Perbandingan Dalil Kualitatif dan Kuantitatif Sengketa Pilpres

Permohonan keberatan dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta Pemilu 2024 nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan terdaftar dalam register Perkara No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024 sebagai Pemohon I dan nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD Perkara No. 2/PHPU.PRES-XXII/2024 sebagai Pemohon II.Hal ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan MK No. 4/2023 tentang Tata Cara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur objek perselisihan (objectum litis) yang diuraikan dengan jelas dalil-dalil kesalahan dalam penghitungan suara oleh KPU dan penghitungan suara yang benar menurut Pemohon, sebagaimana dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah Keputusan KPU tentang penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memengaruhi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengikuti putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam praktiknya terkait objectum litis, baik Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan permohonannya pada hal-hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.

Pemohon dalam pokok perkara permohonan di MK Pemohon mendalilkan hal-hal yang besifat bersifat kualitatif dan kuantitatif yang didalilkan pada pokoknya Pemohon baik paslon nomor urut 01 atau 03, sama-sama meminta dilakukannya pemungutan suara ulang dengan mendiskualifikasi paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Mereka beralasan, pencalonan Gibran diwarnai pelanggaran etika berat. Paman Gibran yang saat itu menjadi Ketua MK Anwar Usman terbukti melanggar etik dalam memutus perkara syarat usia minimal cawapres. Putusan itu dianggap memuluskan Gibran maju sebagai cawapres. Mereka juga menilai adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). (CNBC Indonesia, 25 Maret 2024). Namun demikian, beberapa perbandingan berbagai hal bersifat bersifat kualitatif dan kuantitatif yang didalilkan oleh Pemohon sebagai penyebab terjadinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pemilu yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 dan Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dapat dihubungkan dengan putusan-putusan MK pada PHPU Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya.

Perkembangan bentuk PHPU di MK juga tidak hanya berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif atau hanya berkaitan dengan penentuan angka-angka hasil pemilu tetapi juga kualitas pelaksanaan pemilu. MK akan juga menilai secara subtansi pelaksanaan pemilu dan meninjau pelaksanaan pemilu, apakah telah menjalan asas-asas pemilu atau mengesampingkan asas-asas Pemilu. Oleh karena itu, meskipun pelanggaran-pelanggaran Pemilu seharusnya menjadi kewenangan peradilan lain, namun Mahkamah pada akhirnya harus memeriksa pelanggaran-pelanggaran ini karena ternyata berbagai pelanggaran Pemilu, baik administratif maupun pidana, yang bukan menjadi domain kewenangan MK untuk menanganinya, realitasnya tidak pernah secara tuntas dapat diselesaikan oleh institusi di luar MK yang mempunyai kewenangan, meskipun UU Pemilu telah memuat ketentuan bahwa berbagai pelanggaran pidana Pemilu yang mempengaruhi hasil Pemilu sudah harus selesai paling lambat 5 (lima) hari sebelum hasil pemilu ditetapkan. Mungkin hal itu disebabkan oleh lemahnya berbagai peraturan perundang-undangan yang kurang/tidak memberikan “empowering” kepada institusi pengawasan Pemilu, sehingga pengawasan Pemilu terkesan tidak pernah efektif. (Abdul Mukhtie Fadjar, 2011).

Berdasarkan kenyataan objektif yang demikian, maka dapat dimengerti apabila MK kemudian mengembangkan suatu paradigma baru dalam menangani sengketa PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang tidak semata-mata terpaku pada aspek kuantitatif, yakni angka-angka hasil penghitungan suara, melainkan juga pada aspek kualitatif pemilu, yakni proses-proses pemilu yang mempengaruhi kualitas pemilu yang luber dan jurdil yang berarti mau tidak mau atau tidak terhindarkan MK akan menilai berbagai dalil pemohon PHPU Presiden dan Wakil Presiden mengenai berbagai pelanggaran pemilu yang seharusnya sudah secara tuntas ditangani oleh institusi-institusi lain sebelum kasus dibawa ke MK. Dalam posisi ini, MK tidak akan menjalankan fungsi peradilan lain dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran administratif maupun pidana. Akan tetapi pelanggaran-pelanggaran ini akan menjadi ukuran yang di pakai oleh MK untuk membatalkan sebagaimana putusan-putusan hasil Pemilu apabila terbukti adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).

Adapun pertimbangan, dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, setelah dilakukan penelusuran terhadap putusan-putusan MK sejak PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2004 sampai dengan PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019 Mahkamah Konstitusi secara garis besar berpendapat sebagai berikut:

Pertama, Pertimbangan bersifat kualitatif yang didalilkan oleh Pemohon sebenarnya telah disediakan mekanisme penyelesaian oleh Pemilu, baik pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, mulai dari pendaftaran pemilih pada setiap jenjang penyelenggaraan Pemilu, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi sampai KPU. Mekanisme dimaksud akan berjalan apabila peserta Pemilu mengajukan keberatan yang harus mendapat tanggapan dan ditangani oleh Bawaslu, KPU dan Gakumdu. Selanjutnya, dalil Pemohon yang besifat kualitatif belumlah merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Pemilu yang tercantum dalam Psal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 dan secara kuantitatif mempengaruhi signifikasi angka perolehan suara Pemohon untuk lolos ke putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, Mahkamah juga berpendapat bahwa hal-hal yang bersifat kualitatif yang didalilkan oleh Pemohon sebagaian ada yang terbukti, namun belum atau tidak cukup serius, karena tidak dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM), melainkan hanya bersiafat sporadic. Sehingga tidak menciderai prinsip-prinsip Pemilu yang luber dan jurdil serta karenanya juga tidak menyebabkan Pemilu tidak sah.

Kedua, Pertimbangan bersifat kuantitatif yang didalilkan oleh Pemohon pada pokoknya mendalilkan berhak masuk ke putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Terhadap pemeriksaan bukti-bukti di persidangan, baik bukti berupa surat maupun keterangan pasa saksi, ternyata Pemohon tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil-dalinya. Sehingga dalil Pemohon yang bersifat kuantitatif secara keseluruhan tidak terbukti dan ditolak untuk seluruhnya. Meskipun MK menolak permohonan Pemohon terhadap permohonan PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2004 sampai dengan PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019, namun MK juga menilai bahwa penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain kurang sempurnanya UU Pemilu sebagai aturan main Pemilu, lemahnya dan kekurang berdayaan BAWASLU, kurang profesionalnya penyelenggara Pemilu.

Sementara itu, menanggapi tidak terbukti dan ditolak untuk seluruhnya putusan MK menurut Mahrus Ali (2012) dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa Mahkamah memandang perlu menciptakan terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan massif (TSM). Landmark decision inilah yang menjadi yurisprudensi dan rujukan bagi perkara-perkara Pemilu selanjutnya. Dasar pertimbangan MK mengakui telah terjadinya pelanggaran TSM yaitu pemikiran bahwa tidak boleh dibiarkannya keadilan prosedural (procedural justice) mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), karena telah nyata merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

Jadi, perbandingan berbagai hal bersifat bersifat kualitatif dan kuantitatif yang didalilkan oleh Pemohon dihubungkan dengan putusan-putusan MK pada PHPU Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, dapat disimpulkan untuk akumulasi waktu mempertimbangkan tidak membatasai kewenangan MK dalam memutuskan Perselisihan Hasil Pemilihan umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden hanya mengenai hasil penghitungan suara bersifat kuantitatif karena sudah tidak sesuai dengan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi dan menambah waktu persidangan dengan tidak membatasi waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan sampai dengan putusan. Selain itu juga, perlu membangun konsep Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) sebagai suatu paradigma baru dalam menangani sengketa dengan menetapkan standar pembuktian yang obyektif untuk mendapatkan “waarderen of evidence” guna mendukung keyakinan hakim MK dalam penafsiran dan pendekatan komprehensif terhadap konstitusi, sebab jika tidak demikian pembuktian menjadi sempit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan keadilan substantif (substantive justice). Selanjutnya perlu “empowering” peranan BAWASLU beserta seluruh jajaran dibawahnya, agar pengawasan seluruh pelaksannaan tahapan Pemilu dapat belangsung secara efektif dan sistematis, sehingga berbagai pelanggaran Pemilu, baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana dapat diselesaikan sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilu.


Tulisan ini merupakan Opini yang ditulis  oleh NAUPAL AL RASYID, SH., MH, Direktur LBH FRAKSI ’98

Tinggalkan komentar