Kasak-kusuk tentang dugaan korupsi di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang sudah seharusnya dibongkar oleh aparat penegak hukum. Masyarakat tentu menunggu-nunggu: siapa saja yang terlibat di dalamnya?
Sebelum menunjuk hidung, ada baiknya kita menganalisa di mana titik-titik rawan korupsi pada TPST Bantar Gebang. Kuat dugaan, korupsi ini melibatkan banyak orang dan terjadi di tiga level atau tingkatan.
Korupsi level pertama adalah di hulu, yang melibatkan Pemrov DKI Jakarta dan PT Godang Tua Jaya selaku pengelola TPST Bantar Gebang.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan yang terbaru menyebutkan PT Godang Tua Jaya merugikan negara sampai Rp 400 miliar. BPK juga menilai kerja sama kedua belah pihak tidak didasarkan pada prinsip saling menguntungkan.
Perjanjian kerja sama PT Godang Tua Jaya dengan Pemrov DKI Jakarta juga disinyalir melanggar Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2005.
Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan, menteri, kepala lembaga, kepala daerah bertindak selaku penanggung jawab proyek kerjasama.
Namun, dalam pelaksanaannya pada 2008, kerja sama tersebut ditandatangani oleh Kepala Dinas DKI Jakarta, bukan gubernur.
Dalam perjalanannya, sejak tahun 2009, terjadi perubahan-perubahan perjanjian (addendum) sebanyak empat kali. Yang diubah ialah hal-hal penting seperti menyangkut pembayaran dan penerimaan keuangan.
Rekomendasi BPK jelas: Memberi sanksi kepada Kepala Dinas dan Kepala TPST Bantar Gebang yang menandatangani addendum I, II, III dan IV karena melampaui kewenangannya.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok juga sudah melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya dan meminta Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri aliran dana PT Godang Tua Jaya.
Ahok menduga uang jasa pengelolaan sampah atau tipping fee Rp 400 miliar yang diberikan Pemrov DKI Jakarta kepada PT Godang Tua Jaya tiap tahun menjadi bancakan oknum tertentu.
Salah satu indikasinya adalah, PT Godang Tua Jaya, bersama PT Navigat Organic Energy Indonesia selaku perusahaan joint operation, tidak melaksanakan kewajibannya membangun teknologi persampahan sebagaimana sudah diatur dalam perjanjian.
(Baca: Ini Skandal Uang Sampah TPST Bantar Gebang versi Ahok)
Uangnya ke mana? Begitulah kata Ahok. Belakangan, terkuak, PT Godang Tua Jaya mengaku membagi sebagian uang tersebut kepada PT NOEI. Padahal, menurut BPK, itu menyalahi aturan.
Yang menjadi tambah janggal, PT NOEI kemudian membantah pernyataan PT Godang Tua Jaya itu. PT NOEI mengaku tidak pernah menerima uang tipping fee tersebut.
Sampai di sini, aparat penegak hukum semestinya bisa dengan mudah menetapkan siapa-siapa saja yang bersalah.
Tiga-tiganya, dari PT Godang Tua Jaya, PT NOEI, dan Pejabat Dinas Provinsi DKI Jakarta, bisa kena cokok semua.
Selanjutnya, adalah korupsi level kedua. Dari tipping fee Rp 400 miliar per tahun itu, PT Godang Tua Jaya diwajibkan membagi ke Pemkot Bekasi sebesar 20 persen.
Namun, anehnya, berapa jumlah pasti tipping fee tersebut sangatlah ruwet. Ahok boleh bilang Rp 400 miliar, tapi jawaban berbeda dilontarkan DPRD Kota Bekasi.
Ketua Komisi A Ariyanto Hendrata menyebut uang tipping fee dari DKI Jakarta ke PT Godang Tua Jaya jumlahnya Rp 340 miliar.
(Baca: Uang Sampah ‘Menguap’ Miliaran Rupiah pada APBD Bekasi, Dicolong Siapa?)
Perjanjian kerja sama juga menyebut uang tipping fee dihitung Rp 123.000 per ton sampah untuk tahun 2014 dan 2015 (jumlahnya naik 8% tiap dua tahun sekali).
Jadi berapakah 20 persen itu? Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Kepala Daerah Kota Bekasi menjawabnya dengan hitungan Rp 123.000 per ton.
Di sana disebutkan jumlah detail berapa yang diterima Pemkot Bekasi dari total tipping fee sampah. Jumlahnya fluktuatif. Dan kejanggalan ditemukan pada tahun 2013.
Disebut di LKPJ, Pemkot Bekasi hanya menerima Rp 42.443.609.061 dari total sampah yang masuk 2.062.778,98 ton.
Kenyataannya, ketika dihitung, Pemkot Bekasi mestinya mendapatkan sekitar Rp 46 miliar. Jadi ada Rp 3 miliar menguap. Siapa bermain di sini?
Sejumlah anggota badan anggaran DPRD Kota Bekasi ketika ditanyai mengenai kejanggalan tersebut, mengaku tidak tahu bagaimana cara menghitungnya. Mungkinkah ada permainan anggaran? Sangat mungkin.
Itulah mengapa Ahok secara terang-terangan meminta Polda Metro Jaya dan PPATK mengusut nama-nama anggota DPRD Kota Bekasi yang diduga ikut terima setoran dari PT Godang Tua Jaya.
Dengan membedah jejaring penghubung PT Godang Tua Jaya dan DPRD Kota Bekasi, sebenarnya tidaklah sulit bagi aparat penegak hukum untuk membongkar dugaan korupsi pada level dua ini.
(Baca: Orang-orang Penghubung PT Godang Tua Jaya di DPRD Bekasi)
Terakhir, korupsi level ketiga, adalah pada penggunaan anggaran 20 persen tipping fee yang sudah ‘dikorup’ itu. Penggunaan anggaran, sebagaimana diketahui, yaitu melalui mekanisme community development atau pemberdayaan masyarakat.
Data hitung-hitungan alokasi anggaran pada level ini juga sangat amburadul. Tidak ada laporan detail mengenai program apa saja yang sudah dicapai pemerintah dan berapa anggarannya.
Dalam LKPJ hanya disebut, sekitar Rp 20 miliar diberikan untuk kompensasi warga di sekitar TPST Bantar Gebang (empat kelurahan) melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Sisanya untuk apa, tidak disebut.
Dalam perjanjian, warga harusnya mendapatkan Rp 100 ribu per bulan dan diambil tiap tiga bulan sekali. Namun Rp 100 ribu itu ‘disunat’ Rp 33.3 ribu oleh LPM dengan alasan untuk pembangunan infrastruktur.Jadi, setiap tiga bulan sekali, warga hanya mendapatkan Rp 200 ribu.
Sebenarnya sudah sejak lama korupsi di level tiga ini menjadi sorotan. Diduga korupsinya begitu menggila, dari tingkat sekelas ketua RT hingga sekelas anggota dewan maupun pejabat Pemkot Bekasi.
Membongkar kasus korupsi TPST Bantar Gebang memang membutuhkan energi yang besar. Sebab ini menyangkut tempat besar, uang besar dan orang-orang besar.
Namun demikian, TPST Bantar Gebang akan menjadi studi kasus yang menarik untuk membongkar kejahatan-kejahatan serupa di daerah lain di Indonesia.
Redaksi