Bom Waktu Kartu Sehat

Bak bom waktu, Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang menjadi program andalan Pemkot Bekasi di bidang kesehatan cepat lambat akan meledak.

Sinyalemen bahaya itu sudah mulai terlihat dengan munculnya potensi defisit APBD Kota Bekasi tahun anggaran 2018. Tidak main-main, besaran potensi defisit mencapai Rp900 miliar sampai Rp1,2 triliun atau sekitar 20 persen dari total APBD 2018 sebesar Rp5,8 triliun.

Dari angka yang besar itu, program Kartu Sehat ikut berkontribusi menyumbang defisit. Sebagai ilustrasi, berdasarkan data Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bekasi, Pemkot Bekasi mengalokasikan anggaran untuk Kartu Sehat di APBD 2018 sebesar Rp225 miliar. Rinciannya, Rp170 miliar untuk Dinas Kesehatan dan Rp55 miliar untuk RSUD Kota Bekasi.

Tidak berhenti di situ, Pemkot Bekasi bahkan berencana menambah anggaran Kartu Sehat di APBD Perubahan 2018 sebesar Rp189 miliar, dengan rincian Rp124 miliar untuk pos Dinas Kesehatan dan Rp65 milar untuk RSUD Kota Bekasi.

Jika pengajuan anggaran disetujui DPRD, maka total uang yang digelontorkan untuk pembiayaan program tersebut menembus angka Rp414 miliar pada tahun 2018: Rp225 miliar pada APBD 2018 murni dan Rp188 miliar pada APBD 2018 perubahan.

Jelas, Rp414 miliar, untuk membiayai satu program sebuah daerah, bukan angka yang main-main—mengingat kemampuan anggaran belanja langsung urusan pada APBD 2018 hanya sekitar Rp3,3 triliun dari total APBD Rp5,8 triliun. Angka itu pun harus dibagi dengan ribuan program lain yang digawangi oleh 46 Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Pemkot Bekasi bisa saja mengelak bahwa anggaran fantastis tersebut belum tentu habis terserap. Tapi fakta menunjukkan, tahun 2017, anggaran sebesar Rp75 miliar untuk Kartu Sehat yang disiapkan dalam APBD 2017 murni habis di tengah jalan.

Sejumlah pejabat pengambil kebijakan di Kota Bekasi, baik dari eksekutif maupun legislatif, bahkan tak segan menyebut bahwa Kartu Sehat memang menjadi penyumbang besar terjadinya defisit anggaran. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi, Koswara, misalnya, mengamini hal itu—belakangan ia memilih pindah tugas ke provinsi.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit tahun 2017 untuk Kota Bekasi juga sudah memberikan lampu merah untuk Kartu Sehat. BPK menyebut bahwa program Kartu Sehat tidak memiliki mekanisme pengendalian biaya. Sehingga, menurut BPK, program tersebut berpotensi mengakibatkan pembengkakan biaya yang bisa berdampak langsung pada keuangan daerah.

Pembengkakan biaya terjadi lantaran tidak ada kontrol yang ketat mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan Kartu Sehat. Semua warga, baik kaya maupun miskin, dibebaskan menggunakan Kartu Sehat. Menjelang Pilkada 2018 terjadi lonjakan pembuat kartu, sehingga politikus maupun tim sukses calon wali kota pun bebas mengeluarkan Kartu Sehat—karena memang tidak ada ada badan khusus yang menangani ini.

Belakangan, beredar kabar sejumlah rumah sakit swasta menolak pasien yang menggunakan Kartu Sehat lantaran ada tunggakan besar yang belum dibayar Pemkot Bekasi. Desas-desus tersebut konon membuat resah Rahmat Effendi, wali kota Bekasi periode lama yang kembali terpilih pada Pilkada 2018. Rahmat Effendi, meski belum dilantik, bahkan harus menggelar rapat khusus dengan para direktur rumah sakit swasta belum lama ini.

Sebuah daerah yang keuangannya terganggu hanya karena satu program jelas amat berbahaya. Akan terjadi efek domino yang sulit diprediksi sejauh mana dampaknya. Sebagai gambaran, dengan defisit sampai sekitar 30% lebih dari total belanja langsung Rp3,3 triliun, maka diprediksi banyak program pembangunan di tahun 2019 yang terhenti karena ketiadaan anggaran.

Potensi skandal

Program Kartu Sehat jika terus dipaksakan Pemkot Bekasi—dengan kondisi keuangan yang tekor—bisa berpotensi menjadi skandal di level nasional. Apalagi, Pemkot Bekasi jelas-jelas menentang program strategis nasional, dalam hal ini Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan.

Salah satu aturan yang ditabrak Pemkot Bekasi adalah Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 BPJS Kesehatan. Jika mengacu aturan tersebut, seharusnya Pemkot Bekasi mengambil langkah mengintegrasikan Kartu Sehat ke BPJS Kesehatan.

Apalagi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo secara khusus mengeluarkan surat edaran nomor 440/3890/SJ yang ditujukan untuk seluruh kepala daerah di seluruh Indonesia. Dalam surat itu Mendagri memerintahkan agar semua daerah mendukung program strategis nasional dalam bidang kesehatan. Salah satunya dengan mengintegrasikan Jamkesda ke BPJS.

Sesuai amanat Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, daerah wajib menjalankan program strategis nasional.

Langkah mengintegrasikan Kartu Sehat ke BPJS sebenarnya adalah langkah paling aman, baik dari segi pembiayaan maupun pengelolaan program. Dengan mengalihkan Jamkesda ke BPJS, tidak akan terjadi pembengkakan biaya.

Selama ini Pemkot Bekasi selalu beralibi bahwa mengintegrasikan Kartu Sehat dengan BPJS Kesehatan terlalu mahal. Pemkot berpendapat, jika semua warga Kota Bekasi yang berjumlah sekitar 2,2 juta harus diintegrasikan ke BPJS, maka biaya yang dikeluarkan mencapai sekitar Rp600 miliar per tahun. Sedangkan dengan Kartu Sehat, semua warga bisa ditanggung cukup dengan Rp300 miliar dengan asumsi tidak semua warganya sakit.

Logika itulah yang selalu dipakai oleh Pemkot Bekasi selama ini. Jika demikian, maka Kartu Sehat tidak berbeda dengan kupon berobat gratis. Padahal yang selama ini dikebut oleh pemerintah nasional adalah jaminan kesehatan atau sistem asuransi gotong royong.

BPJS Kesehatan Cabang Bekasi melalui Kepala Cabang BPJS Kesehatan Bekasi, Siti Farida Hanoum, memberikan gambaran hitungan biaya jika Pemkot Bekasi memilih mengintegrasikan Kartu Sehat ke BPJS Kesehatan.

Menurut hitungan BPJS Cabang Bekasi, untuk mengintegrasikan Kartu Sehat ke BPJS, Pemkot Bekasi dalam satu tahun cukup mengeluarkan biaya sebesar Rp165,6 miliar saja dengan rincian, 600.000 jiwa dikalikan Rp 23.000 (biaya iuran per bulan) dikali 12 bulan.

Darimana angka 600 ribu jiwa muncul? Dari total penduduk Kota Bekasi yang berjumlah sekitar 2,2 juta jiwa, sebanyak 1.797.610 jiwa sudah terdaftar di BPJS. Artinya, Pemkot Bekasi tidak harus membiayai 2,2 juta jiwa warga, namun sisanya saja.

Jika integrasi tersebut dijalankan oleh Pemkot Bekasi, maka secara otomatis target UHC (Universal Health Coverage) Kota Bekasi akan tercapai. Sesuai amanat undang-undang per 1 Januari 2019, minimal 95 persen penduduk sudah masuk dalam jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2017 juga menegaskan agar program jaminan kesehatan nasional digenjot di semua daerah.

Pemkot Bekasi juga tidak lagi pusing melakukan verifikasi tagihan klaim biaya pengobatan dari rumah sakit. Sebab tagihan dari rumah sakit langsung ditujukan ke BPJS, tidak lagi ke Pemkot Bekasi seperti yang terjadi saat ini.

Dari sekian rentetan persoalan yang muncul akibat Kartu Sehat, masalah hukum tentu yang paling krusial. Kartu Sehat, sedari awal diluncurkan, berpotensi membuka celah korupsi. Atau malah celah tersebut sengaja diciptakan agar korupsi Kartu Sehat bisa mulus dilakukan?

Regulasi yang tidak pasti, data yang tidak valid, sampai pelaksanaan yang tidak terkontrol ketat, jelas memungkinkan terjadinya korupsi ramai-ramai.

Penggelembungan tagihan pasien dan klaim fiktif adalah contoh klise dalam korupsi jaminan kesehatan daerah.

Pemkot Bekasi perlu meninjau ulang pelaksanaan Kartu Sehat, sebelum bom waktu itu meledak.

Oleh: Redaksi

Tinggalkan komentar