Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik di Kota Bekasi jumlahnya masih sangat minim. Data Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Bekasi jumlah RTH publik baru 6 persen yang terdiri dari taman, resapan air, sepandan suangai dan lalin-lain.
Kepala Bidang Perencanaan Tata Ruang Distaru Kota Bekasi, Erwin Guwinda mengatakan, RTH 6 persen merupakan jumlah yang dikuasai efektif oleh Pemkot Bekasi.
Sementara kata dia, jika dihitung sesuai plot di peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) jumlahnya bisa lebih besar. Hanya saja kepemilikannya masih privat dan milik masyarakat.
Erwin menjelaskan salah satu kendala yang dihadapi Pemkot Bekasi dalam menenuhi target RTH adalah alokasi anggaran untuk pengadaan lahan sesuai lokasi di Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
“Kebutuhan RTH publik mesti dikejar. Tahun 2022 ini perancanaanya sedang di susun untuk pengadaan lahan RTH. Tahun 2023 pembeliannya,” kata dia.
Selain pengadaan lahan, Pemkot Bekasi juga menyiapkan langkah strategis guna memenuhi kebutuhan RTH di Kota Bekasi salah satunya dengan menerapkan mekanisme pemberian insentif dan Disinsentif kepada masyarakat dan pelaku usaha untuk menyediakan RTH.
Sejauh ini, langkah tersebut tergolong efektif. Bila melihat presentase RTH privat yang sudah di angka 13 persen.
Erwin juga mengklaim sejumlah pelaku usaha properti juga taat kepada aturan yang berlaku tentang pemenuhan RTH privat atau Koefisien Dasar Hijau (KDH).
“Hampir semua pengembang mematuhi KDH secara dokumen administrasi. Datanya ada di bidang pengendalian untuk monev lapangan,” tegasnya.
Pemkot Bekasi juga menerapkan sanksi bagi pelanggar aturan.
“Sanksinya bisa diarahkan melalui mekanisme insentif dan disinsetif untuk pemenuhan RTH sesuai ketentuan supaya iklim investasi tetap berjalan dan pemenuhan RTH publik dapat tercapai, ” pungkasnya.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, daerah berkewajiban memenuhi RTH minimal 30 persen dari luas wilayahnya. Yang mana dari 30 persen itu, sebanyak 20 persen merupakan RTH publik yang merupakan kewajiban pemerintah daerah. Sedangkan 10 persennya adalah RTH privat.
Adapun Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi Tahun 2011-2031, jumlah RTH yang harus dipenuhi Kota Bekasi sebesar 6.7000 hektar atau 30 persen dari total wilayah. Adapun rinciannya, RTH publik sebesar 4.210 Hektar atau 20 persen, RTH privat sebesar 2.150 Hektar atau 10 persen.
Pemenuhan target RTH memang bukan semata-mata tanggungjawab pemerintah daerah.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur) mengatur kewajiban pengembang properti.
Dalam aturan tersebut pengembang properti diwajibkan menyediakan RTH 30 persen dari luas lahan pengembangan. RTH tersebut nantinya digunakan untuk pemerintah daerah setempat usai pengembangan selesai.
Minimnya RTH sempat dikritik oleh Anggota DPRD Kota Bekasi, Haeri Parani yang menyebut Pemkot Bekasi tidak punya political will.
Menurutnya, tidak adanya political will bisa dilihat dari banyaknya lahan fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos fasum) di sejumlah perumahan di Kota Bekasi yang beralih fungsi di luar ketentuannya.
Bahkan politisi senior di Kota Bekasi tersebut tak segan menduga fasos fasum dipindahtangankan oleh pihak Dinas Tata Ruang.
“Pemkot Bekasi tak punya political will terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Bahkan Dinas Tata Ruang terkesan aset fasos fasum diduga dipindahtangankan. Coba lihat di Kemang Pratama, fasos fasumnya habis,” kata pria yang dikenal vokal terhadap kebijakan Pemkot Bekasi tersebut.
Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Kota Bekasi, Chairoman J Putro meyakini kalau target pemenuhan RTH tidak akan tercapai. Sebab dalam Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025 tidak dipasang target pemenuhan RTH 30 persen yang terdiri dari RTH publik 20 persen dan RTH privat 10 persen.
“Pasti tidak akan tercapai karena target RPJPD 2005-2025 RTH 30 persen belum ditargetkan,” katanya.
Ia juga menyinggung Undang-undang Nomor 6 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menurutnya tidak lagi relevan menjadi acuan peraturan tentang pemenuhan RTH sejak lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan-peraturan pelaksananya telah melahirkan ketidakpastian dan ketidaksinkronan terkait dengan peraturan yang mengatur tentang Perda RTRW dan Peraturan Kepala Daerah RDTR, sehingga UU Nomor 6 Tahun 2007 menjadi tidak relevan lagi sebagi acuan hukum,” pungkasnya.(Ical)