Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyekolahkan kembali OPR, 14 tahun, korban pelecehan dan tindak asusila oleh anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat, Zakaria Ahmad, 38 tahun. OPR sempat putus sekolah karena keterbatasan biaya.
“Saya kaget, nilainya cukup bagus, rata-rata 7,5, kok tidak melanjutkan sekolah,” kata Wali Kota yang akarab disapa Bang Pepen, minggu, (28/9/2014). Rahmat menjenguk OPR di rumahnya di bilangan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat, pada Sabtu malam, 27 September 2014.
Wali Kota yang akrab disapa Bang Pepen ini mengatakan ia sudah meminta satu bangku di Sekolah Menengah Atas Negeri 14 Bekasi, tak jauh dari kediaman OPR. Korban pelecehan seksual itu diterima di sekolah itu dengan pengecualian khusus agar dapat melanjutkan belajar ke jenjang lebih tinggi.
Sebelumnya, ijazah OPR juga tertahan di sekolah menengah pertama tempat ia tercatat sebagai siswa. Ia tak dapat mengambil ijazah lantaran tak memiliki biaya untuk menebus. Akhirnya, dengan dibantu oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bekasi, ijazah itu bisa diambil.
Seperti diketahui, OPR, 14 tahun, dan kekasihnya, SAR, 16 tahun, dituduh melakukan perbuatan asusila di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Bekasi Barat. Mereka lalu dibawa ke dalam area kantor Wali Kota Bekasi di Jalan Ahmad Yani, Bekasi Selatan.
Setelah diinterogasi oleh Zakaria Ahmad, keduanya diminta membuka pakaian, lalu dipaksa berhubungan badan. Namun, lantaran OPR sedang datang bulan, permintaan itu ditolak. Akhirnya, hanya SAR yang menuruti dengan membuka baju.
Karena diancam, keduanya terpaksa melayani nafsu anggota Satpol cabul itu, yang diketahui bernama Zakaria. Korban kemudian diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing di wilayah Kranji, Bekasi Barat.
Kini, tersangka yang sudah beristri dan mempunyai dua anak tersebut mendekam di sel tahanan Mapolresta Bekasi Kota. Zakaria yang sudah berstatus sebagai pegawai negeri sipil sejak 2002 itu dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pencabulan dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Sumber: Tempo