Site logo

Tak Seharusnya Melumpuhkan KPK, dan Tak Semestinya Polri Dikebiri

                                                              Oleh: Hen Eska

Sejak episode Cicak vc Buaya Jilid-II didengungkan,  Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga antirasua yang dalam persepsi publik masih menjadi institusi dengan tingkat kepercayaan melebihi intitusi lainnya, harus menghadapi -perang terbuka- dengan kepolisian. Ikhwal perseteruan ketika KPK mengumumkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dalam dugaan kepemilikan rekening bermasalah atau lebih sering disebut rekening gendut. Disisi yang lain, justru BG diusung oleh presiden sebagai calon tunggal untuk menduduki pucuk pimpinan Polri menggantikan Kapolri Jenderal Sutarman yang lebih dulu diberhentikan dari jabatannya.

Hukum tak boleh porak poranda, ia harus ditempatkan sebagai puncak dari segala bentuk sengketa dan perselisihan. KPK dan kepolisian adalah institusi yang mamanggul tugas untuk selalu menegakkan hukum diatas kepentingan apapun juga. Amanat konstitusi juga dengan eksplisit menyatakan negara berdiri atas hukum (rechtstaat) bukan atas kekuasaan (machtstaat). Publik lalu dibuat tercengang kala wakil ketua KPK, Bambang Widjajanto ditangkap oleh Bareskrim Polri atas tuduhan memanipulasi sebuah kesaksian di MK kala yang bersangkutan menjadi penasehat hukum perkara sengketa pilkada Kota Waringin Barat tahun 2010. Perlakuan penyidik kala menangkap BW menjadi magnet pemberitaan, bahkan sebagian pihak menyebutnya sebagai pelanggaran HAM. Persepsi dan opini publikpun membentuk barisan simpati untuk komisioner KPK hingga menduduki gedung KPK. Episode Cicak vs Buaya Jilid-II dimulai!.

Kabareskrim Mabes Polri Irjen Budi Waseso juga memastikan Ketua KPK Abraham Samad akan menjadi tersangka atas tuduhan bertemu elite partai untuk membahas pencalonan dirinya sebagai cawapres Jokowi. Dalam pertemuan itu ditengarai terjadi kesepakatan mengenai proses hukum yang melibatkan politikus PDIP Emir Moeis. Dua Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnaen tak luput dari jeratan polisi. Adnan dilaporkan karena diduga memasukkan keterangan palsu di akta autentik untuk sebuah kasus di Kalimantan Timur. Sementara itu, Zulkarnaen dilaporkan untuk kasus suap saat menjadi Kajati Jatim.

Disebut dalam Undang-Undang KPK, pemimpin lembaga antirasuah itu sudah menyandang status tersangka harus berhenti sementara. Dengan mengacu ke undang-undang, sifat dari kepemimpinan KPK ialah kolektif kolegial dari lima pemimpin KPK. Putusan KPK dianggap sah apabila suara pimpinan KPK terhadap satu masalah dalam hitungan mayoritas. Kalau ada lima pemimpin, berarti dinilai mayoritas ialah tiga. Artinya kebutuhan untuk meminimalkan kolektif kolegialpun tak terpenuhi. Apapun pikiran yang sekarang bergemuruh, KPK tak lagi efektif bekerja. Padahal kerja-kerja KPK adalah menumpas musih utama bangsa ini; korupsi. Pun demikian, masyarakat harus mampu memahami bahwa pimpinan KPK juga manusia biasa, mereka bukan dewa dan orang-orang suci. Dititik ini, sangat mungkin mereka melakukan kesalahan bahkan melanggar hukum.

#Save KPK

Sulit untuk tidak mengatakan ada upaya sistematis untuk menghakimi pimpinan KPK dengan berbagai aduan dan tuduhan ke kepolisian. Namun satu hal, KPK tak boleh dikebiri, tak boleh diluluhlantahkan dengan berbagai cara. Akan ada pihak-pihak yang bergembira ria jika pada perjalanan kisruh saat ini benar-benar mengubur KPK. Korupsi adalah the ordinary crime, kejahatan luar biasa dan harus menjadi general enemy bagi bangsa ini kapanpun juga.

Masyarakat masih berharap banyak dari kiprah KPK untuk memerangi korupsi yang telah menggerogoti bangsa ini puluhan tahun.  Dalam 10 tahun terakhir, KPK telah menunjukkan kinerja yang setidaknya memberi harapan besar untuk pemberantasan korupsi dengan hasil yang relatif mengesankan. Jika komitmen bangsa ini bersiteguh untuk memberantas korupsi, maka tak ada alasan untuk melumpuhkan KPK. Kini tinggal dan berpulang pada keinginan pemerintahan Jokowi, apakah konsisten meneruskan perang terhadap korupsi atau justru disibukkan oleh kehendak-kehendak yang justru menjadikan KPK sebagai -rumah kaca-.

Presiden Jokowi bisa segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang pengangkatan pimpinan sementara agar KPK tidak lumpuh dan tetap bisa bekerja memberantas korupsi yang menggerogoti semua sendi kehidupan negeri ini. Selanjutnya juga menjadi pelajaran penting dan sangat berharga, bahwa kedepan dalam memilih pimpinan KPK jauh lebih cermat dan melihat rekam jejak seseorang secara lebih komperehensif agar tak terulang peristiwa seperti sekarang ini. Bukankah semasa kepemimpinan Antasari Ashar, KPK juga mendapati persoalan yang berujung pada penghakiman pada ketua KPK?.

Pada akhirnya, semua pihak haruslah memiliki tekad yang sama untuk menjadikan KPK sebagai garda depan pemberatasan korupsi tanpa reserve. Selamatkan KPK atau koruptor menjadi pemenang.

#Save Polri

Entah apa yang sekarang ada dibenak masyarakat tentang kepolisian kita. Institusi ini memang kerap menjadi olok-olok. Bahkan dalam joke Almarhum Gus Dur mengemukakan bahwa hanya ada tiga polisi jujur di negeri ini. Yang pertama adalah Jenderal Hoegeng yang mantan Kapolri, kedua adalah patung polisi dan ketiga adalah polisi tidur. Kelakar sederhana ini sudah cukup merepresentasikan betapa polisi benar-benar institusi yang tak punya nilai dari segi etos dan moralitasnya.

Akibatnya, prestasi-prestasi dari aparat kepolisian seolah tak pernah mampu mendongkrak kepercayaan masyarakat. Sebab itu, peristiwa saat ini hendaknya mampu diresapi sebagai titik balik untuk membangun kembali citra Korp Bhayangkara sebagai pengayom masyarakat, sebagai lembaga yang mampu menjamin rasa aman dan menegakkan hukum secara fair dan bermartabat.

Perseteruan Polri dan KPK bukanlah perang sesungguhnya, karena peperangan yang semestinya adalah penegakkan hukum itu sendiri. Menjadi naif, jika aparat penegak hukum justru menggunakan hukum untuk kepentingan kelompoknya. Kepemimpinan Polri adalah kepemimpinan yang harus dapat menjalin kemitraan, bersinergi dengan komponen penegakkan hukum yang lain seperti KPK dan Kejaksaan Agung. Kita juga akan merugi jika kepolisian terus menerus dicibir masyarakatnya sendiri. Terus menerus mendapatkan stigma buruk karena oknum-oknumnya tak punya kesetiaan pada tugas dan tanggungjawabnya, tetap lebih menonjolkan ego pribadi dan kelompoknya. Sudah semestinya pimpinan kepolisian juga mawas diri, berjalan seiring dengan institusi lain yang memiliki porsi penegakan hukum. Dengan demikian, diharapkan tingkat kepercayaan masyarakat tak menghilang. Jadi sesungguhnyapun kita tak punya alasan untuk mengebiri Polri, dan harus terus menerus mendorong Polri untuk terus menerus mengevaluasi diri.

Hen Eska
Hen Eska

Penulis adalah koordinator Kelompok Kerja Dekade Kritis (Pokja DeKRIT)

Comments

  • No comments yet.
  • Add a comment
    Home
    Linimasa
    Menulis
    Koleksi
    Profil