi pada pemilu 2004.
Gayung bersambut, Rahmat pun menang dalam pertarungan politik di internal Golkar Kota Bekasi dengan menduduki kursi Ketua DPD. Dari sinilah Rahmat Effendi mulai membangun dinasti politiknya.
Pragmatis dan Bertangan Besi
Untuk merawat dinasti politiknya, Rahmat Effendi memilih jalan politik pragmatis di internal Golkar. Dengan gaya politik seperti itu, tidak ada orang yang bisa bertahan lama di dalam dinasti politik Rahmat Effendi.
Orang-orang bisa saja begitu dekat, namun di waktu yang lain, ia bisa dengan mudah disingkirkan dari lingkarannya.
Rosihan Anwar dan Yusuf Nasih adalah contoh orang Golkar yang disingkirkan Rahmat Effendi. Padahal mereka menjadi tulang punggung politik Rahmat Effendi dalam era awal menjadi Wali Kota Bekasi.
Untuk menyingkirkan Yusuf Nasih, Rahmat Effendi tak perlu pusing-pusing. Nasih, yang tadinya anggota DPRD Kota Bekasi dari daerah seputar Pondok Gede, dipindah ke Rawalumbu–medan yang tak dikenalnya. Praktis, Nasih pun gagal terpilih. Sedangkan Rosihan Anwar dipecat sebagai Ketua Pengurus Kecamatan Bekasi Timur.
Bagi Rahmat Effendi, selama yang bersangkutan masih bisa memberikan keuntungan secara politik, maka ia akan mempertahankannya. Begitu pula sebaliknya.
Dalam menahkodai Golkar, Rahmat Effendi juga terkenal bertangan besi. Ia tidak mentoleransi adanya manuver-manuver politik atau perbedaan pandangan dalam tubuh partai.
Tangan besi Rahmat Effendi terbukti ampuh dalam Musda Golkar. Sejumlah kader, yang sebenarnya berkeinginan maju menjadi pesaing Rahmat Effendi, nyalinya menciut–khawatir tersingkir jika kalah.
Kolusi
Praktik kolusi dalam tubuh Golkar bisa dilihat dengan mata telanjang. Lihat saja, bagaimana Rahmat Effendi menaruh orang-orang dekatnya pada pos strategis dalam tubuh partai.
Solecha, yang merupakan adik kandungnya, ditempatkan sebagai Ketua Fraksi Golkar DPRD Kota Bekasi. Rachmawati, kemenakannya, dicalonkan menjadi anggota DPRD Kota Bekasi–dan menang.
Edi, ‘kader emas’nya, ditempatkan sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi. Abdul Hadi, sekretaris kesayangannya, dijadikan direktur Perusahaan Daerah Mitra Patriot.
Senior sekaligus mentor politiknya, Abdul Manan, ditempatkan sebagai dewan pengawas Mitra Patriot.
Rahmat Effendi juga disinyalir melanggengkan kolusi di tubuh birokrasi. Yang terbaru, Kepala Dinas Sosial Agus Dharma dan Kepala Dinas Pendidikan Rudi Sabarudin, dipecat tanpa alasan yang jelas.
Belakangan, terungkap, Manan mengirimkan secarik memo kepada Rudi yang isinya menitipkan sejumlah orang agar bekerja menjadi TKK di Dinas Pendidikan. Namun Rudi tidak menggubris memo Manan.
Alhasil, melalui Kepala Badan Kepegawaian Daerah Reny Hendrawati yang merupakan putri Manan, Rahmat Effendi memecat Rudi. (Baca: Surat Sakti Orang Dekat Wali Kota)
Berisiko
Cara Rahmat Effendi merawat dinasti politik sesunggungnya tergolong riskan dan suatu saat bisa menjadi bumerang.
Gaya politik pragmatisnya adalah bom waktu. Mereka, orang-orang yang tadinya ada di dalam lingkarannya dan kemudian dibuang, suatu saat akan menjadi masalah bagi Rahmat Effendi.
Mereka bisa melakukan perlawanan balik. Dan, dengan posisi pernah menjadi orang dekat, mereka pun memiliki kunci kelamahan Rahmat Effendi.
Soal praktik kolusi lebih berbahaya lagi. Sebab ini berkaitan dengan jabatan publik Rahmat Effendi selaku wali kota. Kasus memo Manan adalah tanda bahaya.
Untunglah, sampai saat ini, Rahmat Effendi masih berkalang mujur. Namun, tidak ada salahnya jika kita mengingat pepatah lama: tiada gading yang tak retak.
Redaksi