Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Politik, Syamsuddin Haris, menilai pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah balas dendam kubu pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atau Koalisi Merah Putih. “Jadi ini salah satu cara melawan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla setelah kalah dalam pemilihan presiden,” katanya, Jumat, 26 September 2014.
Menurut Syamsuddin, nantinya pilkada tak langsung ini sangat menguntungkan Koalisi Merah Putih, yang digawangi Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan. Soalnya, mereka otomatis bakal berupaya melahirkan kepala daerah dari anggota Koalisi Merah Putih.
Dengan berlakunya pilkada tak langsung ini, Syamsuddin menilai hubungan kepala daerah dengan DPRD akan lebih kolusif dan transaksional. “Konsekuensi logis dari dua hal itu juga lebih koruptif. Itu otomatis. Jadi kepala daerah mengabdi mengabdi ke DPRD, bukan rakyat,” ujarnya. Selain itu, menurut dia, pilkada melalui DPRD merupakan suatu kemunduran dan mengisyaratkan pendukung mekanisme tersebut ingin kembali ke zaman Orde Baru.
Kendati demikian, Syamsuddin yakin proses penetapan undang-undang ini belum selesai. Dia memperkirakan banyak pihak yang akan mengajukan judicial review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi. “Saya masih optimistis MK menyetujui pilkada langsung,” katanya.
Dinihari tadi, DPR mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD. Keputusan tersebut berdasarkan hasil voting. Dari rekapitulasi hasil voting, fraksi-fraksi pendukung pilkada lewat DPRD, yakni PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Gerindra, menang dengan 256 suara. Sedangkan tiga fraksi pendukung pilkada langsung, yakni PDI Perjuangan, PKB, dan Hanura, hanya memperoleh 135 suara.
Sumber: Tempo.co