Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, 3 September 2025 lalu baru saja mengangkat adik kandungnya, Satia Sriwijayanti menduduki jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Sontak langkah orang nomor satu di Kota Bekasi tersebut menuai reaksi negatif karena dianggap sebagai nepotisme dalam tubuh pemerintahan daerah.
Dan lumrah saja tentunya jika publik mengaitkan pengangkatan Satia Sriwijayanti sebuah praktik nepotisme. Pasalnya Satia sendiri dianggap tidak memiliki kualifikasi atau persyaratan yang dibutuhkan sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Sebab mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten Kota jelas disebutkan bahwa seorang Kepala Dinas Kesehatan harus memiliki pendidikan Sarjana Strata-1 Kesehatan. Sedangkan Satia sendiri bergelar dokter hewan (drg).
Dalam perkara ini, Tri Adhianto mungkin masih bisa mengelak, bahwa sarjana kedokteran hewan masuk dalam rumpun ilmu kesehatan. Tapi dia juga harus tahu, bahwa dokter hewan secara spesifik bukanlah bagian dari “tenaga kesehatan” manusia. Sehingga seorang dokter hewan tidak masuk dalam kategori tenaga kesehatan (nakes), itu poin kuncinya.
Sementara di lain sisi, bahwa Dinas Kesehatan merupakan institusi yang mengurus kesehatan masyarakat dalam hal ini manusia. Jadi, nampaknya kurang elok saja, jika institusi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dikepalai seorang dokter hewan.
Bukan hanya soal jenjang pendidikan, pengalaman kerja Satia Sriwijayanti di bidang kesehatan tampaknya juga tidak memenuhi kualifikasi sebagai seorang Kepala Dinas Kesehatan.
Karena sesuai Permenkes Nomor 49 Tahun 2016, syarat untuk menjadi Kepala Dinas Kesehatan harus memiliki pengalaman kerja di bidang kesehatan secara kumulatif sekurang-kurangnya lima tahun. Pertanyaannya, apakah ia pernah berpengalaman bekerja di bidang tersebut, paling tidak selama lima tahun.
Belum lagi seorang Kepala Dinas Kesehatan sesuai dengan Permenkes Nomor 49 Tahun 2016 telah mengikuti pelatihan teknis sekurang-kurangnya tentang sistem pelayanan kesehatan, sistem manajemen informasi kesehatan, pengembangan komunitas, surveilans epidemiologi dan manajemen bencana.
Soal pelatihan teknis ini, Tri Adhianto mungkin masih bisa beralasan. Sebab ada waktu sekurang-kurangnya satu tahun bisa dipenuhi setelah menjabat sebagai Kepala Dinas.
Tapi apapun alasannya, pengangkatan Satia Sriwijayanti nampak jelas dipaksakan. Apalagi jika mengacu pada ketentuan yang sudah ditetapkan pemerintah yakni Permenkes Nomor 49 Tahun 2016.
Masalahnya, kemudian tindakan ini memiliki konsekuensi yang tidak murah. Ada harga yang harus dibayar dari aksi main-main urusan kesehatan yang dilakukan Tri Adhianto.
Salah satu harga yang harus dibayar yaitu rusaknya meritokrasi di tubuh Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Naiknya Satia sebagai Kepala Dinas Kesehatan jelas merusak meritokrasi di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Kehadiran Satia secara langsung telah mengeliminir para pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan yang memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan kepala dinas.
Para pegawai yang mungkin telah mengabdikan diri puluhan tahun bahkan sepanjang karir kepegawaian di Dinas Kesehatan dan memiliki kapasitas alias memenuhi syarat memimpin Dinas Kesehatan terpaksa harus menerima kenyataan, tersingkir oleh adik kandung Wali Kota Bekasi.
Tak berhenti di situ, kesehatan masyarakat Kota Bekasi juga terancam menjadi korban aksi main-main urusan kesehatan ini.
Bayangkan, jika Kota Bekasi masuk dalam kondisi tidak normal. Seperti munculnya pandemi atau ada kejadian luar biasa yang butuh kecakapan dalam penanganan. Apakah dengan bekal keilmuan kedokteran hewan dan jam terbang Satia di bidang kesehatan yang minim, ia akan mampu menghadapi situasi semacam ini.
Dan yang tak kalah bahaya, ada celah korupsi yang terbuka lebar dengan naiknya Satia sebagai Kepala Dinas Kesehatan. Bisa jadi, Tri memang sengaja mendudukan Satia sebagai Kepala Dinas, agar ia bisa lebih mudah mengendalikan Dinas Kesehatan sebagai salah satu perangkat daerah yang memiliki anggaran jumbo di lingkungan Pemkot Bekasi. Hal yang akan sulit dilakukan, jika jabatan tersebut diberikan kepada orang lain karena ada potensi mbalelo alias membangkang. Tentu membangkang di sini dalam konteks positif, yakni pada konteks penyalahgunaan wewenang atau jabatan.
Bukan saja memiliki anggaran jumbo, Dinas Kesehatan juga institusi yang seksi secara politik. Ini karena sumber daya mereka yang sangat banyak dan langsung bersentuhan dengan masyarakat. Yang pada momen-momen politik seperti Pilkada bisa dimanfaatkan atau digerakan untuk kepentingan pemenangan. Dan bukan hal tabu, jika dalam kontestasi politik selalu saja ada upaya mempolitisasi birokrasi.
Dengan melihat, banyaknya kejanggalan dan potensi bahaya yang bisa saja terjadi karena aksi main-main Tri Adhianto di sektor kesehatan, mestinya pihak-pihak berwenang turun tangan membereskan persoalan tersebut.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) misalnya, mereka seharusnya tidak tutup mata. Dengan kewenangannya, bisa saja mutasi yang dilakukan Tri Adhianto dibatalkan. Sebab ada kemungkinan, kesalahan terjadi bukan saja pada pengangkatan Satia sebagai Kepala Dinas Kesehatan, namun pada jabatan lain.
Selain Kemendagri, KPK atau juga Kejaksaan Agung bisa saja ikut turun tangan. Memastikan apakah mutasi yang telah dilakukan Tri Adhianto sejak dilantik pada Februari 2025 sampai saat ini bersih dari unsur korupsi dalam hal ini jual beli jabatan.
Sederhana saja, jika Tri saja bisa mengangkat adik kandungnya sebagai Kepala Dinas Kesehatan meskipun ada potensi pelanggaran aturan, bukan tidak mungkin pejabat lain diangkat, bukan karena kompetensinya, tapi karena ada hal lain yang mungkin itu bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya.
Tulisan ini merupakan opini yang ditulis oleh redaksi klikbekasi.co






