Terbongkar, Pejabat yang Kendalikan Lelang TPST Bantar Gebang Korup

Eko Bharuna, mantan Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2008, ternyata memang bermasalah dalam menjalankan tugas kedinasannya. Rekam jejaknya buruk. Ia tersandung sejumlah kasus hukum dan akhirnya meringkuk di penjara sejak tahun 2014.

Eko Bharuna merupakan pejabat yang menandatangani kontrak kerja sama awal swastanisasi tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, yang merupakan milik DKI. Kontrak kerja sama dibuat pada tahun 2009 setelah ada pemenang lelang.

Dia pulalah yang menandatangani addendum atau perubahan poin kerja sama pengelolaan TPST Bantar Gebang. Tercatat, ada empat addendum sejak 2009. Semuanya menyangkut pembayaran dan penerimaan keuangan.

Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan menyebut, Eko Bharuna telah melampaui kewenangannya dalam mengurus TPST Bantar Gebang. BPK memberi rekomendasi agar Pemrov DKI Jakarta memproses secara hukum sesuai aturan yang berlaku.

Dalam perjanjian kerja sama pengelolaan TPST Bantar Gebang, Eko Bharuna telah menabrak Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintahan Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Disebutkan di sana, ‘Dalam pelaksanaan kerjasama, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah bertindak selaku penanggung jawab proyek kerjasama.’ Namun perjanjian kontrak awal tersebut hanya ditandatangani pejabat sekelas Kepala Dinas Kebersihan, yaitu Eko Bharuna.

PT Godang Tua Jaya dan perusahaan joint operationnya, PT Navigat Organic Energy Indonesia, diduga sengaja dimenangkan oleh panitia lelang yang dipimpin Eko Bharuna. Hal itu terungkap dalam dokumen putusan gugatan perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 03/G/2009/PTUN-JKT tahun 2009.

(Baca: Sejak Awal, Lelang TPST Bantar Gebang Diduga Cacat Hukum)

Dalam dokumen tersebut, PT Patriot Bangkit Bekasi (PT PBB), yang mengelola TPST Bantar Gebang sejak 2004 hingga 2007, menggugat Pemrov DKI Jakarta. Penetapan pemenang lelang dinilai cacat hukum. Sayang, PTUN Jakarta menolak gugatan PT PBB.

Belakangan, terungkap, PT Godang Tua Jaya beserta PT NOEI dinilai wanprestasi dalam menjalankan pekerjaannya. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memastikan akan memutus kontrak dengan pihak ketiga dan berencana melakukan swakelola TPST Bantar Gebang mulai 2016.

Ahok juga akan memperkarakan kedua perusahaan tersebut melalui jalur hukum. Ahok mengendus bau korupsi dalam pengelolaan TPST Bantar Gebang. Apalagi, BPK menyebut ada indikasi kerugian negara mencapai Rp 400 miliar sejak 2008.

(Baca: Bos PT Godang Tua Jaya Dipenjara, Siapa Bakal Susul?)

Korupsi di TPST Bantar Gebang diduga melibatkan banyak orang, dari mulai pejabat DKI Jakarta, pengelola, hingga pejabat Pemkot Bekasi. “Pengelolaan sampah ini menyangkut duit gede banget. Itu harus diingat. Maka ada indikasi oknum yang bermain-main di sini,” kata Djarot Saiful Hidayat, wakil Ahok.

Riwayat korupsi Eko Bharuna

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan Eko Bharuna bersalah dalam kasus korupsi pengadaan mobil bus toilet jenis VVIP besar dan toilet kecil di Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009.

Eko Bharuna dihukum pidana penjara selama dua tahun enam bulan dan pidana denda Rp 100 juta. Putusan nomor 64/PID/TPK/2014/PT.DKI tersebut dibacakan oleh majelis hakim pada 16 Oktober 2014. Perbuatan Eko telah merugikan negara sebesar Rp 1,7 miliar.

putusan-eko-bharuna
Putusan kasus toilet yang menjerat Eko Bharuna

Jauh sebelum menjadi kepala dinas Kebersihan, Eko Bharuna juga ternyata melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus penjualan aset berupa depo milik Perum Pengangkutan Perusahaan Djakarta (PPD). Eko menjadi tersangka sejak tahun 2013 dan penanganan kasusnya masih berjalan.

Penjualan aset depo A, B, C, H dan K milik Perum PPD itu dilakukan pada 2006-2007. Saat itu Eko Bharuna menjabat sebagai Kabiro Perlengkapan DKI, dan ‘mengeksekusi’ penjualan aset itu kepada PT Transdjakarta untuk depo busway.

Dalam penjualan depo itu terjadi perbuatan melawan hukum karena nilai jual objek pajak (NJOP) diciutkan dari harga sebenarnya, dan biaya pengalihan hak dan juga pengurusan surat-surat tanah digelembungkan (mark up) hingga negara dirugikan Rp 7 miliar.

Di Bantar Gebang, mungkinkah Eko Bharuna korup?

(Tim)

Tinggalkan komentar