Ruangan berdinding orange itu terbilang sempit untuk sebuah usaha, ukurannya lebih kurang 4×4 meter. Mesin bordir dan jahit terpajang di dalamnya. Sebuah lemari berisi pakaian hasil bordiran juga berdiri di ruang yang sama.
Di dinding depan ruang itu, terpajang sejumlah bingkai berisi sertifikat dan penghargaan. Salah satunya adalah Upakarti, penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah kepada perajin dan pengusaha kecil atas jasa pengabdian dalam bidang kerajinan. Di luar ruangan tersebut, sebuah papan nama bertuliskan “Yuyun Bordir” terpasang.
Usaha bordir itu adalah milik Yulidar (39). Siang itu, ia sibuk menyulam bordir sesuai pola berbentuk ornamen bunga-bunga. Dalam bekerja, ia dibantu beberapa karyawannya yang bertugas menyulam dan menjahit. Perempuan asal Lambaro Skep, Banda Aceh ini sudah memulai usahanya sejak tahun 1999 silam.
Sebelum membuka usaha milik sendiri di Jalan Mujahidin, Lr Durian 18 A Lambaro Skep, Banda Aceh, Yulidar belajar kerajinan bordir dari orang tuanya. Sejak kecil, ia sudah mengikuti jejak ibunya, Huzaimah yang sudah membuka usaha bordir sejak tahun 1980-an. Pada tahun 1989, Huzaimah mendapat penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto.
Yulidar yang waktu itu masih kecil selalu berusaha membuat aneka kreasi sulaman bordir saat mempunyai waktu luang.
“Dari situ sudah berpikir untuk menggeluti usaha bordir,” kata Yulidar saat ditemui detikFinance pekan lalu.
Baru pada 1999 ia mulai membuka usaha sendiri setelah ibunya mulai sibuk dengan kegiatan lain. Bermodal bakat dan kemampuan yang dimiliki, Yulidar tidak mengalami kesulitan saat awal membuka usahanya.
“Tidak sulit karena saya punya bakat alam yaitu bakat dari orang tua,” jelasnya.
Usaha bordir Yulidar sempat terhenti hampir setahun akibat musibah gempa dan tsunami melanda Aceh 2004 silam. Seluruh harta benda miliknya hilang waktu itu. Setelah beberapa bulan berada di pengungsian, Yulidar kembali merintis usahanya pada 2006.
Pada saat awal berdiri kembali, Yulidar hanya mampu menjahit dan membordir baju dan mukena. Lambat laun, usahanya miliknnya semakin berkembang. Baru pada 2008 silam ia mampu mengerjakan aneka motif bordiran seperti pinto Aceh, pucuk rebung, beukah cawan dan sejumlah motif lainnya.
“Sekarang motif pinto Aceh paling diminati karena bentuknya simpel,” ungkapnya.
Yulidar menjual hasil bordiran miliknya dengan harga bervariasi seperti mukena yang dibandrol dengan harga mulai Rp 250 ribu hingga Rp 1,5 juta.
Untuk mukena seharga Rp 250 ribu biasanya siap dikerjakan dalam waktu tiga hari sementara mukena dengan harga Rp 1,5 juta membutuhkan waktu satu bulan untuk mengerjakannya. Sedangkan baju dijual dengan harga mulai Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta.
“Mukena Rp 1,5 juta itu mahal karena bordirnya halus dan ada penambahan payetnya. Tapi yang paling dimininati itu bordiran karancang karena bahannya dari sutera,” jelasnya.
Untuk membuat aneka bordiran, Yulidar harus membeli semua bahan baku dari Medan atau Jakarta. Hal itu sangat berpengaruh terhadap harga bordiran yang dikerjakannya. Menurutnya, harga bordiran miliknya meningkat dua kali lipat dibanding dengan harga jual di Jakarta.
Tapi Yulidar mempunyai trik tersendiri agar usahanya tetap bertahan. “Kita menciptakan keunikan motif seperti pinto Aceh,” kata Yulidar.
Pada saat awal-awal usahanya berdiri, belum banyak masyarakat Aceh yang memakai pakaian bordiran. Ia terus berusaha mencari cara untuk menarik minat masyarakat. Salah satunya adalah dengan memodifikasi motif lama tapi tidak menghilangkan kekhasan Aceh.
“Sekarang semua kalangan mau pakai bordir,” ungkapnya.
Bukan hanya membuka usaha bordir, Yulidar juga memberi pelatihan kepada perempuan-perempuan di desanya agar mau membuat bordir. Sejak 2008 silam, ia terus membina warga desanya sehingga banyak di antaranya mereka kini aktif membordir.
Yulidar berkeinginan desanya menjadi kampung bordir seperti Tasikmalaya, Jawa Barat. Untuk melatih mereka, Yulidar membuat 10 kelompok dengan jumlah warga sekitar 80 hingga 90 orang. Setiap hari, mereka membordir di rumah masih-masih setelah menyelesaikan pekerjaan sendiri.
“Ibu-ibu di sini rata-rata punya pekerjaan sendiri seperti tukang cuci dan jual kue basah,” ujar Yulidar.
Hasil bordiran Yulidar kini bukan hanya dikenal di Aceh tapi sudah merambah Jakarta bahkan Malaysia.
Selain itu, juga banyak tamu dari luar negeri seperti Arab dan Inggris yang datang membeli hasil bordirannya. Karena usahanya semakin berkembang, Yulidar kini meraup omzet sebesar Rp 10 juta hingga Rp 25 juta per bulan.
Menjelang lebaran masyarakat yang menjahit atau membordir ditempatnya semakin meningkat dibanding hari-hari biasa.
“Tapi karena kita kekurangan tenaga kerja, jadi agak kewalahan,” ungkap Yulidar.
sumber: detik.com