Alih-alih mengejar predikat Kota Layak Anak, Pemerintah Kota Bekasi malah terkesan mengabaikan penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Lembaga pelindung anak cuma jadi ‘tempat parkir’ orang-orang penguasa.
Data yang kami peroleh dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA), Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), dan Kepolisian menunjukkan, dalam lima tahun terakhir—dari 2013 sampai 2017—sedikitnya ada 655 kasus anak di Kota Bekasi. Tahun 2013 ada 125 kasus. Tahun 2014 ada 105 kasus. Tahun 2015 ada 100 kasus. Tahun 2016 ada 127 kasus. Terakhir, tahun 2017, ada 198 kasus.
Dari laporan tiga instansi itu, kasus anak dibagi menjadi 20 jenis. Antara lain Penganiayaan, Pengeroyokan, Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikis, Perkosaan atau Pencabulan, Bullying, Pelecehan Seksual, Pencemaran Nama Baik, Penelantaran, Kecelakaan Lalu Lintas, Kesehatan, Pencurian, Persetubuhan, Hak Asuh Anak, Hak Kebebasan Anak, Eksploitasi, Narkoba, Tawuran, Pendidikan, dan Lainnya.
Kasus pelecehan seksual adalah yang tertinggi, dengan total 193 kasus dalam lima tahun. Disusul kasus persetubuhan 107 kasus, kekerasan fisik 88 kasus, pemerkosaan atau pencabulan 84 kasus, penganiayaan 74 kasus.
“Jumlah kasus itu merupakan pengaduan yang diterima oleh KPAD dari masyarakat,” kata Satuan Tugas KPAD Kota Bekasi, Sopar Makmur Napitupulu, saat memberikan data tersebut kepada Klik Bekasi. Artinya, kasus riil di lapangan boleh jadi lebih banyak. Dan, rupanya, KPAD tidak memantau sejauh mana perkembangan akhir dari kasus-kasus yang tertera dalam data tersebut.
Dari penelusuran kami di situs resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, data jumlah kasus anak di Kota Bekasi ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan data dari tiga lembaga tersebut. Dalam enam tahun, dari 2011 sampai 2016, terdapat 4.504 kasus anak di Kota Bekasi berdasarkan hasil pengaduan dan pemantauan di media massa.
Sesuai Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014, KPAI menggolongkan kekerasan anak menjadi 10 kategori utama dengan total rincian 53 jenis kasus. Antara lain kategori Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat 355 kasus, Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 886 kasus, Agama dan Budaya 71 kasus, Kesehatan dan Napza 118 kasus, Pendidikan 209 kasus, Pornografi dan Cyber Crime 76 kasus, Anak Berhadapan Hukum (ABH) 432 kasus, Trafficking dan Eksploitasi 53 kasus, Lain-lain 16 kasus.
Angka kasus anak di Kota Bekasi, merujuk data KPAI, adalah yang tertinggi di antara kota-kota di sekitar Jakarta. Depok, misalnya, 4.169 kasus, Bogor 3.916 kasus, dan Tangerang 3.720 kasus.
Tahun 2017, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (KPPPA) juga urung memberikan predikat Kota Layak Anak untuk Kota Bekasi. Saat ini, Kota Bekasi baru berada di tingkat Madya–di atas Pratama. Masih ada dua tingkat lagi yang harus diraih Kota Bekasi jika ingin mendapatkan predikat Kota Layak Anak, yaitu tingkat Nindya dan Utama.
Meski data dan peristiwa berbicara, nampaknya lembaga terkait enggan disalahkan. Kepala DPPPA Kota Bekasi, Riswanti, menampik anggapan bahwa instansinya tidak bekerja maksimal. Menurutnya, perlindungan anak di Kota Bekasi bukan semata-mata tugas DPPPA, tetapi menjadi tugas bersama. Perlu sinergitas antara pemerintah daerah dengan masyarakat.
Riswanti bahkan mengklaim sejauh ini instansinya telah bekerja keras dalam menjalankan tugas perlindungan anak dengan melaksanakan sejumlah program. Progam tersebut meliputi peningkatan pengetahuan masyarakat seperti sosialisasi, pelatihan hingga seminar bagi Satuan Tugas Ramah Anak (yang ditempatkan di RT/RW), tokoh masyarakat, kepala sekolah, guru Bimbingan Kesiswaan (BK) dan murid sekolah negeri maupun swasta dari tingkat SD, SMP hingga SMA.
Tak hanya itu, DPPPA Kota Bekasi juga menggandeng dua perguruan tinggi di Kota Bekasi, yaitu Universitas Islam 45 Bekasi dan Universitas Bhayangkara. Psikolog dari lembaga pendidikan tersebut dilibatkan dalam sesi konseling bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
“Kami di dinas bekerja semakimal mungkin dalam menjalankan tugas perlindungan anak di Kota Bekasi. Berbagai macam kerja kami lakukan. Tapi perlu diingat bahwa kerja perlindungan anak bukan semata-mata tugas kami. Tapi tugas bersama. Maka butuh sinergi antara pemerintah dengan masyarakat,” kata dia.
KPAD Kota Bekasi juga tidak mau disalahkan atas maraknya kasus anak di Kota Bekasi. Ketua KPAD Kota Bekasi, Syahroni, mengaku sudah bekerja sesuai prosedur.
“KPAD Kota Bekasi sudah menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Baik dari segi pengawasan maupun pendampingan kasus ketika anak-anak menjadi korban, saksi atau anak menjadi pelaku,” kata Roni, sapaan akrabnya, kepada Klik Bekasi.
DPRD Kota Bekasi, lembaga yang memiliki tugas mengawasi kinerja DPPPA dan KPAD, turut membela dua lembaga tersebut. Wakil Ketua Komisi IV, Rahmawati, mengatakan bahwa maraknya kasus anak bukan berarti kinerja DPPPA, KPAD, dan DPRD lemah. Kasus anak timbul dari masyarakat, sehingga masyarakatlah yang seharusnya paling bertanggung jawab.
“Pemerintah menyiapkan perangkatnya. DPRD menyiapkan regulasinya sebagai panduan bagi Pemkot Bekasi dan KPAD dalam menjalankan kebijakannya. Dan masyarakat berperan dalam menciptakan rasa aman terhadap anak,” kata dia.

Anomali pelindung anak
Di saat banyak pihak berusaha keras menyelamatkan anak dari eksploitasi kegiatan politik orang dewasa, di Kota Bekasi, lembaga pelindung anak justru disesaki orang-orang politik. Begitulah gambaran anomali: tak salah namun aneh.
Sejak 2011, Pemerintah Kota Bekasi sudah membentuk KPAD, sebagai kepanjangan tangan komisi serupa di pusat. Para komisionermya adalah orang-orang yang memiliki keterkaitan dalam politik praktis.
Dalam kurun enam tahun, KPAD Kota Bekasi telah berganti kepengurusan dua kali–satu periode adalah tiga tahun. Pada saat dibentuk, komisi ini memiliki 10 komisioner. Periode berikutnya menjadi enam komisioner. Ketuanya masih sama: Roni.
Nama-nama anggota komisioner di periode kedua antara lain, Aris Setiawan sebagai sekteraris, Sugeng Wijaya sebagai koordinator bidang pendidikan, Haryekti Rina di bidang sosialisasi, Rury Arief Rianto di bidang advokasi, dan Sopar Makmur Napitupulu sebagai satuan tugas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Roni merupakan orang dekat wali kota Bekasi Rahmat Effendi (periode 2012-2018), kendati bukan anggota partai politik. Karena kedekatan itu, selain menjadi ketua KPAD, Roni memiliki gawaian sebagai ‘dewan pengawas’ PD Migas milik Pemkot Bekasi—nama lain jabatan politis untuk mengakomodir orang-orang dekat penguasa.
Aris Setiawan tercatat sebagai kader Golkar—partai yang dipimpin Rahmat Effendi di Kota Bekasi. Begitu pun Sugeng Wijaya, yang pernah menjadi calon anggota legislatif via Golkar. Sugeng merangkap gawaian dewan pengawas PDAM Tirta Patriot milik Pemkot Bekasi.
Haryekti Rina—namanya tidak asing didengar dalam dunia politik—merupakan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2009 dari PKS. Saat masuk KPAD, partainya merupakan bagian penting dalam koalisi Rahmat Effendi di mana Ahmad Syaikhu menjadi wakil wali kota.
Rury Arief Rianto, meski dikenal sebagai pengacara, ia adalah juga kader partai politik—pernah menjadi calon anggota legislatif pada 2014 via Hanura. Selama menjabat komisioner, ia pun merangkap gawaian membesarkan Partai Perindo dan sekarang pindah ke PPP. Namanya juga tercatat sebagai tim sukses Rahmat Effendi di Pilkada Kota Bekasi 2018.
Sopar Makmur Napitupulu, seperti Roni, memang tak masuk dalam daftar kader partai politik. Namun selama ini ia dikenal memiliki kedekatan khusus dengan fungsionaris Partai Golkar Kota Bekasi. Karena kedekatan itulah, berhembus kabar, ia bisa masuk menjadi komisioner KPAD.
Pemilihan komisioner tersebut merujuk pada Peraturan Wali Kota Nomor 06 Tahun 2011 Tentang Pembentukan KPAD Kota Bekasi, yang telah diperbarui menjadi Perwal Nomor 33 Tahun 2014. Perwal terakhir mengatur Tata Cara Pemilihan Ketua KPAI dan syarat-syarat menjadi ketua.
Dalam pasal 12 disebutkan, calon ketua KPAD harus mendaftarkan diri ke panitia pemilihan yang dipimpin Kepala BPPPA. Calon kemudian menyampaikan visi misi. Jika hanya satu calon yang mendaftar, maka itulah yang dipilih. Selanjutnya, ketua terpilih menyusun kepengurusannya. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi komisioner.
“Kami tidak melihat latar belakang politik untuk menentukan ketua KPAD. Yang dilihat itu kapabilitas personalnya yang dipilih berdasarkan seleksi,” kata Riswanti kepada Klik Bekasi.
Roni sendiri tak mau ambil pusing ketika disinggung komisioner yang memiliki keterkaitan dalam politik praktis, termasuk dirinya. Bagi dia, yang utama bagi komisioner KPAD adalah bisa bekerja dengan baik untuk perlindungan anak—tidak masalah terafiliasi dengan partai politik.
“Saya tidak melihat latar belakang pengurus baik dari partai politik atau kedekatan dengan kekuasaan, yang penting bisa menjalankan tugas dengan baik. Namun jika ke depan perlu regulasi untuk mengatur itu, KPAD sangat mendukung,” kata Roni.
Bagaimana tanggapan anggota legislatif mengenai orang-orang politik dalam KPAD? Rahmawati menjawab diplomatis. “Teman-teman yang bisa menilai sendiri. Profesional atau tidak kinerja mereka,” kata dia.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebenarnya sudah mengatur dasar penyusunan kepengurusan lembaga independen tersebut secara jelas. Kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 Tentang KPAI. 12 tahun kemudian, Undang Undang 23 Tahun 2002 diperbarui melalui Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014. Diperinci dengan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2016 Tentang KPAI.
Merujuk aturan tersebut, keanggotaan komisi terdiri atas unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Anggota atau pengurus partai politik justru tidak boleh menjadi komisioner KPAI.
Mantan komisioner KPAD Kota Bekasi periode pertama, Iwan Ruswanto, saat dimintai tanggapan Klik Bekasi mengatakan, lembaga tersebut memang sudah seharusnya diisi oleh orang-orang yang paham tentang anak. Ia berharap ke depannya KPAD juga diisi oleh akademisi, seperti psikolog, sosiolog, kriminolog, planolog dan lainnya—yang disiplin ilmunya bisa bermanfaat dalam bidang perlindungan anak.
“Saya kira jika diisi oleh orang-orang yang ahli di bidang itu, KPAD bisa menjadi lembaga yang sangat bagus. Karena persoalan anak itu kompleks,” katanya.
Bermain kasus anak
Dari segi finansial, jabatan sebagai komisioner KPAD jauh dari kata menggiurkan. Lima tahun berjalan, komisioner KPAD tidak mendapatkan honor bulanan. Baru di tahun 2017 mereka mendapatkan honor, itu pun Rp900.000 per bulan. Angka itu tidak sebanding dengan tanggung jawab mereka yang sebenarnya berat.
Tidak adanya dukungan finansial dari pemerintah kabarnya membuat oknum KPAD mencari ‘uang jajan’ dengan jalan bermain kasus. Modusnya, oknum tersebut mengarahkan kasus tertentu ke jalur mediasi antara korban dan pelaku. Dengan demikian, pelaku yang mestinya bisa terjerat hukum bisa bebas begitu saja. Di sinilah, oknum KPAI disinyalir mendapatkan keuntungan dari pelaku.
Kabar tak sedap itu diperparah dengan mandegnya penanganan sejumlah kasus anak oleh KPAD, padahal sempat mencuat di media massa. Keganjilan itu menyisakan tanda tanya. Sebutlah kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan oleh oknum pendeta di Kota Bekasi tahun 2015. Korban terpaksa berhenti dari sekolah lantaran dibawa kabur pelaku ke luar kota hingga melahirkan anak di sana.
Beberapa oknum komisioner KPAD Kota Bekasi dikabarkan sempat melakukan pertemuan dengan pelaku. Setelah itu, kasusnya menguap. Ada dugaan oknum tersebut ‘bermain mata’ dengan pelaku.
Kasus lain yang menghebohkan—dan setelah itu meredup—adalah kebijakan penjualan buku di sebuah sekolah dasar di Kota Bekasi tahun 2016. Oknum KPAD awalnya datang untuk menindaklanjuti laporan salah satu wali murid yang merasa keberatan dengan kebijakan sepihak tersebut. Setelah KPAD bertemu kepala sekolah, kasusnya langsung menguap begitu saja.
Bungkamnya KPAD dalam kasus penggusuran di Kota Bekasi tahun 2016, yang mengakibatkan anak-anak kehilangan hak atas tempat tinggal dan pendidikan, juga menjadi pembicaraan hangat. Ketua KPAD kabarnya menginstruksikan anggotanya agar tidak ‘terlalu kencang’ melawan kebijakan pemerintah tentang penggusuran permukiman kumuh.
Kasus-kasus anak yang tidak tuntas itu pada akhirnya juga berimbas kepada kepolisian. Oknum polisi disebut-sebut turut berkongkalikong dengan oknum KPAD dalam dugaan permainan kasus anak. Oknum polisi diduga terlibat untuk menggungurkan laporan, sehingga pelaku tidak sampai dibawa ke persidangan dengan alasan tertentu.
Dikonfirmasi mengenai kabar miring yang menimpa KPAD, Roni pun membantah keras. Ia memastikan tidak ada oknum KPAD yang bermain-main kasus, apalagi berkongsi dengan kepolisian. Penanganan kasus anak, katanya, sudah melewati serangkaian mekanisme yang benar. Jika ada kasus yang tidak berlanjut ke jalur hukum, itu karena memang ada mediasi antara pihak korban dan pelaku.
“Jika antara korban dan pelaku sama-sama anak-anak maka upaya mediasi wajib kita lakukan. Jika tidak menemui kesepakatan maka akan dilanjut sesuai aturan dan hukum. Kami tidak pernah bermain kasus,” bantah Roni.
Kapolres Metro Bekasi Kota, Kombes Indarto, memilih diam ketika ditanya soal sejauh mana koordinasi kepolisian dengan KPAD dan BPPPA. Dan benarkah kepolisian biasa bermain mata dengan KPAD dalam penanganan kasus kekerasan anak, sehingga banyak laporan yang hanya menumpuk di meja penyidik? “Jangan lebay,” jawab Kapolres, via pesan singkat. (Tim)