Site logo

Banteng Gemuk Tak Bisa Nyeruduk

Memenangkan Pemilu Legislatif 2014 dengan raihan 12 kursi di DPRD Kota Bekasi, PDI Perjuangan tidak mampu berbuat banyak dalam konstelasi perpolitikan lokal.

Partai berlambang banteng moncong putih itu seolah gagap menghadapai dinamika politik di Kota Bekasi. Ia hanya menjadi penonton yang baik untuk Golkar dan PKS–yang kini menguasai eksekutif.

(Baca: Dinasti Politik Rahmat Effendi)

Dalam kasus kisruhnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online tahun ajaran 2015 silam, misalnya, si banteng berusaha menyeruduk namun akhirnya takluk di tangan sang matador.

Saat itu, PDI Perjuangan–yang menganggap proses PPDB mengandung kecurangan–menjadi motor penggunaan hak interpelasi (meminta keterangan pemerintah) dengan menggalang kekuatan lintas fraksi di DPRD.

Mula-mula PDI Perjuangan berhasil menggaet dukungan sejumlah perwakilan fraksi, seperti PPP, Hanura dan Gerindra. Namun, di detik-detik akhir, mereka berbalik arah.

PDI Perjuangan kalah lobi dengan kekuatan pro pemerintahan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan Ahmad Syaikhu, wakilnya. Hak interpelasi pun kandas tanpa pernah masuk dalam agenda paripurna.

Jika menghitung kursi di DPRD, semestinya, PDI Perjuangan mampu menarik pedati politik untuk mengontrol lebih ketat dominasi kekuasaan eksekutif. (Baca: Malu-malu Kucing Ahmad Syaikhu)

Partai pendukung pemerintah jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang di luar pemerintah. Partai pendukung hanya memiliki kekuatan 20 kursi dari total 50 kursi: Golkar 8 kursi, PKS 7 kursi, Hanura 4 kursi dan PKB 1 kursi.

Sedangkan partai di luar pemerintah ada 30 kursi: PDI Perjuangan 12 kursi, Gerindra 6 kursi, PAN 4 kursi, Demokrat 4 kursi dan PPP 4 kursi.

Satu tubuh banyak kepala

Sang banteng lunglai bukan tanpa sebab. Salah satu faktornya terletak pada pemimpin partai. Anim Imamudin, selaku Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi, oleh para kader disebut kurang cakap dan kurang layak memimpin.

Dan, bukan rahasia umum, terpilihnya Anim sebagai ketua tidak bisa dilepaskan dari campur tangan petinggi DPP PDI Perjuangan. Dengan mekanisme baru, yaitu pemilihan dari pusat, Anim pun melenggang dengan mudah.

Anim sendiri, pada perjalananya, kurang mendapatkan legitimasi. Anak buahnya banyak yang ‘mbalelo’ alias membangkang atasan. Hal ini semakin diperparah dengan terbelahnya internal partai.

Meski saat ini Anim merupakan ketua yang sah, namun, kenyataan berkata berbeda. Ada figur-figur lain yang memiliki kharisma lebih memancar ketimbang dirinya.

Sebut saja, Mochtar Mohamad. Walaupun tidak lagi menjabat sebagai ketua PDI Perjuangan, nyatanya, Mochtar tetap menjadi poros kekuatan di internal.

Mochtar memiliki banyak loyalis, baik yang berada di dalam struktur pengurus maupun bukan.

Para loyalis itu tak sungkan bertandang ke rumah Mochtar untuk meminta pertimbangan dalam mengambil langkah politik, atau sekadar nongkrong.

Dalam perpolitikan lokal, pengaruh mantan wali kota Bekasi itu juga sangat terasa.

Mochtar masih menjadi magnet bagi kekuatan politik di luar PDI Perjuangan. Ini bisa dilihat dari eratnya hubungan Mochtar dengan pentolan-pentolan partai di Kota Bekasi.

Selain Mochtar, ada Tumai, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi yang juga Ketua DPRD Kota Bekasi.

Sebagai politikus senior di internal partai, Tumai mempunyai kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Di partai, seperti Mochtar, ia juga punya loyalis.

Sebagai pemegang tampuk kekuasaan di legislatif, Tumai memungkinkan berperan lebih ketimbang Anim dalam mengambil keputusan politik penting di Kota Bekasi.

Bahkan, kabarnya, Wali Kota Bekasi memang kerap melakukan potong kompas ke Tumai–tanpa perlu ke Anim.

Suka tidak suka, bagi PDI Perjuangan, banyaknya kepala–yang justru saling berhadap-hadapan–pada akhirnya ikut melemahkan tubuh partai.

Gemuk tapi tak bisa menyeruduk. Begitulah kira-kira pameo yang tepat untuk menggambarkan keadaan banteng di Kota Bekasi.

Redaksi

Comments

  • No comments yet.
  • Add a comment
    Home
    Timeline
    Menulis
    Bekasi
    Umum