Alasan Bekasi Terasa Lebih Panas dari Kota Lain

Kota Bekasi terasa lebih panas dari kota besar lain, bahkan dari Jakarta. Kebijakan pemerintah belum mengarah kepada pembangunan kota yang ramah lingkungan.

Kekurangan pohon mungkin menjadi salah satu alasan, tapi bukan yang utama. Alasan yang lebih tepat adalah krisis ruang terbuka hijau.

Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup menyebutkan, ruang terbuka hijau di Kota Bekasi baru mencapai sekitar 14 persen dari total luas wilayah kota, yaitu 21 ribu hektar.

Persentase itu masih jauh dari ideal. Jika merujuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, seharusnya ruang terbuka hijau kota paling sedikit 30 persen.

“Memang perlu kerja keras, dengan melibatkan semua elemen,” kata Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu saat memeringati hari lingkungan hidup di Bekasi Utara, Rabu (3/8/2016).

Untuk menutup kekurangan ruang terbuka hijau, pemerintah mencanangkan sejumlah program. Pertama, pembuatan seribu taman. Kedua, pembuatan sejuta lubang biopori. Ketiga, pembuatan 300 ribu sumur resapan atau kolam retensi.

Namun, pantauan kami, program tersebut baru sebatas wacana. Strategi untuk mewujudkannya masih awang-awang. Agenda penanaman pohon, misalnya, dilaksanakan secara sporadis dan sekadar seremonial.

Di sisi lain, pembangunan di Kota Bekasi bergerak cepat. Lahan-lahan potensial untuk ruang terbuka hijau berubah menjadi bangunan.

Setiap tahun, puluhan perumahan dibangun. Pengembangnya dari kelas teri hingga kelas kakap. Terhitung sejak 1997 atau awal Kota Bekasi berdiri, sampai sekarang, tercatat ada 200 lebih perumahan beridiri.

Potensi yang hilang

Berapa pun banyaknya lahan terbangun untuk perumahan, sebenarnya tidak menjadi persoalan asalkan pemerintah tegas menegakkan aturan mengenai tata ruang wilayahnya.

Alokasi lahan perumahan yang besar itu bukan berarti dimanfaatkan semua untuk bangunan. Pengembang, dalam membangun perumahan, wajib menyediakan apa yang disebut Fasos Fasum (Fasilitas sosial dan Fasilitas umum).

Pengembang hanya bisa membangun sesuai besaran Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Di Kota Bekasi, KDB berkisar antara 40% sampai 70%, tergantung tingkat kepadatan penduduknya.

Kebanyakan, KDB perumahan di Kota Bekasi adalah 60%. Artinya, pengembang hanya bisa membangun maksimal 60% lahannya. Sisanya bisa dimanfaatkan untuk Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)–istilah lain Fasos Fasum.

Di Indonesia, rata-rata kota besar mewajibkan pengembang menyediakan 40% Fasos Fasum. Jakarta, Tangerang, Depok, Bandung dan Surabaya, misalnya, mengambil persentase 40% untuk Fasos Fasum.

Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 16 Tahun 2011 bahkan mengatur, pertamanan harus mendapatkan porsi minimal 20% dari total Fasos Fasum.

Alokasi lahan untuk pertamanan yang besar itu adalah tabungan untuk ruang terbuka hijau. Sayangnya, kenyataan berkata lain: lahan-lahan itu hilang secara misterius.  (Baca: Tanah Fasos Fasum Perumahan di Kota Bekasi Hilang Misterius)

Badan Pemeriksa Keuangan, dalam auditnya mengenai Fasos Fasum di Kota Bekasi, menemukan fakta bawa lahan-lahan yang semestinya menjadi ruang terbuka hijau beralih fungsi untuk kawasan bisnis.

Jika diuangkan, nilai potensi lahan yang hilang itu mencapai ratusan miliar rupiah.

Pengamat tata kota Yayat Supriatna menyebut, korupsi tata ruang sangatlah sadis, karena dampaknya sangat terasa bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, seperti banjir, kekeringan, polusi, panas dan lainnya.

(Baca: Korupsi di Tata Ruang)

“Korupsi di pemanfaatan ruang sudah saatnya harus segera dicegah, walaupun kebijakan ini sering berbenturan dengan kepentingan investasi lokal dan nasional,” katanya.

Tinggalkan komentar