Predikat Bekasi sebagai kota terkotor seharusnya dijadikan sebagai momentum pemerintah untuk membangun kerja kolektif. Pemkot sebagai penyelenggara pemerintahaan harus melakukan gerakan yang masif, melibatkan masyarakat untuk bersih-bersih dan menjaga lingkungan.
Dengan jumlah penduduk sekitar 2,5 Juta Kota bekasi menghasilkan sampah rata-rata 7.500 meter kubik atau sekitar 1.700 ton perhari. Dengan jumlah tersebut yang terangkut ke TPA hanya 40 persen dan sisanya berserakan yang tersebar di 12 Kecamatan dan kalaupun semua sampah terangkut dipastikan tidak akan tertampung di TPA. Dengan kondisi seperti itu, maka hal yang harus dilakukan selain mengelola sampah yang ada ialah dengan menekan jumlah sampah tersebut agar bisa berkurang dengan cara memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam program pelestarian lingkungan (ekologis).
Hemat penulis, memberdayakan masyarakat dalam menjaga lingkungan diantaraya dengan menggali potensi lingkungan masyarakat. Penggalian potensi ekologis masyarakat antara lain berupa penggalian budaya asli masyarakat yang pro ekologis.
Secara kultural masyarakat Bekasi adalah masyarakat yang sangat religius. Enam agama ada di Bekasi dan umatnya hidup rukun. Bahwa pernah ada gesekan antarumat beragama di Bekasi namun itu hanya pada persoalan yang sifatnya parsial bukan pada masalah fundamental. Nah, nilai-nilai religi inilah yang seharusnya bisa diangkat dan dikembangkan oleh pemerintah dalam membangun Bekasi.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Fritjof Capra soal penyebab terjadinya krisis global yang dihadapi dunia dimana menurutnya adalah akibat dari kesalahan cara pandang manusia dan keserakahannya terhadap alam, demikian pula tidak difungsikannya perangkat nilai transsendental dalam diri manusia untuk dijadikan acuan moral dalam hidup.( Teologia, 2011).
Jika demikian maka sesungguhnya krisis lingungan bukan persoalan sosial ekonomi dan kependudukan semata akan tetapi juga masalah ultimasi, sudut pandang manusia terhadap alam. Masalah lingkungan adalah masalah moral dan perilaku manusia, maka krisis lingkungan adalah krisis spiritual.
Oleh karena itu, penyelesaian permasalahan lingkungan tidak bisa hanya didekati dengan pendekatan teknis parsial. Permasalahan lingkungan harus didekati secara holistik-komperhensif. oleh karena itu, pelu pendekatan interdisipliner untuk menyelesaiakan permasalahan lingkungan dan termasuk disana adalah agama
Teologi Lingkungan.
Dalam perspektif teologis, krisis lingkungan yang saat ini terjadi tidak lepas dari perilaku manusia baik secara sadar maupun tidak sadar telah merubah ekosistem bumi. Pada era manusia modern saat ini dimensi spiritualitas yang seharusnya menjadi fondasi menjaga lingkungan telah hilang.
Secara legal formal semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Islam sangat menekankan pada kebersihan bahkan kebersihan menjadi bagian dari keimanan. Selain itu dalam Islam manusai adalah kholifah di bumi ini yang artinya penjaga, pelestari bumi bukan perusak. Hubungan manusia dengan tanah bukan penguasaan dan dominasi tetapi pemanfaatan yang terkendali.
Dalam ajaran Islam semua alam bertasbih. Sementara agama Kristen dan Katolik mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah maka manusia harus memelihara dan melindungi bumi sesusia dengan gambaran Allah yang pengasih. Begitu juga dengan agama Budha yang mengggap bahwa pepohonan memiliki semanat Budha, yaitu kehidupan. Sementara Khonghucu mengajarkan bahwa langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup. Berdasarkan ajaran agama tersebutlah teologi lingkungan lintas agama berdiri. Jadi teologi lingkungan adalah mendekati persoalan lingkungan dengan menghadirkan nila-nilai Ketuhannan di dalamnya.
Maka pemerintah seharusnya melibatkan agamawan untuk bergerak dan menggerakan umat melalui semangat spiritualitas tadi. Keterlibatan agamawan dalam menyelesaikan persoalan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan. Hanya saja saat ini harus diakuai masih ada yang memandang sebelah mata peran agama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena, pertama para pemuka agama yang memiliki “otoritas” dari umatnya belum banyak memberikan perhatian serius dalam masalah lingkungan. Agama belum benar-benar dihadirkan dalam masalah lingkungan. Kedua, banyak juga para tokoh-tokoh agama yang terjebak masuk dalam jalan licin kekuasaan sehingga keputusan-keputasan yang diambil tidak lagi benar-benar berpihak pada masyarakat. Ia hadir hanya pada acara seremonial dan sebagai “tukang cici” dosa-dosa para pejabat. Ketiga, para penguasa juga belum benar-benar memposisikan para agamawan ditempat yang penting dalam menjalankan pemerintahan. Agamawan hanya dilibatkan ketika ada konflik, menangkal terorisme, ISIS dsb.
Idealnya antara penguasa dan agamawan jalan beriringan dalam membangun daerah. Seorang agamawan harus mampu menerjemahkan firman Tuhan dalam menjawab persoalan-persoalan ke-kinian seperti masalah lingkungan dan sementara pemerintah berkewajiban memfasilitasi agar spiritualitas itu tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu harmoni akan hadir di Bekasi, label sebagai kota terkotor tidak lagi menghampiri. Mengutip Sayyed Husein Nashr “untuk berdamai dengan alam harus berdamai dengan tatanan spriritual. Untuk berdamai dengan bumi orang harus berdamai dengan langit”. (wallahu a’lam)
Penulis: Hamdi, Sekretaris Ikatan Alumni UIN (IKALUIN) Syarif Hidayatullah Cab. Bekasi Raya