Proyek landmark (penanda) Kota Bekasi semakin ruwet. Sejak pembangunannya dihentikan, sejumlah pejabat di Pemerintah Kota Bekasi mulai bereaksi. Muncul pro dan kontra. Saling sikut. Adakah kepentingan tersembunyi di antara mereka?
Cerita ini bermula dari rapat kerja di dewan perwakilan rakyat daerah Kota Bekasi, 17 September 2015. Rapat dihadiri Kepala Dinas Tata Kota, Koswara, dan Kepala Dinas Pertamanan Penerangan Jalan Umum (DP3JU), Karto.
Dalam rapat itu, ada juga perwakilan dari Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) dan sejumlah anggota Komisi A DPRD Kota Bekasi. Mereka membahas pembangunan landmark yang kini mulai dibangun di Jalan Ahmad Yani.
“Pembangunan landmark berupa jembatan penyeberangan ini,” kata Karto, “didanai sepenuhnya oleh PT Warna Warni selaku pihak ketiga sebesar Rp 9 miliar.”
Dengan semangat, Karto memuji keberanian PT Warna Warni yang mendanai proyek tersebut tanpa pemerintah mengeluarkan uang sepeser pun.
“PT Warna Warni adalah perusahaan advertising (periklanan). Mereka hanya ingin mengelola titik iklan yang berada di landmark itu. Mereka investasi,” kata Karto.
Pejabat lain dari Pemkot Bekasi yang hadir dalam rapat itu manggut-manggut saja menyetujui apa kata Karto.
Namun, anggota Komisi A rupanya punya pandangan lain. Sodikin, misalnya, menilai landmark yang dikerjakan PT Warna Warni tidak sesuai dengan desain awal.
Desain yang dimaksud Sodikin ialah juara satu sayembara landmark Kota Bekasi pada tahun 2013. “PT Warna Warni tidak mengikuti desain yang ada. Lebih baik dihentikan saja. Masih banyak investor yang mau mendanai,” kata Sodikin kepada wartawan usai rapat.
Pernyataan Sodikin rupanya membuat heboh dan sampai ke telinga ‘penggede lain’ di lingkaran kekuasaan.
Sekretaris Daerah Kota Bekasi Rayendra Sukarmaji akhirnya memutuskan menghentikan pembangunan landmark. Menurut dia, pembangunan tersebut mesti dievalusi lagi.
“Harus dievaluasi terlebih dulu. Landmark adalah simbol kota. Pembangunannya tidak boleh sembarangan,” kata Rayendra pada Rabu, 7 Oktober 2015.
Mendengar kabar penghentian itu, PT Warna Warni panas. Bagian hukum PT Warna Warni, Marwanto, menuding pihak yang kontra hanya ‘asbun’ alias asal bunyi.
“Kami tidak sembarangan bangun landmark tersebut. Landasan hukumnya adalah keputusan walikota,” kata Marwanto.
Rayendra, sebagai ‘tangan kanan’ wali kota, tetap bersikukuh agar pembangunan landmark dihentikan sementara. PT Warna Warni pun kalang kabut.
Hampir saban hari PT Warna Warni bersuara lantang di media massa menentang penghentian proyek itu. Rayendra disebut mengabaikan SK wali kota.
Belakangan, Karto dan sejumlah pejabat lain juga mulai berani terang-terangan ‘menyikut’ Rayendra. Bahkan Karto cenderung mengabaikan soal desain.
Menurut Karto, SK wali kota sudah menunjuk PT Warna Warni membangun jembatan penyeberangan sejak tahun 2012. Sedangkan desain landmark baru muncul pada tahun 2013.
“Artinya, jembatan penyebarang harus lebih diutamakan karena sudah berbadan hukum. Desain landmark kan baru muncul tahun 2013. Sedangkan SK terbit tahun 2012,” kata Karto.
PT Warna Warni, kata Karto, tidak perlu menuruti apa kata Rayendra. “Saya terus meminta kontraktor jangan menghentikan pembangunan. Penghentian bisa melanggar SK,” bela Karto.
Kepala Bidang Lalu Lintas Edi Setiawan pada Dinas Perhubungan juga membela Karto. Menurut dia, pembangunan jembatan penyeberangan harus segera diselesaikan.
“Kalau tidak selesai-selesai, itu bisa membahayakan penyeberang jalan,” kata Edi.
Aksi sikut-menyikut para pejabat itu belum membuahkan hasil apa-apa. Pembangunan landmark tetap menyisakan kerumitan hingga sekarang. (Res)
Baca semua topik: Pembangunan Landmark Kota Bekasi