Peristiwa rubuhnya patung Tiga Mojang di Perumahan Harapan Indah Kota Bekasi, beberapa tahun lalu, membuat banyak orang tersentak. Patung tersebut dianggap sebagian orang tidak mencerminkan kebekasian, kemudian dirubuhkan.
Jika ditelisik, patung Tiga Mojang merupakan ikon yang erat hubungannya dengan Sunda. Mojang berarti wanita yang cantik dan berperilaku baik, dengan kata lain, diidam-idamkan pria. Tetapi, massa yang membongkar mengklaim, Bekasi tidaklah mengumbar perempuan begitu saja: Bekasi sarat nilai religius.
Identitas Bekasi memang dihinggapi dualisme. Secara administratif, sekarang, Bekasi masuk bagian Jawa Barat. Tapi, diruntut akar sejarahnya, Bekasi dulu merupakan bagian Jakarta.
Budaya masyarakat Bekasi–meski sekarang mulai luntur–hampir mirip dengan budaya Betawi. Segi bahasa, contoh, dialek dan kosakatanya terang benderang mirip dengan Betawi.
Warga Bekasi, walaupun kini didominasi pendatang, jarang menggunakan bahasa Sunda. Seperti halnya Jakarta, penghuni Bekasi menggunakan bahasa Indonesia pada umumnya. Tapi orang kampung Bekasi masih mencolok dialek Betawinya ketika bicara.
Ketua Dewan Kesenian Bekasi, Ridwan Marhid kepada Bekasi Raya mengatakan, dualisme identitas tersebut mesti ditengarai dengan aturan pemerintah. Perda tentang budaya bisa dibuat sehingga, ketika benda kesenian dibikin di Bekasi (Monumen, patung dll), tidak berbenturan dengan nilai kebekasian.
“Dilihat dari kacamata seni, pembongkaran patung Tiga Mojang sangat disayangkan. Kasus serupa juga terjadi pada patung Lele di dekat stasiun. Ini mesti ditengahi dengan perda,” katanya.
Sementara itu, Irman Syah, pegiat Komunitas Sastra Kalimalang mengatakan, Bekasi sudah saatnya mencari identitas sendiri. Sebagai kota urban, Bekasi tidak bisa diklaim begitu saja dengan identitas turunan. Bekasi, di dalamnya, ada beragam orang dari berbagai daerah.
“Bekasi adalah Indonesia kecil. Saya yakin perbedaan tersebut lama kelamaan akan lunak sehingga masyarakat Bekasi bisa hidup rukun berdampingan,” kata dia. (Res)