Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) mengenai proyek pengendalian banjir di Perumnas 3, Aren Jaya, Bekasi Timur tahun 2014, tidak terbantahkan lagi mengandung unsur tindak pidana korupsi. Kasus ini sudah sepatutnya dibawa ke penegak hukum agar bisa diselesaikan secara bijak di pengadilan.
(Baca: 7 Bukti Persekongkolan Jahat ‘Proyek Banjir’ Kota Bekasi)
Sikap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan Ketua DPRD Kota Bekasi Tumai tentu sangat kita nantikan. Apalagi Kepala Inspektorat Cucu Much Syamsudin sudah terang-terangan menyebut yang berwenang menyeret kasus itu ke penegak hukum adalah Wali Kota dan DPRD.
“Tolong diluruskan,” kata Cucu menegaskan, “bukan Inspektorat yang punya wewenang membawa kasus tersebut ke penegak hukum. Di daerah, Wali Kota dan DPRD lah yang harusnya melaporkan.”
(Baca: Disebut Tutupi Korupsi di Bekasi, Inspektorat Lempar ke Wali Kota dan DPRD)
Pernyataan Cucu tentu tidak main-main. Pertama, harus dimengerti, ia tidak mau dituding menjadi pihak yang menutup-tutupi kasus korupsi. Yang kedua, Cucu melandaskan argumentasinya pada Peraturan Kepala BPK Tahun 2010 dan Undang Udang Nomor 15 Tahun 2016.
Dalam dua aturan tersebut dijelaskan, LHP BPK diserahkan kepada Wali Kota dan DPRD. Karena yang menerima audit Wali Kota dan DPRD, maka, Cucu sebenarnya secara tidak langsung berpendapat bahwa dua pihak itulah yang sepantasnya dituding menutupi korupsi.
Sama seperti Cucu, para anggota DPRD juga tidak mau dianggap menutupi korupsi. Mereka pun melempar ‘bola panas’ ini ke pimpinannya. (Baca: Ditantang Laporkan Korupsi Proyek, Anggota Dewan Bekasi Lempar ke Pimpinan)
Berangkat dari argumentasi itu, semestinya, tidak ada keraguan lagi bagi Rahmat Effendi dan Tumai untuk memperkarakan temuan BPK kepada penegak hukum dalam hal ini Kepolisian maupun Kejaksaan.
Alasannya sederhana saja. Selaku penyelenggara negara, Rahmat Effendi dan Tumai tentu menginginkan penyelenggaran pemerintahan berjalan seideal mungkin. Salah satunya bebas dari praktik korupsi.
Artinya, mereka tidak boleh mentolerir secuil pun perbuatan yang merugikan jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Apalagi jika kita berkaca pada kejadian lima tahun yang lampau: Wali Kota, Sekretaris Daerah dan Kepala Inspektorat Kota Bekasi ramai-ramai masuk penjara.
(Baca: Catat, Mantan Inspektorat Kota Bekasi Pernah Dipenjara karena Tutupi Korupsi)
Jadi sangatlah tidak pantas jika Rahmat Effendi dan Tumai mendiamkan praktik korupsi terjadi di tubuh pemerintahannya. Masyarakat akan sangat marah. Sebaliknya, mereka akan malu bukan kepalang jika itu benar-benar terjadi.
Belum lagi bila kita melihat kedudukan Rahmat Effendi dan Tumai yang merupakan unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) di mana di dalamnya berisikan Kepala Kejaksaan Negeri dan Kapolres. Tentu akan lucu jika mereka tidak bisa saling berkoordinasi dalam memberantas korupsi.
Ditinjau dari berbagai penjuru, tidak ada satu pun alasan bagi Rahmat Effendi dan Tumai untuk tidak menindaklanjuti dugaan kasus korupsi tersebut. Tapi, lagi-lagi, pemberantasan korupsi memang bukan soal mudah. Kita membutuhkan komitmen.
Nampaknya Rahmat Effendi dan Tumai mulai memperlihatkan sikap kurang komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Mereka sama-sama sepakat untuk mengarahkan kasus itu ke pelanggaran administrasi semata dan telah diparipurnakan pada 9 Agustus 2015.
Namun, mengikuti pepatah bijak, terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Rahmat Effendi dan Tumai masih punya waktu untuk melaporkan temuan tersebut ke penegak hukum seraya menegaskan bahwa mereka benar-benar pro terhadap pemberantasan korupsi.
Jadi, beranikah Wali Kota dan Ketua DPRD?
Redaksi
Baca semua topik: # Korupsi di Kota Bekasi