Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan DPRD Kota Bekasi mengenai tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang sudah seharusnya jangan dilihat sebagai konflik Jakarta-Bekasi semata.
Boleh jadi pernyataan Ahok benar: ada oknum DPRD Kota Bekasi yang menerima setoran rutin dari PT Godang Tua Jaya selaku swasta yang mengelola TPST Bantar Gebang. Sehingga, kata Ahok, DPRD Bekasi akan pasang badan jika ada ketegangan antara Pemrov DKI Jakarta dengan PT Godang Tua Jaya.
Cara pandang Ahok mungkin dianggap tidak lurus, tapi bukan berarti ia melenceng. DPRD Kota Bekasi, sebagai institusi publik yang mendapatkan hak imunitas, punya kesempatan lebih banyak untuk ‘mempreteli’ DKI Jakarta maupun PT Godang Tua Jaya karena lahan TPST Bantar Gebang berada di wilayah kekuasaannya.
Rupanya DPRD Kota Bekasi tidak mau menyerang dua-duanya. Mereka lebih suka berselingkuh dengan swasta dan berperan sebagai centeng atau beking dengan garansi selama beroperasi di Kota Bekasi, PT Godang Tua Jaya lancar-aman. Termasuk lancar-aman dari gangguan DKI Jakarta.
Ahok menyebut DPRD Kota Bekasi selalu bereaksi keras manakala Pemrov DKI Jakarta ‘menghajar’ PT Godang Tua Jaya. Ia mencontohkan soal Surat Peringatan 1 (SP 1) yang dilayangkan Pemrov DKI Jakarta kepada PT Godang Tua Jaya mengenai wanprestasi (ketidaktepatan janji) dalam pembuatan teknologi pengelolaan sampah.
Jika PT Godang Tua Jaya tidak memperbaiki diri, maka Pemrov DKI Jakarta akan melayangkan SP 1 dan SP 2 yang artinya akan berujung diputusnya perjanjian kerja sama. Dari sinilah, kata Ahok, tingkah DPRD Kota Bekasi makin menjadi-jadi.
Menurut Ahok, target DPRD Kota Bekasi melakukan konfrontasi kepadanya adalah agar Pemrov DKI Jakarta tidak memutus kontrak dengan PT Godang Tua Jaya. Ahok menyebut konfrontasi tersebut hanya persoalan rezeki saja. Maklum, TPST Bantar Gebang adalah proyek besar.
Dugaan Ahok bisa dikuatkan kondisi hubungan DPRD Kota Bekasi dengan PT Godang Tua Jaya. Hubungan mereka harmonis dan mesra. Sejumlah sumber klikbekasi.co menyebut bahwa Rekson Sitorus, pemilik PT Godang Tua Jaya, adalah orang yang dekat dengan para politisi di Kota Bekasi.
Rekson bahkan ‘menaruh orang-orangnya’ duduk di kursi DPRD Kota Bekasi dengan mengikuti proses Pemilu Legislatif. Mereka di antaranya ialah menantunya sendiri dan seorang pegawainya di PT Godang Tua Jaya.
Selama ini, DPRD Kota Bekasi juga tidak pernah menyebut keburukan PT Godang Tua Jaya. Dalam peristiwa kebakaran hebat di TPST Bantar Gebang beberapa waktu lalu, DPRD Kota Bekasi juga tidak berkutik apa-apa. Mereka lebih suka mengkritik DKI Jakarta ketimbang TPST Bantar Gebang sebagai pengelola.
Sumber klikbekasi.co mengatakan DPRD Kota Bekasi dan PT Godang Tua Jaya kerap melakukan pertemuan-pertemuan ‘rahasia’ di luar agenda kerja. DPRD bukan berada di posisi ‘memanggil’, melainkan ‘dipanggil’ PT Godang Tua Jaya.
Logikanya, jika serangan DPRD Kota Bekasi kepada Pemrov DKI Jakarta dianggap merugikan PT Godang Tua Jaya, mengapa PT Godang Tua Jaya tidak memanfaatkan kedekatan itu dengan menyetop konfrontasi?
Maka jawabannya ada dua, pertama, PT Godang Tua Jaya dalam posisi terancam oleh Pemrov DKI Jakarta sehingga melakukan perlawanan menggunakan tangan DPRD. Jawaban kedua, PT Godang Tua Jaya tidak mempunyai kedekatan khusus dengan DPRD. Namun jawaban yang terakhir jelas tidak mungkin.
Petunjuk bagi KPK
Boleh diakui, siasat DPRD Kota Bekasi dan PT Godang Tua Jaya cukup lihai. Tidak mungkin PT Godang Tua Jaya melawan Pemrov DKI Jakarta selaku pemegang kuasa TPST Bantar Gebang. Apabila Pemrov DKI Jakarta memutus kontrak, PT Godang Tua Jaya mau apa? Sebaliknya, jika DPRD Kota Bekasi menyerang Ahok, Pemrov DKI Jakarta bisa apa?
Namun, kalau PT Godang Tua Jaya dan DPRD Kota Bekasi bersekongkol, kemudian menyerang Pemrov DKI Jakarta, maka jalan satu-satunya bagi Ahok adalah memperkarakan kasus ini menggunakan tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ahok tidak akan takut buka-bukaan kasus itu kepada KPK karena ia terbilang bersih dari masalah hukum. Sedangkan DPRD Kota Bekasi, belum tentu. Dugaan Ahok tentang ‘pertemanan lancung’ DPRD Kota Bekasi dengan PT Godang Tua Jaya adalah petunjuk atau pintu masuk bagi KPK untuk membongkar skandal besar di TPST Bantar Gebang.
Ahok sebenarnya sudah lama mengendus ada yang tidak beres di TPST Bantar Gebang. Sejak setahun terakhir ini, ia merasa risau jika mengkaji ulang perjanjian Pemrov DKI Jakarta dengan PT Godang Tua Jaya yang dijalin pada tahun 2008 dan mengalami addendum (perjanjian tambahan) beberapa kali. Bahkan ia sudah meminta KPK agar menyelidiki kasus itu.
Kerisauan Ahok muncul setelah DPRD Kota Bekasi rapat dengan Pemrov DKI Jakarta pada tahun 2014. Karena berhalangan hadir, Ahok pun mengutus jajarannya dan PT Godang Tua Jaya. Kepada Pemrov DKI Jakarta, DPRD Kota Bekasi memunculkan empat permintaan. Empat permintaan inilah yang dijadikan senjata DPRD Kota Bekasi untuk menyerang Pemrov DKI Jakarta akhir-akhir ini.
Empat permintaan tersebut yaitu, pertama, meminta Pemrov DKI Jakarta melarang truk sampah beroperasi pada siang hari dan memperketat pengawasan terhadap rute pengangkutan sampah. Kedua, menggunakan truk sampah yang bagus agar air lindi tidak tercecer ke jalan.
Ketiga, mengawasi timbangan volume sampah atau tonase per hari. Keempat, mengubah mekanisme pembayaran tipping fee sebesar 20 persen yang tadinya disetorkan melalui pihak ketiga menjadi langsung ke kas Pemkot Bekasi, kemudian menaikkan tipping fee dari Rp 123.000 menjadi Rp 230.000 per ton sampah yang masuk ke Bantar Gebang.
Untuk poin kesatu hingga ketiga, Ahok mengakui bahwa itu harus diperbaiki bersama-sama. Itulah mengapa setiap tahun Pemrov DKI Jakarta menggelontorkan anggaran Rp 100 miliar kepada Kota Bekasi untuk menunjang infrastruktur di daerah tersebut.
Khusus poin keempat , yang berhubungan dengan uang, Ahok merasa tidak nyaman. Tipping fee tersebut diberikan Pemrov DKI Jakarta lantaran dulu ada kelompok masyarakat di Bekasi yang menolak pembuangan sampah. Maka setiap setiap kali truk pengangkut sampah masuk ke Bantar Gebang, Pemrov DKI Jakarta wajib membayarkan sejumlah uang.
Jumlah besaran tipping fee tersebut pun naik setiap tahun dari tahun 2008 sejumlah Rp 98.000 per ton hingga Rp 123 ribu per ton untuk tahun 2014 dan 2015 atau Rp 19 miliar per bulan. Ahok menyebut setiap tahun DKI Jakarta habis Rp 400 miliar untuk pengelolaan sampah TPST Bantar Gebang. Padahal sebagian besar tanah di TPST Bantar Gebang merupakan milik Pemrov DKI Jakarta.
Audit BPK RI Tahun 2013 No. 18.c/LHP/XVIII.JKT-XVIII.JKT.2/06/2014 menunjukan adanya indikasi kerugian keuangan Pemrov DKI Jakarta sekitar Rp 6,7 miliar. Tahun 2014, audit BPK RI No. 18.c/LHP/XVIII.JKT-XVIII.JKT.2/06/2014 menyebut indikasi kerugian Pemrov DKI Jakarta sekitar Rp 182 miliar. Kedua audit itu bersangkutan dengan TPST Bantar Gebang sejak tahun 2008.
Audit tersebut juga menunjukkan, sejak kerja sama dimulai, PT Godang Tua Jaya tidak melaksanakan kewajibannya membuat teknologi pengelolaan sampah dengan Gasifikasi, Landfill, and Anaerobic Digestion (Galvad). Padahal selama ini tiping fee itu dibayarkan ke PT Godang Tua Jaya sebagai tambahan investasi pembuatan teknologi pengelolahan sampah.
Ke manakah uang Rp 400 miliar mengalir, sedangkan PT Godang Tua Jaya tidak melakukan kewajibannya? Ahok mensinyalir ada oknum DPRD Kota Bekasi yang menerima aliran dana dari PT Godang Tua Jaya. Konfrontasi yang dilakukan DPRD Kota Bekasi adalah akal-akalan PT Godang Tua Jaya saja agar Ahok tidak memutus kontrak.
Ahok menilai permintaan DPRD Kota Bekasi sebenarnya ikut membantu pihaknya untuk mengevaluasi PT Godang Tua Jaya dan, akhirnya, memutuskan kontrak kerja sama dengannya.
Namun, memutus kontrak tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kontrak kerja sama tersebut berlangsung untuk jangka waktu hingga puluhan tahun dan dilaksanakan sebelum Ahok memimpin DKI Jakarta.
Ada benarnya Ahok meminta KPK untuk mengusut tuntas dugaan korupsi di TPST Bantar Gebang agar semuanya menjadi gamblang. Bukan tidak mungkin KPK bisa mencomot pejabat di Pemrov DKI Jakarta, pejabat di Kota Bekasi, atau juga sejumlah anggota dewan yang terhormat itu.
Masyarakat Kota Bekasi dan DKI Jakarta tentu menginginkan sistem perkotaan yang lebih baik, termasuk pengelolaan sampah. Jangan sampai kasak-kusuk ini dipertontonkan berlarut-larut kepada masyarakat, sementara perbaikan tak kunjung datang.
Redaksi