Kisruh tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang menarik untuk disingkap lebih mendalam. Bukan melulu soal konfrontasi Komisi A DPRD Kota Bekasi kepada Pemrov DKI Jakarta.
Mulailah, misalkan, dengan pertanyaan ini: siapa orang kuat yang punya kepentingan di TPST Bantar Gebang? Rekson Sitorus, pemilik PT Godang Tua Jaya, ternyata terlalu kecil. Dia hanya ‘raja lokal’.
Adalah The Ning King, pemilik Argo Manunggal Group, yang merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia. PT Navigat Organic Energy Indonesia (PT NOEI), perusahaan joint operation PT Godang Tua Jaya, merupakan bagian dari Argo Manunggal.
Rekson Sitorus pun mengakui, PT Godang Tua Jaya ditopang PT NOEI. Rekson tidak akan mampu menggarap proyek dengan investasi awal 700 miliar tersebut tanpa pemodal besar, sementara perusahaannya didirikan hanya dengan modal dasar Rp 2.5 miliar pada tahun 1993.
Hingga 2008, ketika dipercaya DKI Jakarta menggarap TPST Bantar Gebang, modal PT Godang Tua Jaya tak lebih dari 100 miliar. “Mitra saya (PT NOEI) adalah investor saya,” kata Rekson saat ditanyai wartawan usai mengikuti rapat tertutup di DPRD Kota Bekasi, belum lama ini.
Untuk merunut akar perusahaan Argo Manunggal Group memang agak sulit. Maklum, grup bisnis raksasa ini mengontrol lebih dari 30 perusahaan. Apalagi, PT NOEI seperti ‘tenggelam’ dalam kisruh TPST Bantar Gebang. Namun, sejumlah dokumen penting atau nukilan di media massa memastikan PT NOEI merupakan anak perusahaan Argo Manunggal.
Sebutlah dalam dokumen putusan perkara perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 2009. Pada saat itu, PT Godang Tua Jaya dan PT NOEI serta Pemrov DKI Jakarta digugat oleh PT Patriot Bangkit Bekasi, perusahaan pengelola TPST Bantar Gebang sebelumnya, yang merasa dicurangi pada saat proses lelang.
Dalam dokumen tersebut, terlampir surat penetapan pemenang lelang nomor 1700/2008 tertanggal 26 November 2008 atas pengumuman lelang nomor 02/P/DK/PPTB/VII2008 tertanggal 28 Juli 2008. Disebutkan di sana, PT NOEI merupakan anak perusahaan Argo Manunggal Group.
Direktur PT Godang Tua Jaya Douglas J Manurung dalam sebuah kesempatan wawancara pun mengakui PT NOEI merupakan bagian Argo Manunggal Group yang punya kekuatan finansial.
“Untuk pembangkit listrik, kami join dengan PT Navigat Organic Energy Indonesia yang sudah punya pengalaman. Mereka anak perusahaan dari Argo Manunggal Group,” kata Douglas.
Ning King memang orang yang jarang tampil di muka umum, tidak seperti konglomerat lain.
Nama Ning King baru mencuat ketika majalah ekonomi Amerika Serikat, Forbes, menempatkannya dalam 50 besar orang terkaya di Indonesia pada tahun 2014. Ia peringkat ke-46. Kekayaannya mencapai 650 juta dollar AS atau sekitar 8 triliun rupiah: 2 kali lipat APBD Kota Bekasi.
Pria kelahiran Bandung tahun 1931 (umur 84 tahun) mengawali bisnisnya pada umur 17 tahun bersama sang ayah, yang merupakan orang asli Fujian, Tiongkok. Ia mendirikan toko tekstil kecil di Jakarta. Inilah cikal bakal Argo Manunggal Group.
Barulah, pada tahun 1961, di usia 30 tahun, Ning King memberanikan diri membangun pabrik tekstil di Salatiga, Jawa Tengah, di bawah naungan PT Argo Pantes. Bisnis Ning King kemudian merangsek ke banyak sektor. Bisnis properti dan real estatenya justru yang mengereknya menjadi orang terkaya.
Ning King juga berhasil melewati masa-masa krisis dan masalah hukum. Ia tercatat sebagai salah satu pengusaha yang menerima Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) pada tahun 2002. SKL BLBI tersebut menjamin Ning King tidak bermasalah secara hukum pascakrisis.
Argo Manunggal Group, melalui PT Alam Sutera Realty Tbk, sukses besar mengembangkan Alam Sutera, sebuah kota mandiri di sebelah barat Jakarta yang memiliki 30 cluster dengan 500-an rumah mewah. Termasuk membangun kawasan Industri MM2100 di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, melalui PT Bekasi Fajar Industrial Estate.
Bagi Ning King, bisnis pengelolaan sampah adalah barang baru. Argo Manunggal Group tidak punya perusahaan yang bergerak di bidang itu, kecuali PT NOEI. Group ini memang dikenal ahli mengembangkan pasar baru dan menghadapi tantangan di pasar domestik dan ekspor.
Di TPST Bantar Gebang, tugas utama PT NOEI adalah mengolah sampah menjadi energi listrik dengan teknologi gasifikasi, landfill, dan anaerobic digestion atau Galvad–selain mengolah kompos, daur ulang dan bisnis carbon trading (mereduksi karbon yang nantinya akan dibayarkan oleh negara-negara maju).
Namun, kini, PT NOEI terancam hengkang dari TPST Bantar Gebang. Pemrov DKI Jakarta telah memastikan akan memutus kontrak dengan pihak ketiga. PT NOEI dinilai wanprestasi karena tidak bisa mengelola sampah secara maksimal, beserta PT Godang Tua Jaya sebagai pemain utama.
Di Bantar Gebang, mampukah Ning King keluar dari krisis?
(Tim)