Calon anggota legislatif (caleg) berkantong cekak bertebaran di Pileg 2019 kali ini. Berharap terpilih jadi anggota DPRD Kota Bekasi, mereka nekat maju dengan modal pas-pasan.
Bermunculannya caleg berkantong cekak di Pileg 2019 bukanlah fenomena baru. Hampir setiap gelaran Pileg, caleg-caleg berkantong cekak ikut meramaikan hajatan politik lima tahunan tersebut.
Pada prosesnya, caleg kantong cekak hanya akan menjadi pelengkap penderita dalam gelaran Pileg. Sebab dengan tingginya ongkos politik menjadi dewan, peluang caleg berkantong cekak sangatlah tipis.
Menariknya, keberadaan caleg semacam ini merata. Hampir semua partai politik ada caleg tipe ini, entah di partai besar atau kecil. Hal ini diakui oleh para petinggi partai di Kota Bekasi.
Kendati begitu, bukan berarti caleg berkantong cekak tak berpeluang duduk sebagai anggota dewan. Faktanya, sejumlah figur politik sentral di Kota Bekasi, mengawali karir politiknya sebagai caleg berkantong cekak.
Rahmat Effendi contohnya, politikus Golkar yang baru saja terpilih menjadi Wali Kota Bekasi untuk kedua kali, mengawali karir politiknya sebagai anggota dewan. Saat maju menjadi caleg di Pileg 1999, Rahmat tak memiliki modal yang berlebih.
Koleganya, Mochtar Mohammad, politikus PDI Perjuangan yang pernah menjabat Wali Kota Bekasi juga merintis karir politiknya melalui jalur anggota legislatif. Saat maju pada Pileg 1999, Mochtar masuk kategori caleg berkantong cekak, karena tidak memiliki banyak modal.
“Untuk terjun di politik yang dibutuhkan itu modal sosial. Kalau mau sukses di politik kita harus banyak melakukan investasi sosial,” kata Mochtar, dalam sebuah kesempatan.
Namun, Rahmat Effendi dan Mochtar Mohamad tentu merupakan pengecualian. Sebabnya, saat keduanya maju menjadi caleg, Pileg masih menganut sistem nomor urut atau proporsional tertutup. Jadi, caleg tak perlu sibuk mengkampanyekan dirinya, asalkan partai dapat suara bagus, caleg dengan nomor urut pertama sudah bisa dipastikan dapat jatah kursi dewan.
Sedangkan, sejak berlaku sistem suara terbanyak atau proporsional terbuka, caleg harus mati-matian mempromosikan dirinya agar dipilih warga untuk bisa duduk menjadi dewan. Di sinilah, dibutuhkan biaya atau ongkos politik yang jumlahnya tak sedikit. Hal ini tentu akan menyulitkan caleg berkantong cekak bersaing dengan caleg-caleg berkantong tebal.
Tapi anggapan tersebut tidak serta merta dibenarkan, Ketua DPC PKB Kota Bekasi, Ahmad Ustuchri yang sudah dua kali terpilih menjadi anggota DPRD Kota Bekasi mengatakan, biaya politik hanya faktor penunjang dalam pencalegan namun bukan penentu.
“Banyak caleg yang uangnya habis banyak tapi suaranya tidak mampu menghantarkan sampai ke parlemen. Faktornya, ternyata uang tersebut tidak digunakan secara efektif. Untuk serangan fajar misalnya. Yang ada justru merusak mental masyarakat,” kata dia.
Lanjut, bengkaknya ongkos politik, dikarenakan caleg tidak punya modal sosial yang kuat. Sehingga caleg mesti mengeluarkan banyak biaya untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat.
“Kalau sudah ada modal sosialnya, tentu akan mudah bagi caleg untuk bisa menang. Cost politiknya juga rendah karena sudah ada modal sosial. Apalagi ditambah caleg tersebut punya kemampuan komunikasi yang baik untuk bisa memperkenalkan diri ke masyarakat mengenai visi dan misinya. Ini akan mempermudah caleg tersebut,” kata dia.
Menanggapi fenomena caleg berkantong cekak, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi, Nico Godjang mengatakan, caleg berkantong cekak atau tebal, hanya persoalan persepsi semata.
“Itu soal persepsi saja. Si A misalnya dianggap kantongnya cekak, Si B kantongnya tebal. Itukan cuma persepsi semata. Tapi itu tidak bisa jadi ukuran. Bisa jadi caleg yang katanya kantongnya cekak menang,” kata dia.
Lanjut, PDI Perjuangan sendiri kata dia, jusrtu banyak melahirkan anggota dewan yang tidak punya modal berlebih saat maju menjadi caleg.
“Modal materi mungkin kecil. Tapi dia punya modal sosial, relasi sosialnya bagus. Jejaring sosialnya bagus, bisa juga terpilih pada akhirnya. Uang tidak jadi jaminan,” kata dia.
Bermuculannya caleg berkantong cekak, menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakan. Pertanyaannya, dari mana asal caleg-caleg ini.
Asal muasal mereka tentu dari berbagai macam latar belakang. Tapi paling banyak berasal dari internal partai. Aturan main di partai, memungkinkan pengurus partai punya peluang besar mencalonkan atau dicalonkan. Tak peduli berkantong cekak atau tebal.
Selain pengurus partai, caleg berkantong cekak banyak diisi oleh aktivis. Para aktivis ini bisa maju menjadi caleg, berbekal memiliki jejaring kuat di interal partai politik atau memang partai sengaja merekrut karena dinilai memiliki kwalitas. Di Kota Bekasi, caleg dari kalangan aktivis beberapa ada yang sukses duduk jadi dewan, banyak juga yang gagal.
Caleg berkantong cekak juga banyak diisi kaum perempuan. Susahnya memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalegan, membuat banyak partai sengaja mencari caleg perempuan hanya untuk melengkapi syarat tersebut, tanpa mempertimbangkan banyak faktor, salah satunya uang. Meskipun, banyak juga caleg perempuan berkantong tebal dalam setiap kontestasi pemilu.
“Partai ini milik publik. Kita tidak bisa membatasi warga negara untuk ikut andil dalam pemilu dengan maju menjadi caleg. Siapapun berhak maju menjadi caleg lewat partai politik,” kata Ketua DPC PPP Kota Bekasi, Solihin.
Terpisah, Sekretaris DPD Golkar Kota Bekasi, Heri Budi Susetyo mengatakan, partainya punya aturan main tersendiri dalam menentukan caleg. Golkar kata dia, tidak terlalu mempersoalkan isi kantong calegnya.
“Yang penting caleg mau bekerja keras untuk menggalang suara dan punya potensi menang. Soal caleg, inikan soal kepercayaan diri seseorang. Setiap orang yang jadi caleg karena mereka percaya diri bisa menang. Terlepas punya kemampuan finansial berlebih atau tidak, itu bukan ukuran,” kata Heri.(Ical)